Lahan milik desa dan masyarakat yang digunakan Pemkab Bireuen untuk proyek Pelabuhan Nusantara di Peudada belum dibayarkan ganti rugi. Bahkan, penggunaan lahan itu tanpa melalui proses pembebasan lahan yang jelas.
Proyek Pelabuhan Nusantara dicanangkan Pemerintah Kabupaten Bireuen sejak 2014 dan mulai dikerjakan pada 2016. Namun, proses ganti rugi lahan yang berada di lokasi proyek tersebut sampai kini belum dilakukan. Padahal, kebanyakan lahan tersebut merupakan tambak produktif milik beberapa warga di Desa Calok dan Desa Matang Pasi, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen.
“Luas lahan yang terkena proyek itu mencapai 13 hektar, empat hektar di antaranya merupakan milik Desa Matang Pasi. Selebihnya milik 15 kepala keluarga yang terdiri dari tambak produktif dan kebun kelapa,” sebut Geusyiek Matang Pasi, Kamaruddin kepada Pikiran Merdeka, Sabtu, 3 September 2016.
Kamaruddin menjelaskan, rencana proyek tersebut dipaparkan Pemkab Bireuen kepada pihaknya pada 2014. Kala itu, dirinya beserta aparatur desa dan beberapa pemilik lahan dipanggil oleh Camat Peudada. “Dalam pertemuan tersebut, Camat menjelaskan rencana pembangunan Pelabuhan Nusantara . Masyarakat dan pemilik tanah yang hadir diminta untuk memberikan izin lahannya dibebaskan oleh Pemkab Bireuen,” kisahnya.
Karena program tersebut dinilai memberi manfaat bagi warga setempat, lanjut Kamaruddin, pihaknya menyetujui lahan itu untuk dibebaskan. “Namun ketika kami pertanyakan soal biaya ganti rugi lahan, camat mengaku belum bisa menyebutkan angka yang jelas karena bukan kewenangan dirinya,” katanya.
Setelah setahun berjalan, pada 2015 dilakukan pengukuran lahan oleh konsultan yang didatangkan Pemkab Bireuen. “Pengukuran itu katanya untuk kepentingan desain Pelabuhan Nusantara,” tambah Kamaruddin.
Setelah diukur pun, proses pembesan dan ganti rugi lahan tidak diperjelas oleh Pemkab Bireuen. “Kami hanya dipanggil oleh bupati untuk membahas persoalan itu, namun tetap saja tidak kejelasan soal ganti rugi lahan,” sebut HM Nasir, pemilik tambak yang terkena proyek Pelabuhan Nusantara.
Padahal, menurut dia, rapat tersebut dihadiri para pemangku kebijakan di Pemkab Bireuen. Mulai Bupati Ruslan, Sekda, Asisten I, hingga Kepala Dinas Kelutan dan Perikanan (DKP) Bireuen. “Dalam rapat itu, mereka hanya mensosialisasikan pembangunan Palabuhan Nusantara. Padahal kami ingin mendengarkan keterangan pemerintah terhadap harga tanah kami yang ingin dibebebaskan,” beber Nasir yang ditemui Pikiran Merdeka di PPI Peudada, Sabtu, 3 September 2016.
Saat itu, sebut dia, Pemkab Bireuen kembali berkilah belum ada tim penilai sehingga belum bisa ditetapkan besaran harga tanah yang akan dibebaskan. “Jadi, rapat tersebut justru mendatang kekecewaan para pemilik lahan,” katanya.
Tidak berselang lama, kembali dilaksanakan rapat menyangkut persoalan itu. Rapat itu dilaksanakan di Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD) PPI Peudada yang dihadiri Muspika setempat dan Kepala DKP Bireuen M Jafar. “Dalam rapat itu pemilik lahan diminta menyebutkan harga tanah yang akan dibibaskan. Untuk tambak produktif, kami mematok harga tanah Rp250 ribu per meter. Sementara untuk lahan kebun Rp150 ribu per meter,” jelas Nasir.
Namun, pihak DKP Bireuen tidak memberikan tanggapan terhadap tawaran pemilik tanah. “Alasannya masih sama, mereka belum belum ada tim penilai harga,” sebutnya.
Tapi anehnya, lanjut Nasir, dalam pertemuan tersebut para pemilik tanah disodori surat persetujuan pembebasan lahan yang sudah disiapkan Pemkab Bireuen. “Kami diminta menandatangani surat yang dibubuhi materia itu,” katanya.
Sejak saat itu, menurut Nasir, dirinya tidak diizinkan lagi mengelola tambak miliknya. “Karena saya barusaja melakukan pengapuran tambak, pemerintah hanya membayarkan ganti rugi kapur Rp18 juta. Sedangkan ganti rugi lahan tetap saja mereka abaikan,” tambahnya.
Setelah setahun berlalu, pada Kamis (1/9/ 2016), masyarakat yang lahan tambaknya tidak bisa lagi mereka kelola gusar. Difasilitasi Camat Peudada, mereka dipertemukan dengan Wakil Ketua DPRK Bireuen Drs Muhammad Arif dan Kepala DKP Bireuen. “Dalam pertemuan itu, kami meminta pihak DKP Bireuen egera menyelesaikan proses ganti rugi lahan,” sebut Nasir.
Ibrahim dan Abdurrahman, pemilik lahan lainnya yang ditemui Pikiran Merdeka secara terpisah, mengharapkan Pemkab Bireuen segera menyelesaikan tanggung jawabnya kepada para pemilik tanah yang terkena proyek Pelabuhan Nusantara. “Kami mendengar sudah ada anggaran Rp1,7 miliar, tapi kenapa hak kami belum dibayarkan,” sebut Ibrahim.
Padahal, menurut dia, pihaknya hanya meminta dibayarkan semampu Pemkab Bireuen dulu. Sisanya bisa dicicil tahun berikutnya. “Kalau dibilang tidak ada dana, itu tidak mungkin. Untuk Bansos dan santunan anak yatim, Pemkab Bireuen menghabiskan anggaran sampai Rp8 miliar. Ini berita koran hari ini, tapi hak kami justru ditahan-tahan,” pungkas Ibrahim.
TIDAK CUKUP ANGGARAN
Sementara itu, Wakil Ketua DPRK Bireuen Drs Muhammad Arif memastikan dana untuk membayarkan ganti rugi lahan itu sudah dianggarkan dalam APBK Bireuen 2016 Rp1,7 miliar lebih. “Namun, jumlah dana tersebut tidak mencukupi untuk pembayaran ganti rugi lahan seluas 13 hektar,” sebut politisi Partai Nasional Aceh (PNA) ini.
Lanjut ke Halaman 2 : Lahan Milik Negara….
Belum ada komentar