Rapor Merah Proyek Masjid Raya

Rapor Merah Proyek Masjid Raya
Masjid Raya Baiturahman Banda Aceh. Foto: PM/OVIYANDI EMNUR

Megaproyek pemugaran Masjid Raya tengah disorot. Meski Pemerintah Aceh mendapatkan opini WTP, namun proyek itu mendapat banyak catatan buruk dari BPK.

Proyek Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh kembali menyedot perhatian khalayak ramai. Usai dugaan korupsi ditulis Pikiran Merdeka dalam pekerjaan payung elektrik sejak dua pekan lalu, temuan terbaru dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) semakin memperkuat adanya berbagai ketidakberesan dalam mega proyek tersebut.

Pada Senin, 12 Juni lalu, dalam Sidang Paripurna Istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) Pemerintah Aceh menerima Laporan Hasil Pemeriksaan (LPH) atas laporan keuangan pemerintah Aceh Tahun 2016 dari anggota V BPK RI Isma Yatun. Dalam laporan itu, Pemerintah Aceh kembali meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) atas laporan keuangan tahun 2016. Namun, di balik opini wajar tersebut, ternyata begitu banyak persoalan yang menjadi temuan BPK pada proyek yang dikerjakan melalui sumber anggaran APBA 2016.

Dari hasil surat BPK Perwakilan Aceh yang dikirimkan ke Ketua DPR Aceh pada 9 Juni lalu, ditemukan berbagai persoalan. Salah satu yang mencolok adalah temuan adanya kelebihan pembayaran dalam proyek pembangunan Masjid Raya sebesar Rp2,6 miliar. Dalam perjalanannnya, untuk item pekerjaan tersebut, Pemerintah Aceh ternyata telah melakukan tiga kali pembayaran kepada kontraktor pelaksana, yakni PT Waskita Karya.

Kelebihan pembayaran tersebut meliputi berbagai item pekerjaan. Seperti pemotongan pohon, pengadaan, pemindahan hingga pelakasanaan pekerjaan pemancangan tiang pancang bulat. Dari semua pekerjaan yang kelebihan pembayaran, kesalahan bayar terbesar adalah untuk pengadaan tiang pancang senilai Rp1,5 miliar serta pekerjaan pemancangannya sebesar  Rp841,9 juta. Total kelebihan pembayaran untuk kedua item pekerjaan tersebut sebesar Rp2,3 miliar.

Dalam LHP tersebut, BPK RI meminta Kuasa Pengguna Anggaran untuk segera memerintahkan Waskita Karya selaku kontraktor pelaksana agar menyetor kembali uang tersebut ke kas negara.

BPK memberikan waktu 60 hari kepada Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasa Permukiman Aceh untuk untuk menyelesaikannya temuan tersebut. Namun, bila perintah itu tidak ditindaklanjuti, maka BPK akan melakukan audit khusus terhadap adanya kerugian uang negara.

Di balik persoalan kelebihan pembayaran tersebut, diam-diam Dinas Cipta Karya yang kini beralih menjadi Dinas Perumahan Rakyat dan Kawasan Permukiman juga melakukan perubahan kontrak atau adendum hinga berulang kali. Tercatat, terjadi 4 kali perubahan kontrak. Celakanya, perubahan ini tanpa pemberitahuan kepada DPRA.

Antara lain, sempat muncul pertanyaan dari anggota Komisi IV DPRA Asrizal Asnawi mengapa adanya perbedaan ukuran payung dari dokumen kontrak yang dia miliki? Dalam kontrak awal, ada perbedaan pada ukuran kain payung. Dalam dokumen kontrak yang merincikan spesifikasi payung, terdapat dua jenis ukuran. Enam payung memiliki lebar 24×24 meter persegi dan enam payung selebar 15×15 meter persegi. Sedangkan yang kini terpasang di MRB, 12 payung itu memiliki ukuran dan lebar yang sama. Hal ini terjadi setelah adanya adendum hinga 4 kali di tengah perjalanan.

“Saya juga baru tahu setelah berkunjung ke pabrik, ukurannya semua sama,” sebut Asrizal H Asnawi pada Pikiran Merdeka, Sabtu, 10 Juni 2017.

Sebagai pihak yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap berbagai proyek pembangunan, kata Asrizal, Komisi IV DPRA tidak pernah menerima sepucuk surat pun dari Dinas Cipta Karya yang menyampaikan adanya perubahan lebar payung. “Padahal, perubahan ukuran payung tentu berpengaruh pada harganya, berimbas pada ketidaksesuaian dengan isi kontrak,” kata Asrizal.

Selain kualitas payung, Asrizal sempat mengkritik letak payung yang jaraknya tidak rapat. Keduanya terpisah, enam payung berada di sisi paling kanan dan enam lagi di kiri masjid. Menurutnya, semua payung tersebut seharusnya dirancang berdekatan posisinya, sehingga ketika dibentangkan mampu menutup area dan pengunjung bisa benar-benar teduh di bawahnya.

“Di masjid-masjid lain, baik di Masjid Agung Jawa Tengah maupun Masjid Nabawi di Madinah, payung tampak terbentang rapat satu sama lain, sehingga menciptakan suasana yang benar-benar teduh,” tutur Asrizal.

Namun, pertanyaan Asrizal akhirnya terjawab setelah BPK mengirimkan surat kepada Ketua DPR Aceh pada 9 Juni lalu yang menyebutkan berbagai ketidakberesan dalam pemugaran Masjid Raya Baiturrahman.

Komisi IV juga sempat melakukan sidak untuk melihat pekerjaan pembangunan di Masjid Raya pada Selasa (16/6) pekan lalu. Dalam sidak yang dipimpin Ketua Komisi IV Teungku Anwar Ramli dan didampingi sejumlah anggota Komisi IV seperti Asrizal H Asnawi, Zulfadhli dan Hendri Yono. Mereka banyak menemukan kejanggalan, terutama adanya perbedaan dalam dokumen perencanaan dengan pekerjaan yang dilakukan.

Berdasarkan catatan Pikiran Merdeka, merujuk kepada surat perjanjian kontrak kerja 6 Juli 2015 yang ditandatangani Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) saat itu, Ir Khalidin MT, pekerjaan 12 unit payung sejatinya hanya Rp112 miliar. Kemudian, angkanya berubah menjadi Rp118 miliar hingga akhirnya melonjak menjadi Rp129 miliar.

Sebagaimana dilansir dari aceh.tribunnews.com, ternyata perubahan harga dan penambahan kerja juga terjadi dalam pekerjaan instalasi elektrikal. Dari nilai awal Rp11,6 miliar melonjak menjadi Rp18,601 miliar setelah addendum ke-4. Begitupun pekerjaan pemancangan tiang pancang jauh berbeda dengan nilai kontrak tahap awal. Nilai awal pekerjaan ini adalah Rp5,380 miliar, namun setelah dilakukan perubahan kontrak melonjak hampir 2 kali lipat, yakni mencapai Rp9,386 miliar.

“Yang anehnya lagi, dari delapan item pekerjaan besar yang ada dalam paket proyek pembangunan landscap dan infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman, semuanya disubkontrakkan lagi oleh PT Waskita Karya kepada kontraktor lain, dengan dalih pekerjaan spesialis,” aku Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda.

Sebelumnya, kalangan aktivis antikorupsi dari Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) jauh-jauh hari telah menyuarakan adanya ketidakberesan dalam proyekl tersebut. Hal ini merujuk ke berbagai pekerjaan yang tidak sesuai dengan dokumen perencanaan. Saat itu, Alfian juga mendesak DPRA benar-benar mengawasi pelaksanaan pemugaran Masjid Raya. Ia juga telah meminta dilakukan audit khusus terhadap pekerjaan tersebut.[]

http://www.pikiranmerdeka.co/2017/06/30/diresmikan-lalu-bermasalah/

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait