Transportasi berbasis online membawa petaka bagi angkutan umum konvensional. Saling jegal pun semakin tidak terhindarkan.
Keberadaan transportasi berbasis online di Aceh diawali dengan kiprah Ho-Jak pada Feruari 2017. Disusul Go-Jek dan Grab yang berpusat di Jakrta. Belum genap setahun melebarkan kiprahnya, keberadaan mereka telah menuai polemik bagi angkutan konvensional di Aceh. Sering kali dua komunitas transportasi ini terlibat perseteruan adu mulut saat sedang berpapasan.
Yusuf, sopir labi-labi yang ditemui Pikiran Merdeka di pangkalan labi-labi Jalan Inpres Banda Aceh, Kamis siang lalu, mengaku baru saja bertikai dengan seorang driver transportasi online yang diduga adalah Grab. “Tadi sempat adu mulut sama mereka didepan kantor SKB (Jalan TP Nyak Makam),” sahut dia.
“Awalnya, ada anak sekolah 15 orang mau naik mobil saya tapi 5 orangnya lagi enggak jadi dan mereka turun kembali. Saya tanya kenapa, terus mereka bilang lagi tunggu mobil lain. Kemudian datang satu mobil menghampiri mereka, udah yakin saya ini pasti Grab, maka saya menghampiri mobil itu,” ceritanya.
Yusuf melanjutkan, “Saya bilang kalian tidak boleh begitu, ini sekolah wilayah kami, kalian boleh kemana aja tapi kalau sekolah tetap wilayah kami. Jawablah orang Grab ini bahwa dirinya anggota, ditunjukkannya kartu anggota dia kepada saya, makin marahlah saya. Kenapa memang kalau kamu anggota? Kamu pikir saya takut. Ini wilayah saya, kamu tidak boleh di sini. Abis saya bilang gitu langsung pergi dia.”
Menurutnya, para sopir angkot juga sering terlibat aksi kejar-kejaran dengan driver ojek online. “Kemarin itu memang langsung dicegat, ojek online itu sama para supir labi-labi. Sebelumnya kejar-kejaran,” kata Yusuf.
Syarifuddin, sopir labi-labi jurusan Darussalam, mengaku pendapatannya kian berkurang setelah hadirnya transportasi online di Banda Aceh. “Jika dulu pendapatan Rp100 ribu, kini cuma dapat Rp50. ribu setelah mengisi bensin,” katanya.
Belakangan ini, kata dia, teman-temannya banyak yang telah menjual mobil labi-labinya karena penurunan pemasukan yang signifikan. “Mereka yang bukan narik pakai mobil sendiri itu, mobilnya sudah dijual semua,” ungkap Syarifuddin.
Umar Dani, supir labi-labi lainnya juga mengeluhkan keberadaan transportasi online. Labi-labi jurusan ketapang yang dikendarai Umar Dani tampak sepi. Di dalamnya hanya ada lima penumpang. Pintu ditutup, Dani menginjak gas dan berangkat mengantar penumpangnya. Ia pelan-pelan menyusuri jalanan Banda Aceh yang dipadati lalu lalang kendaraan.
Di perjalanan, Umar menceritakan pengalamannya menjadi sopir labi-labi “Dulu, jam segini di simpang-simpang jalan rame anak sekolah yang tunggu labi-labi, terkadang sampe sesak di belakang,” kenangnya.
“Tiap hari, dulu saya bisa narik sepuluh sampai dua belas kali. Tapi sekarang lima kali saja, itupun dengan penumpang empat atau lima orang di belakang,” tutur pria yang sejak 2005 lalu menjadi supir labi-labi.
Bagi Umar, peminat labi-labi saban hari kian berkurang, terlebih lagi dengan munculnya Bus Transkutardja dan transportasi online. Jika dulunya ia membawa pulang uang Rp150 ribu, maka sekarang hanya Rp50 ribu. “Pengaruh paling berat, ya bus sama ojek online, penumpang lebih senang naek bus dan online itu daripada labi-labi sekarang,” kata Umar.
Umar juga menampakkan uang hasil jerih payahnya hari itu. “Ini liat, uangnya tinggal Rp4.000 lagi,” tunjuknya.
AKSI DEMO
Senin, 16 Oktober lalu, halaman Gedung Kantor Gubernur Aceh dipadati kerumunan massa. Mereka menuntut penolakan transportasi online yang ada di Aceh. Massa berasal dari sopir angkutan konvensional, seperti taksi, becak, dan labi-labi.
Sejak pukul 10.00 WIB, mereka datang dengan membawa angkutannya masing-masing. Sebelumnya, para sopir berkumpul di Terminal Batoh pada pukul 09.00 WIB. Petugas kepolisian juga tampak mengawasi ratusan kendaraan para demonstran yang hendak masuk ke halaman depan kantor gubernur.
Dari atas sebuah mobil hitam, sang orator berteriak-teriak “Hidup transportasi Aceh, hidup becak, hidup labi-labi, hidup taksi.”
Demonstran lainpun meneriakkan hal yang sama sembari mengepalkan tangan mereka ke atas. Beberapa pendemo lainnya memegang atribut bertuliskan, “Satu kata, hapus transportasi online di tanah rencong.”
Aksi tersebut didukung Organisasi Angkutan Darat (Organda) Aceh, Pertisa, dan Koalisi Transportasi Aceh. Beberapa tuntutan dilayangkan untuk Pemerintah Aceh. Di antaranya, mereka meminta Pemerintah Aceh agar berbelaskasih kepada meraka dalam memberantas angkutan online di Aceh. Hal itu tercermin dalam tulisan di atribut demonstran, “Wahai gubernur, tolong kami, hapuskan transportasi online di Aceh.”
Rusli, Wakil Ketua DPC Organda Kota Banda Aceh dalam orasinya menyebutkan, anggotanya banyak dirugikan atas keberadaan Go-jek dan Grab saat ini. “Mereka melapor kepada kami kalau pendapatan mereka menurun drastis, kalau dulu Rp50.000 sehari, sekarang Rp5.000,” katanya.
Selain Rusli, setiap perwakilan lembaga angkutan darat ikut menyuarakan tuntutannya. “Cuma satu yang kami minta, keadilan,” kata Marfa, mewakili gabungan taksi konvensional. “Kami sudah bayar pajak, biaya KIR, retribusi, apa salah kami minta itu?”
Mereka juga meminta bertemu langsung dengan gubernur dan wakilnya. “Kalau kami belum ketemu pak gubernus atau wakil, maka kami tidak akan pulang dari sini,” seru massa.
Setelah kurang lebih sejam berorasi, pihak kantor gubernur baru merespon dan meminta 25 perwakilan pendemo untuk masuk ke dalam gedung, guna membahas permasalahan tersebut. “Kami minta perwakilan dari masing-masing lembaga untuk naik ke atas dan masuk ke kantor gubernur,” sebut seorang petugas.
Setelah permintaan itu, para pendemo tetap melanjutkan aksinya hingga pukul 13.00 WIB. Sementara beberapa perwakilan lembaga dan sopir masuk ke dalam gedung.
Sebelumnya, massa meminta agar mereka dapat bertemu langsung dengan gubernur namun di sana tidak tampak gubernur ataupun wakilnya. Hadir dalam pertemuan tersebut Kepala Dinas Perhubungan Aceh dan jajarannya, Kepala Kesbangpol Aceh, serta perwakilan lembaga angkutan darat dan beberapa sopir becak, labi-labi maupun taksi.
“Mohon maaf, pak gubernur tidak bisa hadir karena beliau berada di luar kota, dan pak wakil berada di Melaboh,” kata Effendi, Kepala Kesbangpol Aceh membuka pertemuan tersebut.
Kecewa dengan ketidakhadiran gubernur, salah seorang perwakilan sopir berdiri dan mengatakan, “Gubernur tidak ada buat apa kita di sini.”
Namun perwakilan lainnya ikut menenangkannya sehingga suasana kembali kondusif. “Tunggu dulu pak, baiknya kita tenang dulu, kita kasih kesempatan bapak-bapak ketua (menunjuk ke arah Kadis Perhubungan dan Kesbangpol Aceh) ini berbicara terlebih dahulu,” ucap Supriadi, Ketua Koalisi Transportasi Aceh.
Beberapa perwakilan kembali menyampaikan tuntutan mereka. “Kenapa SKPA (Satuan Kerja Perangkat Aceh) terkait tidak memanggil kami sebelumnya, sehingga kami harus membuat surat dan rapat, mungkin hanya gubernur yang dapat menyelesaikan permasalahan ini. Karena gubernur tidak hadir, apakah rapat akan kita lanjutkan?” tanya Supriadi.
Sambungnya, “Kalau seandainya tidak bisa bertemu hari ini, kami siap menunggu, rapat bisa kita tunda sampai kami bisa menemui bapak gubernur.”
Merespon pertanyaan itu, pimpinan rapat Zulkarnain menyatakan pihaknya siap menerima surat yang diperuntutkan untuk pak gubernur tersebut. “Surat siap kami terima, setelah kami terima akan kami sampaikan kepada bapak gubernur dengan biro ekonomi, humas dan Kesbang,” kata dia.
Pertemuan pun berakhir dengan serah terima surat tuntutan antara perwakilan pendemo dengan Kepala Dinas Perhubungan Aceh.
ATURAN MENGGANTUNG
Permasalahan payung hukum yang berlarut-larut terhadap transportasi online membuat gejolak penolakan terjadi di mana-mana. Zulkarnain juga sempat menyebutkan alasan para pendemo melakukan aksinya kerena tidak sesuainya Peraturan Menteri Nomor 26 Tahun 2017 tentang penyelenggaraan angkutan orang dengan kendaraan bermotor umum tidak dalam trayek. “Alasan penolakan, karena tidak sesuai dengan regulasi angkutan umum,” ucapnya.
Menurut dia, pihaknya belum dapat menindaklanjuti kondisi ini karena sedang menunggu keputusan Kementrian Perhubungan yang sedang menyiapkan regulasi terbaru. “Kita pemerintahan daerah sedang menunggu keputusan dari pemerintah pusat. Hari ini (16/10) kondisi itu setelah dicabut beberapa pasal oleh MK, tetapi masih berlaku sampai dengan 30 Oktober besok. Untuk itu, kami memohon, teman-teman di Aceh juga harus menunggu regulasi terbaru,” tutupnya.
ORGANDA TIDAK TERLIBAT
Sebelumnya,Ssekretaris DPD Organda Aceh, Ermansyah mengatakan telah menerima masukan dari anggota Organda Aceh dan sudah disampaikan ke Dinas Perhubungan atas keluhan para sopir. Atas laporan itu, pada tanggal 12 Oktober 2017 Dinas Perhubungan Aceh mengadakan rapat dengan beberapa pihak, yakni DPC Kota Banda Aceh, Dirlantas Polda Aceh, perwakilan taksi konvensional dan perwakilan taksi online yang saat itu diwakili oleh Grab.
Rapat tersebut menghasilkan keputusan. Antara lain, Dinas Perhubungan Aceh menunggu keputusan revisi PM 26 2017, Dishub dapat mendata jumlah transportasi online yang sudah masuk ke Aceh, dan pemerintah meminta kepada pihak Organda agar tidak melakukan aksi demo terkait hal ini.
“Kita Organda Aceh menunggu hasil yag sudah disepakati dengan pihak perhubungan pada 12 Oktober lalu. Pihak pemerintah dan instansi terkait meminta kepada Organda supaya tidak ada demo, kan aspirasinya sudah ditampung oleh pemerintah. Jadi, yang melakukan demo itu di luar persetujuan Organda Aceh,” jelasnya.
Terkait keikutsertaan anggotanya pada demo itu, Erman mengatakan bahwa mereka melakukan aksi tersebut tanpa sepengetahuan dan persetujuan dari DPD Organda Aceh. “DPC Organda sudah kita ingatkan supaya tidak ikut demo, namun mereka membuat rapat lagi pada tanggal 13 yang tidak diketahui DPD Organda. Pada tanggal 16 pagi kita mendapatkan surat tembusan dari DPC Organda Banda Aceh bahwa mereka akan demo. Kita terkejut, kok begini? Sehingga kita buat surat teguran kepada DPC pada hari itu juga,” jelasnya.
Di sisi lain, Erman juga berharap ke depannya pemerintah dapat melakukan penertiban terhadap taksi-taksi ilegal. “Kami berharap, pemerintah juga melakukan penertiban terhadap angkutan ilegal. Tidak hanya yang berbasis online, tapi taksi-taksi gelap harus ditindak tegas, supaya nasib taksi konvensional itu jelas,” tutupnya.[]
Belum ada komentar