Reichskristallnacht Mimpi Buruk Yahudi Jerman

peristiwa reichskristallnacht malam kelam warga yahudi jerman mCb2PMMd9D
Reichskristallnacht Mimpi Buruk Yahudi Jerman

PM, Berlin – Tanggal 9 November 1938 dikenang sebagai sebuah hari yang kelam bagi kaum Yahudi di Jerman. Pada malam di hari itu, sinagog, toko, apartemen Yahudi di seluruh negeri dihancurkan dan kaum Yahudi mengalami penghinaan dan disiksa secara brutal dalam sebuah peristiwa yang dikenal sebagai Reichskristallnacht.

“Saya masih ingat kejadian pada pagi hari 10 November,” kata W. Michael Blumenthal seorang saksi mata peristiwa itu, sebagaimana dikutip dari DW.

“Ayah saya ditangkap di pagi hari dan kemudian, diiringi kecemasan ibuku, saya berjalan di jalanan. Di Kurfürstendamm, saya melihat jendela-jendela yang dilempari, asap mengepul dari sisa puing bekas sinagog yang terbakar.“

Blumenthal saat itu baru berusia 12 tahun. 75 tahun kemudian ia kembali ke Berlin dan duduk sebagai Direktur Museum Yahudi.

Dihina dan dipukuli

Pada malam 9 pada tanggal 10 November terjadi kerusuhan yang mengerikan, terutama bagi orang-orang Yahudi di seluruh Jerman dan Austria. Ratusan rumah ibadah dijarah, dirusak dan dibakar. Peristiwa itu dikenal dengan sebutan “Reichskristallnacht”.

Orang dipermalukan di jalan, dipukuli , juga dibunuh – hanya karena mereka adalah orang Yahudi. Polisi menyaksikan petugas pemadam kebakaran bukannya memadamkan rumah-rumah ibadah dan kantor-kantor bisnis Yahudi, tetapi hanya rumah-rumah sekitarnya.

Pada 10 November sekitar 30 ribu warga Yahudi yang ditangkap dibawa ke kamp konsentrasi Dachau, Buchenwald dan Sachsenhausen. Termasuk ayah dari Michael W. Blumenthal.

“Saya masih ingat kata-kata ibuku ketika ia dibawa pergi oleh dua orang polisi. Apa yang terjadi? Apa yang Anda lakukan? Apa yang dilakukannya? Bahkan sebagai anak berusia dua belas tahun, saya dapat merasakan kecemasan dari orang dewasa, dalam hal ini ibu saya.”

9 November 1938

Kekerasan fisik dan intimidasi terjadi di Jerman sejak bangkitnya Nazi pada 1933. Dengan undang-undang Nürnberg tahun 1935, kegiatan mereka di ruang publik dibatasi. Banyak yang kehilangan mata pencarian.

“Penting untuk memahami bahwa November 1938 merupakan titik balik dalam sejarah,” kata sejarawan Raphael Gross, yang menjabat sebagai kepala Museum Yahudi di Frankfurt.

Peristiwa di bulan November 1938 itu dipicu oleh kemarahan orang-orang akibat pembunuhan diplomat Jerman Ernst vom Rath pada tanggal 7 November di Paris, yang dilakukan oleh seorang remaja Yahudi Herschel Grynszpan. Segera setelah radio Jerman melaporkan berita tersebut, kerusuhan dengan motif anti-Yahudi menyebar di beberapa kota di Jerman.

Dua hari kemudian – Hitler secara pribadi memberikan perintah. Dari München, di mana pemimpin Nazi berkumpul untuk perayaan peringatan kudeta Hitler, Menteri Propaganda Joseph Goebbels menyampaikan pidato, ia memerintahkan penghancuran toko-toko milik warga Yahudi dan pembakaran sinagog. Ini tidak hanya terjadi di kota-kota besar seperti Berlin, Köln, Hamburg, Frankfurt, namun juga di di kota-kota kecil dan desa-desa di seluruh Jerman.

“Kurfürstendamm tampak seperti medan perang”

Banyak diplomat yang ditempatkan di Jerman melaporkan kejadian itu ke negara asal mereka.

“Mereka penuh kengerian dan menyebut kata-kata seperti “budaya barbarisme,“ kata Hermann Simon.

Dari Hamburg ke Innsbruck, dari Köln ke Wroclaw–Direktur Pusat Judaicum itu berhasil mengumpulkan laporan-laporan yang ditulis oleh para diplomat dari 20 negara yang kala itu ditempatkan di Jerman.

Misalnya, laporan duta besar Latvia yang menulis: “Kurfürstendamm tampak seperti medan perang.”

Dunia menyaksikan

Tetapi tidak ada tuntutan konkret atau desakan yang dikirimkan para diplomat itu ke pemerintah negara asal mereka. Sejarawan Raphael Gross mengatakan, “Respon terhadap laporan tersebut relatif rendah.”

Ditambahkannya, “Pada bulan November 1938 anak-anak mulai dibawa pergi ke Inggris. Ini diurus oleh negara-negara, tapi jumlahnya masih terlalu sedikit.”

Kedutaan Besar Italia pada 16 November 1938 menulis: “Tidak terbayangkan, bahwa 500.000 orang per hari ditembak, dipaksa bunuh diri atau terkunci dalam kamp konsentrasi raksasa.”

Keluarga W. Michael Blumenthal berhasil melarikan diri ke Shanghai, China, pada 1938. Itu adalah satu-satunya tempat yang bisa dimasuki pengungsi tanpa visa pada saat itu.[] Sumber: Okezone.com

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait