Ratusan Seniman dan Budayawan Aceh Tolak Rancangan Qanun Pemajuan Kebudayaan 2024

Raqan pemajuan kebudayaan aceh
Pemerintah Aceh melalui Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh mengusulkan rancangan qanun (Raqan) tentang pemajuan kebudayaan kepada Badan Legislasi (Banleg) DPR Aceh. (Foto: Ist)

PM, Banda Aceh- Ratusan seniman, budayawan, dan puluhan organisasi seni budaya di Aceh menyatakan penolakan terhadap Rancangan Qanun (Raqan) Aceh tentang Pemajuan Kebudayaan 2024 yang diusulkan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh. Penolakan ini disuarakan oleh Forum Suara untuk Kebudayaan Aceh yang Terarah (SUKAT), yang menilai bahwa rancangan qanun tersebut tidak mencerminkan akar permasalahan kebudayaan yang dihadapi oleh Aceh saat ini.

“Qanun ini disusun tanpa partisipasi yang bermakna, dan proses penjaringan aspirasi dilakukan secara tertutup,” ujar Yulfan, juru bicara SUKAT dalam siaran pers yang diterima Pikiran Merdeka, Kamis, 3 Oktober 2024.

Ia menambahkan bahwa hasil dari rancangan ini sangat buruk dan penuh tumpang tindih dengan regulasi lain, baik secara vertikal maupun horizontal. “Jika dibiarkan, ini bisa memicu konflik regulasi dan berpotensi menyebabkan disfungsi hukum dan maladministrasi,” tambahnya.

Menurut SUKAT, rancangan qanun ini juga membuka peluang dominasi oleh dinas tertentu, yang bertentangan dengan prinsip pemerintahan yang baik. Tim perumus Raqan dinilai kurang memahami definisi operasional yang tepat dalam penyusunan qanun. “Ini adalah keterampilan mendasar yang tidak boleh diabaikan,” tegas Yulfan.

SUKAT memperingatkan bahwa jika DPR Aceh dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) membiarkan rancangan qanun ini lolos tanpa evaluasi mendalam, maka hal ini berpotensi merusak ekosistem kebudayaan di Aceh. “Kebudayaan di Aceh sudah berada di titik sekarat, dan qanun ini hanya akan memperburuk situasi,” ungkapnya.

Selain itu, SUKAT menilai bahwa rancangan qanun tersebut sangat berbahaya dari segi substansi, karena tidak memperhitungkan warisan budaya sebagai bagian integral dari alam dan mengabaikan perspektif ekologis. Koordinator SUKAT, Tungang Iskandar, juga menyoroti ketidakjelasan dalam pembagian wewenang terkait tata kelola cagar budaya, yang dinilai dapat membuka peluang penggelapan aset.

Dalam siaran persnya, SUKAT meminta agar DPR Aceh dan Kemendagri mengembalikan rancangan qanun tersebut kepada Disbudpar untuk diperbaiki. “Qanun ini tidak disusun untuk kepentingan kami, tetapi lebih menguntungkan pelaku bisnis,” tegas Tungang, seraya menyebutkan bahwa ada potensi pemborosan anggaran dalam pelaksanaan qanun tersebut.

SUKAT juga menyoroti lemahnya tata kelola anggaran oleh Disbudpar. Menurut data, pada tahun 2022, Disbudpar Aceh mengelola anggaran sebesar Rp206 miliar, tetapi hanya merealisasikan Rp198 miliar, dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) sekitar Rp8,9 miliar. Sementara pada 2023, Disbudpar kembali memiliki SILPA sekitar Rp2,5 miliar dari anggaran yang ada.

Di samping itu, SUKAT juga mengkritisi pernyataan Pj Gubernur Aceh, Dr. H. Safrizal ZA, M.Si, terkait rancangan qanun ini, yang dinilai tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara bermakna. SUKAT menyebut bahwa Indeks Pembangunan Kebudayaan (IPK) Aceh pada 2020 hanya berada di angka 52,61%, jauh di bawah rata-rata nasional.

Oleh karena itu, SUKAT mendesak Pemerintah Aceh dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengevaluasi kinerja Disbudpar Aceh, serta meminta revisi Raqan agar sesuai dengan prinsip pemerintahan yang baik, keadilan, dan inklusivitas.

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

WhatsApp Image 2023 04 01 at 03 16 38
Mahasiswa Prodi Pengembangan Islam (PMI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Ar-Raniry usai mengikuti kuliah filologi bersama Tarmizi A Hamid di Rumoh Manuskrip Aceh, di Banda Aceh. [Dok. Ist]

Mahasiswa UIN Ar-Raniry Ikut Kuliah Filologi Bersama Cek Midi