PM, Banda Aceh – Putusan bebas DP (35 tahun), terdakwa pemerkosa anak di bawah umur, pada 20 Mei lalu dalam pengadilan tingkat banding di Mahkamah Syar’iyah Aceh, menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Segelintir pihak mendukung putusan tersebut sebagai indikasi kuat adanya salah tangkap bahkan fitnah terhadap terdakwa yang merupakan paman korban. Namun penentangan tampaknya lebih masif, lewat suara-suara nyaring tentang betapa darurat dan akutnya angka kasus kekerasan seksual hingga buruknya penanganan hukum terhadap korban anak di Aceh.
Seperti yang disampaikan Masyarakat Sipil Aceh untuk Penghapusan Kekerasan Seksual, wadah yang menghimpun belasan lembaga sipil termasuk sejumlah tokoh, Kamis (27/5/2021) lalu. Mereka menilai putusan bebas itu justru langkah mundur perlindungan anak di Aceh.
Sebelumnya, dalam putusan bernomor 7/JN/2021/Ms.Aceh itu, majelis hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh mengurai beberapa pertimbangan untuk membebaskan terdakwa. Di antaranya, menyoal keterangan korban (di risalah putusan disebut sebagai ‘anak korban’) dalam persidangan di Mahkamah Syar’iyah Aceh Besar, 12 Januari lalu, yang hanya dalam bahasa isyarat berupa anggukan dan gelengan kepala.
Hakim Ketua dalam sidang ini, Misharuddin menegaskan bahasa isyarat itu tidak memenuhi syarat sebagai alat bukti saksi.
“Anak korban dalam kesehariannya bukan seorang tuna wicara dan bukan pula tunarungu sehingga harus bersaksi dengan bahasa isyarat, dan terjemahan yang diberikan dalam Berita Acara Sidang terhadap jawaban saksi anak korban, merupakan imajinasi yang dinilai tidak objektif dalam proses pembuktian,” sebutnya di halaman 13 dokumen putusan itu.
Lebih jauh, hakim menilai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada korban juga seakan menggiring korban agar menunjuk terdakwa sebagai pelaku. Sehingga ia menyimpulkan keterangan itu bukanlah yang sebenarnya, karena itu pula ia menolak kesaksian korban.
Masih soal saksi-saksi, hakim bahkan menolak keterangan empat saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum dalam sidang ini. Menurut hakim, semua saksi-saksi itu bukanlah pihak yang melihat langsung peristiwa pemerkosaan. Ditambah lagi adanya perbedaan tanggal peristiwa antara apa yang disebutkan saksi dengan dakwaan jaksa.
Hakim juga menilai hasil Visum et Repertum, yang sebelumnya ditempuh dokter pada akhir November 2020 silam, bukanlah bukti sempurna untuk menunjuk terdakwa sebagai pelakunya. Kendati mengakui adanya robekan pada alat kelamin anak korban, namun keterangan dokter soal tidak adanya lagi lecet, darah maupun sperma pada kelamin tersebut bagi hakim menunjukkan bahwa pemerkosaan itu tidak terjadi pada 4 Agustus, sebagaimana dakwaan jaksa.
“Karena itu hasil Visum et Repertum tidak membuktikan bahwa terdakwa lah pelakunya, maka hasil visum itu harus ditolak,” tandas hakim.
Kritik Elemen Sipil
“Anggapan ini (bahwa anggukan dan gelengan tidak bisa jadi alat bukti), memperlihatkan Majelis Hakim Banding sesungguhnya tidak paham tentang psikologis dan bahasa tubuh korban. Hakim bahkan sudah mengambil kesimpulan yang sangat terburu-buru dan prematur,” tanggap Puteri Aliya dari Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) LBH Banda Aceh dalam pernyataan bersama elemen sipil, Kamis lalu.
Ia juga menyayangkan majelis hakim banding yang menurutnya abai pada keterangan saksi ahli (Psikolog) yang dihadirkan pada persidangan tingkat pertama. Saksi tersebut menjelaskan tentang kondisi psikis anak yang agak pendiam, sulit bercerita dan cenderung tertutup, serta pada kejiwaannya ditemukan traumatik yang berkepanjangan tentang pemerkosaan yang dialaminya. Kondisi itu membuatnya mudah cemas, ketakutan, suka melamun dan hilang rasa kepercayaan diri.
“Namun, alih-alih memutuskan pemulihan terhadap korban, hakim malah berpendapat bahwa jawaban korban tidak bisa digunakan sebagai pembuktian karena korban dalam keadaan tidak stabil,” tegas Puteri.
Begitu juga dengan penolakan hakim terhadap keterangan empat saksi yang dihadirkan jaksa penuntut umum di sidang Mahkamah Syar’iyah Aceh Besar sebelumnya. Jika saksi tidak diakui lantaran tidak melihat langsung pemerkosaan itu, Puteri lantas mempertanyakan kualitas bukti rekaman pengaduan anak kepada saksi-saksi itu.
“Bahkan rekaman yang dijadikan alat bukti pada persidangan tingkat pertama itu, tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim banding,” kritiknya.
Jika mengacu kepada Pasal 1 Angka 31 Hukum Acara Jinayat dan Pasal 1 Angka 26 KUHAP, kata dia, saksi juga adalah orang yang mendengar langsung tentang adanya tindak pidana. Dalam hal ini, menurut Puteri saksi telah mendengarkan langsung dari korban tentang pemerkosaan yang dialaminya, dan UU Perlindungan Anak juga melarang setiap orang membiarkan terjadinya kekerasan terhadap anak.
Terakhir, pihaknya juga menyesalkan hakim yang menyimpulkan hasil Visum et Repertum tidak bernilai sebagai alat bukti yang sempurna untuk menetapkan terdakwa sebagai pelaku pemerkosaan.
“Majelis hakim banding dalam hal ini mengabaikan fakta tentang visum yang baru dilakukan tiga bulan setelah pemerkosaan terjadi, sehingga tentu hanya bekas robekan yang terlihat, sementara lecet, bekas darah apalagi sperma tentunya sudah hilang,” ungkapnya.
Puteri juga menilai hakim telah keliru menganggap hasil visum bisa membuktikan pelaku tindak pidana. Karena visum adalah hasil pemeriksaan medis, bukan putusan pengadilan. “Dengan mengabaikan visum sebagai alat bukti, majelis hakim banding telah mengangkangi hukum acara yang sah,” pungkasnya.
Dimana Ruang Aman untuk Korban?
Pegiat perempuan yang juga mantan Komisioner Komnas Perempuan, Azrian Manalu dalam kesempatan yang sama mengakui masih minimnya perlindungan yang diberikan pemerintah daerah kepada korban selama proses peradilan berlangsung.
Indikasinya, kata perempuan yang disapa Nana ini, otoritas terkait jelas-jelas membiarkan korban berada dalam kekuasaan dan pengaruh keluarga pelaku.
“(Anak korban) bahkan diakses langsung oleh pengacara pelaku. Patut diduga upaya-upaya mempengaruhi dan intimidasi terhadap korban telah berlangsung pada masa-masa ini,” kata dia.
Bahkan hingga saat ini, tambahnya, belum ada skema yang jelas untuk pemulihan komprehensif bagi anak korban yang telah tidak memiliki ibu lagi dari sejak kecil, sementara saat ini ia dititipkan pada neneknya (dari pihak ibu) yang secara ekonomi tergolong miskin.
“Kami juga menyayangkan minimnya upaya pemantauan terhadap pemenuhan hak-hak anak dan pengawalan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap anak oleh Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA), yang telah dibiayai oleh dana publik untuk menjalankan mandatnya,” pungkasnya.
Dalam pernyataan sikapnya, Masyarakat Sipil Aceh untuk Penghapusan Kekerasan Seksual yang terdiri dari Balai Syura, LBH Banda Aceh, KontraS Aceh, PKBI Aceh, RPuK, Flower Aceh, KAPHA, SP Aceh, LBH APIK Aceh dan KSBSI Aceh ini mendesak beberapa hal.
Pertama, DPRA dan Gubernur Aceh perlu segera merevisi Qanun Jinayat, dengan mencabut Pasal tentang Pemerkosaan dan Pelecehan Seksual, agar pemenuhan hak-hak korban pada proses peradilan bisa diupayakan.
Kedua, Kejaksaan Negeri Jantho melalui Jaksa Penuntut Umum perkara ini, melakukan upaya maksimal dalam pengajuan Kasasi terhadap Putusan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh ini kepada Mahkamah Agung RI, agar tidak menjadi preseden buruk dalam upaya penghapusan kekerasan seksual terhadap anak di Aceh.
Lalu ketiga, Mahkamah Agung RI melalui Hakim Agung yang memeriksa perkara ini, membatalkan Putusan Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh dan menguatkan Putusan Tingkat Pertama pada Mahkamah Syar’iyah Jantho.
Keempat, Pemerintah Aceh dan Pemerintah Kabupaten/Kota melalui Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak serta Dinas Sosial, mengembangkan skema dukungan pemulihan yang komprehensif dengan indikator capaian yang jelas terhadap anak dan perempuan korban kekerasan dengan melibatkan partisipasi masyarakat sipil, guna memastikan terpenuhinya hak-hak korban.
“Termasuk dalam hal ini memperkuat koordinasi dengan kepolisian dan kejaksaan dalam penanganan kasus- kasus kekerasan terutama kekerasan seksual, agar proses peradilan dapat berkontribusi langsung pada pemulihan korban,” tulisnya dalam pernyataan ini.
Terakhir, elemen sipil di Aceh mendesak Komisi Pengawasan dan Perlindungan Anak Aceh (KPPAA) mengoptimalkan peran dan fungsinya sebagai mekanisme independen dalam pemenuhan hak-hak anak di Aceh.
“Termasuk tapi tidak terbatas pada melakukan pemantauan terhadap terhadap situasi pemenuhan hak-hak anak di Aceh baik dalam proses peradilan maupun di luar peradilan, dan melaporkannya secara berkala kepada publik/masyarakat,” tegasnya.
Mahkamah Syar’iyah: Silakan Lakukan Eksaminasi
Beberapa hari usai kontroversi vonis bebas itu bergulir, Mahkamah Syar’iyah Aceh angkat bicara. Dalam keterangan persnya, Ketua Mahkamah Syar’iyah Aceh, Rosmawardani, melalui humasnya menyatakan beberapa poin.
- Vonis bebas tersebut diputus oleh Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh dengan Nomor Perkara : 7/JN/2021/ MS. Aceh, tanggal 20 Mei 2021.
- Terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Mahkamah Syar’iyah Aceh tersebut perlu kami luruskan “bukan pelaku pemerkosa” melainkan yang benar adalah Mahkamah Syar’iyah Aceh memvonis bebas “Terdakwa Pemerkosa”.
- Setiap Terdakwa yang diajukan ke Mahkamah Syar’iyah bukan berarti vonis pengadilan harus sesuai dengan dakwaan JPU 100 persen, sebab apabila hal ini terjadi maka fungsi hakim tidak diperlukan lagi. Hakim itu bebas menilai terbukti apa tidak suatu peristiwa jinayah tanpa terikat dengan dakwaan JPU. Putusan bebas tersebut bisa juga didasarkan atas penilaian dan keyakinan yang berada pada ijtihad Hakim.
- Putusan Bebas tersebut diambil oleh Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh secara independen tanpa ada tekanan dari pimpinan Mahkamah Syar’iyah Aceh maupun pihak lain, tapi murni kebebasan Hakim dalam menilai pembuktian dan juga memutus berdasarkan keyakinan majelis hakim itu sendiri.
- Apabila ada satu putusan di antara banyak putusan yang diputus bebas dan dinilai tidak adil, mari kita lakukan eksaminasi secara fair dan berimbang. Dan sungguh tidak adil harus menggeneralisir pada semua putusan Mahkamah Syar’iyah Aceh dianggap tidak adil.
- Bahwa anak korban memang perlu mendapat perhatian serius dan akan selalu pro kepada kepentingannya, tetapi keberpihakan kita terhadap anak jangan sampai semua terdakwa pelaku kejahatan kepada anak harus divonis bersalah tanpa menilai alat bukti yang diajukan ke Mahkamah.
- Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh telah melaksanakan tugas dengan kompetensi dan kewenangan yang ada serta memiliki kemampuan yang cukup dalam menangani kasus jinayat dengan memiliki latar belakang Pendidikan Sarjana Syariah dan Sarjana Hukum yang menguasai Hukum Jinayat.
- Demikian kami sampaikan dengan penuh tanggung jawab dengan harapan masyarakat dapat memahami independensi Badan Peradilan dalam melaksanakan tugas pokok yang di amanahkan oleh Negara.[]
Belum ada komentar