PM, Banda Aceh – Ratusan ulama se-Aceh merekomendasikan adanya perbaikan politik di Tanoh Rencong. Rekomendasi tersebut dibacakan di akhir Silaturahmi Ulama Aceh (SUA), yang berlangsung di Gedung Hj Yusriah, kawasan Darul Imarah, Aceh Besar pada Kamis, 11 November 2021 siang.
Kegiatan yang dihelat sejak Rabu, 10 November 2021 tersebut merupakan hajatan besar Himpunan Ulama Dayah Aceh (HUDA) di bawah kepemimpinan Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab atau akrab disapa Tu Sop Jeunieb. Sementara pembukaan acara diisi oleh Panglima Kodam Iskandar Muda (IM) Mayjen TNI Achmad Marzuki.
Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab yang juga inisiator silaturahmi tersebut seusai acara mengatakan, inti dari pertemuan tersebut adalah bagaimana para ulama memiliki peran dalam perbaikan politik sehingga menjadi paradigma baru dalam perpolitikan di Aceh. Para ulama juga sepakat dan mendorong seluruh partai politik di Aceh agar berkomitmen untuk memperkuat syariat Islam, dalam rangka perbaikan paradigma berpolitik bagi semua aspek kehidupan umat.
Terdapat 11 poin rekomendasi yang disusun berdasarkan hasil silaturahmi para ulama se-Aceh tersebut. Dimana dalam pengantar rekomendasi turut menyebutkan bagaimana para ulama di Aceh saat ini gelisah dengan perkembangan politik sekuler dan kapitalis, yang mulai dipraktikkan di Serambi Mekkah. Paham tersebut kemudian dianggap telah memisahkan agama dengan politik, dan menyebabkan politik berjalan tanpa fungsi agama di dalamnya.
“Agama atau tokoh-tokoh agama memang didekati oleh partai politik dan tokoh-tokoh politik, tetapi itu tidak lebih dari upaya membangun citra publik, bukan dalam rangka menyerap dan menjalankan aspirasi ulama dalam menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar dalam bidang politik. Akibatnya, praktik politik dalam demokrasi berjalan tanpa adanya rambu-rambu syariat,” bunyi pengantar rekomendasi yang kemudian dibacakan oleh perwakilan tim perumus, Tgk Rizwan H Ali di penutupan silaturahmi tersebut.
Hal demikian, menurut ulama se-Aceh, diduga telah melazimkan pengambilan fee dalam pokir dan pelaksanaan proyek pemerintahan. Selain itu, hilangnya peranan agama dalam politik turut melahirkan praktik jual beli suara dalam pemilu atau kerap disebut money politics. Terpisahnya agama dengan politik juga melahirkan kebijakan-kebijakan yang tidak sejalan dengan syariat. Begitu pula dengan korupsi dan penyelewengan amanah juga ditengarai kian subur berkembang dalam sistem pemerintahan saat ini karena telah menjauhkan agama dengan politik di Bumi Serambi Mekkah.
“Termasuk sistem pendidikan yang tidak memenuhi kebutuhan fardhu ‘ain bagi anak didik. Dalam pandangan agama, hal itu merupakan hal yang tidak terpuji dan bahkan mungkar,” bunyi pengantar rekomendasi para ulama se-Aceh yang turut disusun oleh Tgk H Muhammad Amin Daud (Ayah Cot Trueng), Tgk H Muhammad Yusuf A Wahab (Tu Sop Jeunieb), Tgk H Faisal Ali (Abu Sibreh), dan Waled Sirajuddin Hanafi sebagai tim perumus tersebut.
Aceh yang memiliki keistimewaan dan kekhususan dalam bidang agama, politik, pemerintahan, pendidikan dan adat budaya dinilai juga mengalami persoalan tersendiri akibat dari kebijakan politik keliru. Peran MPU yang dijamin oleh undang-undang sebagai salah satu sumber pemberian pertimbangan, fatwa dan nasehat dalam berbagai kebijakan pemerintahan juga sering diabaikan oleh eksekutif dan legislatif. Syariat Islam memiliki gaung secara nasional, tetapi perbaikan dalam bidang politik yang sesuai dengan semangat amar ma’ruf nahi mungkar masih terbatas sekali.
Selanjutnya para ulama se-Aceh juga menyoroti tentang partai-partai politik, baik lokal maupun nasional di Aceh, sebagai infrastruktur politik memainkan peran utama dalam bidang politik di Aceh. Mereka mewarnai kehidupan politik, hitam atau putih. Parpol memiliki hak untuk mengajukan calon kepala daerah dan calon anggota legislatif dimana dua elemen tersebut menjadi elemen utama penyelenggaraan pemerintahan di Aceh. Masyarakat hanya bisa memilih kepala daerah dan calon anggota legislatif yang sudah dicalonkan oleh parpol, baik punya kelayakan atau tidak. “Sementara pertimbangan ulama tidak menjadi pijakan formal bagi partai dalam penentuan kepala daerah dan wakil rakyat. Akibatnya, para calon pemimpin dan politisi yang dicalonkan tidak membawa misi untuk menjalankan perbaikan dalam bidang politik sesuai dengan pedoman agama.”
Atas hal-hal yang dianggap kian menyimpang dari semangat keislaman tersebutlah, para ulama menyerukan semua pihak di Aceh supaya memfungsikan agama dalam memperbaiki kehidupan politik.
Berikut sikap resmi para ulama se-Aceh berdasarkan hasil silaturahmi yang digagas oleh HUDA kemarin:
1. Dalam Islam politik merupakan sesuatu yang dianjurkan dan berkaitan dengan kehidupan publik yang bertujuan untuk menciptakan kehidupan masyarakat yang lebih baik menurut standar dan ukuran agama.
2. Kehidupan politik merupakan salah satu bidang strategis dan penting dalam kehidupan umat Islam karena berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan, pembentukan peraturan dan hukum yang mengikat masyarakat, penentukan arah kebijakan umum dan anggaran, arah pendidikan dan kehidupan publik, sehingga melakukan amar ma’ruf dan nahi mungkar wajib dilakukan dalam kehidupan politik di Aceh.
3. Kekuasaan eksekutif, legislatif dan yudikatif di Aceh menurut UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh sangat besar dan berpengaruh, sehingga sangat penting tiga cabang kekuasaan tersebut diisi oleh para pemimpin, pejabat dan politisi yang memiliki pendidikan agama, berintegritas dan berkomitmen terhadap penyelenggaraan pemerintahan yang sesuai dengan syariat Islam.
4. Ulama perlu melakukan pendidikan politik yang sesuai dengan prinsip agama dengan menggunakan media dakwah yang ada baik di dayah, majelis taklim, dan membangun madrasah politik untuk mengajarkan siyasah syar’iyah.
5. Ulama perlu terlibat aktif untuk menyatukan seluruh masyarakat supaya membimbing umat bahwa agama harus difungsikan dalam seluruh bidang kehidupan termasuk dalam bidang politik.
6. Ulama perlu terus menjaga dan mengawal supaya seluruh kinerja eksekutif, legislatif dan yudikatif di Aceh tetap terjaga kinerjanya dalam bingkai syariat Islam.
7. Para ulama sangat sadar bahwa membangun Aceh tidak dapat dilakukan oleh satu kelompok, tetapi harus dilakukan semua kelompok dan komponen baik di tingkat lokal dan nasional.
8. Para ulama sangat menghargai keberadaan partai-partai politik yang sudah ada dan menghargai pandangan-pandangan yang ingin membentuk partai politik sejauh hal itu bertujuan untuk politik amar ma’ruf nahi mungkar.
9. Para ulama sangat mendukung keberlanjutan perdamaian Aceh yang sudah dicapai lewat MoU Helsinki sebagai modal bagi pembangunan dan kesejahteraan Aceh.
10. Upaya-upaya untuk melakukan amandemen atau revisi UUPA yang sedang bergulir diharapkan tidak mendegradasikan kewenangan-kewenangan Aceh yang khusus dan istimewa.
11. Tawaran-tawaran ulama kepada partai politik yang ada di Aceh berkaitan dengan perbaikan dalam bidang politik dan pemerintahan, diantaranya adalah:
a) Mendorong perubahan AD/ART Partai Politik di Aceh supaya secara jelas memberikan komitmen terhadap pelaksanaan amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam bidang politik dan pemerintahan;
b) Mengimbau partai-partai politik supaya meminta pendapat dan pertimbangan MPU dalam pengambilan kebijakan di dalam partai politik maupun sikap partai terhadap persoalan publik, termasuk berkaitan dengan pencalonan kepala daerah dan calon anggota legislatif;
c) Mengkaji peluang pembentukan bersama lintas partai politik sebuah Dewan Syariah Siyasah (DSS) atau nama lain untuk menjadi tempat rujukan bagi seluruh partai politik yang berkeinginan supaya kebijakan partai politik sejalan dengan syariat Islam;
d) Mendorong seluruh partai politik untuk membuat pakta integritas dalam rangka menegakkan amar ma’ruf dan nahi mungkar dalam bidang politik dan pemerintahan.
e) Mendorong lahirnya regulasi yang mengatur penyelengaraan kehidupan politik yang sesuai dengan nilai-nilai Islam supaya seluruh partai politik di Aceh terikat dan terlibat dalam implementasi syariat Islam.
f) Para ulama yang sudah terlibat dalam partai politik yang sudah ada diharapkan mendorong dan menawarkan supaya partai politiknya memiliki komitmen untuk menjalankan amar ma’ruf dan nahi munkar dalam kebijakan partainya masing-masing. Bagi para ulama yang tidak berafiliasi dalam partai politik secara langsung diharapkan mencari berbagai alternatif supaya para ulama dapat memberikan warna dan pengaruh terhadap perbaikan kehidupan politik sesuai dengan posisi dan kapasitasnya masing-masing.[]
Belum ada komentar