Wewenang pelaksanaan proyek otonomi khusus jatah kabupaten/kota di Aceh dilimpahkan lagi ke daerah masing-masing. Kebijakan strategis di balik opsi pengesahan APBA 2018 melalui peraturan gubernur?
Suasana tampak kian cair di dalam ruang Percepatan dan Pengendalian Kegiatan (P2K) kantor Gubernur, Kamis (15/3) pekan lalu. Para Bupati dan Walikota se-Aceh ketika itu memenuhi undangan rapat yang dipimpin langsung Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf. Tak sendiri, beberapa dari mereka turut didampingi Sekretaris Daerah masing-masing.
Rapat tersebut membahas sinkronisasi antara provinsi dan kabupaten/kota. Ada satu mufakat yang diamini bersama, yakni pelaksanaan proyek yang bersumber dari dana Otonomi Khusus (Otsus) atau disingkat DOKA, akan dilimpahkan ke masing-masing kabupaten/kota. Pelimpahan kewenangan itu termasuk juga pelaksanaan tender oleh Layanan Unit Pengadaan (ULP) di masing-masing daerah.
Setelah membahas kebijakan teknis rencana pelaksanaan DOKA tersebut, Irwandi memperkirakan, pada bulan April mendatang setiap pengumuman lelang bisa dilaksanakan oleh ULP yang ada di kabupaten/kota. Maka, proyek bersumber dari DOKA yang nilainya sekitar Rp3,2 triliun itu siap ditender di masing-masing daerah. Nilai itu dari total dana Otsus yang secara resmi diterima Pemerintah Aceh dari Pusat, sebesar Rp8,029 triliun.
“Saya meminta, seluruh pimpinan di kabupaten/kota memantau tahapan-tahapan pelaksanaan dari awal hingga selesai. Termasuk segala permasalahan yang terjadi di dalamnya,” kata Irwandi dalam pertemuan itu.
Ia juga meminta kepada seluruh bupati dan walikota di Aceh membentuk tim Percepatan dan Pengendalian Kegiatan (P2K) yang nantinya diketuai Sekda, dengan bertanggung jawab penuh pada bupati/walikota masing-masing. Tim ini diharapkan bisa bekerja cepat membentuk panitia tender dan menyiapkan serangkaian dokumen untuk melaksanakan proses tender.
Secara teknis, Sekda selaku ketua dari P2K bakal mengajukan usulan kepada gubernur dan kepala Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) terkait Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) yang ditujukan pada kepala SKPK (tingkat kabupaten/kota), serta Bendahara Pengeluaran Pembantu.
Kepala SKPK kemudian menetapkan Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan (PPTK), dalam hal ini Kabid pada SKPK terkait dan Pejabat Penatausahaan Keuangan (PPK) Pembantu. Pihaknya juga berwenang menyediakan biaya operasional untuk Tim Percepatan dan Pengendalian Pelaksanaan Kegiatan Otsus Kabupaten/Kota, Pengelola Anggaran dan ULP Kabupaten/Kota.
Setelah itu, masing-masing kabupten/kota akan mengikuti jadwal pelaksanaan yang ditetapkan oleh pihak provinsi dalam hal ini Pemerintah Aceh. Berikutnya, akan berlangsung pengumuman Rencana Umum Pengadaan (RUP) dan Pelelangan di media massa oleh Pemerintah Aceh. Tahap terakhir, membentuk tim serah terima atau biasa disebut Provisional Hand Over (PHO) bersama SKPA dan SKPK.
PERCEPATAN REALISASI APBA
Kebijakan Irwandi untuk mengalihkan kewenangan pengadaan proyek yang bersumber dari DOKA ke kabupaten/kota, mendapat apresiasi dari bupati dan walikota di Aceh. Kabupaten Aceh Jaya misalnya, Bupati T Irfan TB menyampaikan pelimpahan kewenangan dari gubernur kepada bupati dan wali kota se-Aceh untuk pelaksanaan dana otsus termasuk dalam hal tender dan pengelola kegiatan merupakan pertimbangan yang cukup matang.

“Langkah yang diambil oleh Gubernur Aceh menurut kami dilakukan dengan pertimbangan cukup matang, agar tidak ada yang terkendala. Kalau dikelola provinsi setiap kegiatan mungkin sangat sulit karena sangat banyak kegiatan yang harus diawasi oleh provinsi,” tutur Irfan kepada Pikiran Merdeka, Jumat (16/3).
Irfan menjelaskan, pada saat rapat bersama Gubernur Aceh beberapa waktu lalu, bupati dan walikota seluruhnya menyambut baik dan siap atas pelimpahan kewenangan tersebut. “Kami atas nama pimpinan daerah sudah siap untuk melaksanakan seluruh kegiatan dalam hal pelimpahan kewenangan tersebut,” ungkapnya.
“Arahan dari Gubernur Aceh untuk melaksanakan pelelangan secara transparan dan menganut mazhab ‘hana fee’ dan kami sudah siap untuk itu,” tambah dia lagi.
Menurutnya, dengan adanya pelimpahan kewenangan tersebut maka pihaknya lebih mudah melakukan monitoring dan evaluasi sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Bahkan, dalam pekan lalu saja, Irfan juga telah memanggil ULP terkait dan menggelar rapat terbatas dengan Sekda Aceh Jaya dalam hal pelaksanaan pelimpahan kewenangan tersebut.
“Dalam waktu dekat ini kami akan memanggil kepala dinas yang ada kontribusi terkait dana otsus. Ini untuk dilakukan langkah-langkah selanjutnya, baik melengkapi dokumen dan lainnya, karena setelah APBA disahkan, lalu tanggal 5 April mendatang pelelangan harus sudah diumumkan,” tandasnya.

Dukungan serupa disampaikan Wakil Bupati Pidie Fadhlullah TM Daud. Kepada Pikiran Merdeka, Jumat (17/3), ia mengatakan, Pemerintah Kabupaten Pidie menyambut baik kebijakan Gubernur Aceh. “Jika dana Otsus dikelola oleh kabupaten/kota tentu saja pengawasan akan lebih mudah dan dekat dengan lokasi yang dibangun,” jelasnya.
Ia juga lega dengan pelimpahan kewenangan proyek dana Otsus ini ke kabupaten/kota. Pembangunan, sebutnya, akan terlaksana secara lebih merata dan tidak tumpang tindih dengan dana APBK. Ia melihat, pembangunan yang menggunakan dana Otsus lebih mudah dilakukan jika dikelola sendiri.
“Agar lebih fokus dalam penentuan pembangunannya, sehingga tepat sasaran dan lebih dinikmati rakyat. Apalagi selama ini banyak pembangunan dengan dana tersebut kurang fokus dan ada yang terlambat, juga ada yang tidak bisa dinikmati oleh masyarakat,” tutupnya.
Sementara Bupati Simeulue Erly Hasyim menyampaikan, peralihan ini dapat meminimalisisir terbengkalainya proyek Otsus. “Selama ini, banyak sekali proyek yang tidak selesai. Seperti irigasi, pasar, gedung sekolah, banyak yang tidak berfungsi,” kata Erly.
Wali Kota Banda Aceh, Aminullah Usman tentang hal ini meyakini bahwa daerah paling berperan untuk memetakan permasalahan pembangunan yang ada di kawasannya sendiri. “Maka saya pikir ini sudah tepat sekali, melimpahkan wewenang ke kabupaten/kota,” pungkasnya.[]
Liku-Liku Pengelolaan Dana Otsus
Dana Otonomi Khusus Aceh (DOKA) adalah dana yang diperuntukkan untuk membiayai program dan kegiatan pembangunan kabupaten/kota yang sesuai dengan prioritas Aceh dan ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA). Dasar hukumnya adalah Qanun Nomor 10 Tahun 2016 sebagai perubahan kedua atas Qanun Nomor 2 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pengalokasian Tambahan Dana Bagi Hasil Migas dan Penggunaan Dana Otonomi Khusus.
Namun, kebijakan baru berupa pelimpahan wewenang pengelolaan jatah kabupaten/kota ke daerah masing-masing, agaknya menyalahi peraturan daerah tersebut. Sebab, salah satu poin Qanun Nomor 10 Tahun 2016 mengamanahkan pengelolaan proyek Otsus sepenuhnya dilakukan pemerintah provinsi. Karena itu, dibutuhkan regulasi baru sebagai pedoman pengelolaan proyek Otsus oleh pemerintah kabupaten/kota di Aceh.
Dana Otsus, sebagaimana yang telah diatur dalam UU Pemerintahan Aceh, ditujukan pada enam bidang pembangunan, yaitu infrastruktur, ekonomi rakyat, pengentasan kemiskinan, pendidikan, sosial, dan kesehatan. Dalam Pasal 183 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 disebutkan, bahwa Pemerintah Aceh mendapat Dana Otonomi Khusus setara dua persen pagu Dana Alokasi Umum Nasional untuk Tahun 2008 sampai dengan Tahun 2022 dan setara satu persen pagu Dana Alokasi Umum Nasional untuk Tahun 2023 sampai dengan tahun 2028.
Dalam praktiknya, pada aturan turunannya yang terdahulu ditemukan berbagai kelemahan, baik dalam perencanaan program dan kegiatan maupun dalam pelaksanaan dari Qanun 2 Tahun 2008 itu. Karenanya, pada tahun 2013 telah dibentuk Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Qanun Aceh Nomor 2 Tahun 2008 tersebut.
Ternyata, implementasi dari aturan baru ini juga masih mendapati berbagai kelemahan, baik dalam penyusunan, pengusulan maupun pelaksanaan program dan kegiatan terutama yang dibiayai dengan dana otonomi khusus.
Sementara, jika mengacu Qanun Nomor 10 Tahun 2016, pada salah satu poin disebutkan bahwa dana ini dialokasikan di antaranya untuk program dan kegiatan bersama provinsi dan kabupaten/kota. Adapun yang dimaksud kegiatan bersama adalah program dan kegiatan yang lokasi, pengguna, manfaat dan dampaknya dirasakan oleh lintas kabupaten/kota, seperti jaminan kesehatan, beasiswa, bantuan dana untuk anak yatim, dan rumah layak huni.
Ekonom dari Universitas Syiah Kuala, Dr Amri SE MSi menerangkan, sebelum berlakunya Qanun Nomor 10 Tahun 2016, pola pengelolaan dana Otsus dimulai dari tahapan transfer dari Pemerintah Pusat ke Provinsi Aceh. Dari provinsi, dana tersebut baru disalurkan lagi ke 23 kabupaten/kota di Aceh, diplot dalam APBK masing-masing daerah.
Dalam Qanun 2 Tahun 2008 dijelaskan, pengalokasian anggaran tidak diberikan dalam bentuk dana tunai, akan tetapi diberikan dalam bentuk pagu yang setiap tahun ditetapkan oleh gubernur, setelah mendapat persetujuan pimpinan DPRA.
Sedangkan paska perubahan menjadi Qanun Nomor 2 Tahun 2013, anggaran dialokasikan dalam bentuk dana transfer yang setiap tahun ditetapkan oleh gubernur setelah mendapat persetujuan DPRA.
“Pengalokasian Dana Otonomi Khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8, saat itu dilakukan dengan perimbangan paling banyak 40 persen dialokasikan untuk program dan kegiatan pembangunan provinsi, dan paling sedikit 60 persen dialokasikan untuk pembangunan kabupaten/kota,” jelas Amri.
Aturan ini belakangan berubah dalam Qanun Nomor 2 Tahun 2013, dimana perimbangannya sebesar 60 persen dialokasikan untuk program dan kegiatan pembangunan Aceh, sedangkan 40 persennya dialokasikan pembangunan kabupaten/kota. Terakhir, besaran jumlah dana Otsus setiap tahun ditetapkan dalam APBA.
Dalam pasal 11 Qanun 10 Tahun 2016 dijelaskan, setelah dikurangi untuk program bersama, sebanyak 40 persen dana ini akan dianggarkan untuk program dan kegiatan pembangunan di kabupaten/kota. Alokasi tersebut tentunya berdasarkan usulan program dan kegiatan pembangunan masing-masing kabupaten/kota itu.
Jila dicermati, Qanun Nomor 10 Tahun 2016 dapat dilihat sebagai upaya sentralisasi dana Otsus, dimana pengelolaannya sepenuhnya berada di tangan provinsi. Sebelumnya, kewenangan tersebut sempat ditangani kabupaten/kota. Dalam hal ini, Amri menjelaskan bahwa perubahan qanun salah satunya ditengarai kurang optimalnya pengawasan atas program yang dilaksanakan di kabupaten/kota.
Apalagi, Amri mengklaim, APBA kala itu kerap mengalami Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA) yang sangat tinggi. Ia mengaitkan ini dalam hal penyerapan anggaran. Jika diundur ke belakang, sebut dia, di tahun 2014 saja SILPA untuk APBA bisa mencapai Rp917 miliar.
“Ketika dilimpahkan ke kabupaten/kota saja, SILPA bisa tinggi, apalagi ketika dikelola provinsi sepenuhnya,” kata Amri.
Tak dipungkiri, paska penerapan Qanun 10 Tahun 2016, realisasi APBA seperti di tahun 2017 menyisakan SILPA yang mencapai Rp1,2 triliun.
“Penyerapan anggaran kian rendah, banyak penyebabnya. Maka, kebijakan Gubernur kali ini untuk melimpahkan kewenangan pengadaan proyek DOKA ke kabupaten/kota, saya lihat ini positif sekali. Ini bisa mempercepat realisasi anggaran, apalagi di tengah situasi politik antara eksekutif dan legislatif selama ini yang membuat pengesahan APBA terlambat,” kata Amri.[]
Nasib Dana Otsus dari Tahun ke Tahun
Sejak tahun 2008 hingga 2017, Pemerintah Pusat telah menyalurkan dana Otsus untuk Aceh sekitar Rp56,67 triliun. Jika menilik tren dari tahun ke tahun, jumlah dana Otsus yang Aceh terima relatif meningkat. Pada 2008 dana Otsus Aceh mencapai Rp3,5 triliun, tahun 2009 Rp3,7 triliun, tahun 2010 Rp3,8 triliun, di tahun 2011 Rp4,4 triliun, tahun 2012 Rp5,4 triliun, dan tahun 2013 Rp6,1 triliun.
Selanjutnya, di tahun 2014 Aceh menerima sebesar Rp8,1 triliun, tahun 2015 Rp7 triliun, tahun 2016 sebesar Rp7,6 triliun, dan di tahun 2017 sebesar Rp7,9 triliun.
Sayangnya, menurut Amri, selama ini minim sekali pengerjaan proyek monumental di Aceh yang bersumber dari dana Otsus. Hasil audit investigasi BPK Perwakilan Aceh pada tahun 2013 menunjukkan, sejak lima tahun penggelontoran dana Otsus, sekitar Rp5,1 triliun atau 24 persen dari total alokasi sebesar Rp21,1 triliun ini tidak jelas pengelolaannya.
Bahkan, Heru Cahyono dalam ‘Evaluasi Atas Pelaksanaan Otonomi Khusus Aceh: Gagal Menyejahterakan Rakyat’ mengutip centraldemokrasi.com (2011), yang mengatakan kegagalan mengelola dana Otsus ini lantas membuat Aceh diganjar skor terburuk dari Kemendagri terkait kinerja penyelenggaraan otonomi daerah. Indikator yang dinilai antara lain kinerja keuangan, pelayanan publik, transparansi, dan akuntabilitas.
Ketimpangan pengalokasian dana Otsus ini secara gamblang terungkap dalam sebuah penelitian yang dimuat di Jurnal Magister Akuntansi Pasca Sarjana Unsyiah. Cut Sri Hartati dkk menandaskan satu hal menarik, terkait pengaruh penerimaan dana otonomi khusus terhadap belanja modal serta dampaknya pada Indeks Pembangunan Manusia kabupaten/kota di Aceh. Mengacu pada IPM Aceh sejak 2004-2013, Badan Pusat Statistik mencatat bahwa rata-rata kenaikan IPM Aceh periode 2004-2008 atau sebelum adanya dana otonomi khusus adalah 0,41 poin.
Hal ini berbeda dengan rata-rata kenaikan IPM periode 2009-2013 atau setelah adanya dana otonomi khusus yang barada di angka 0,34 poin. “Jika dibandingkan rata-rata kenaikan IPM Aceh pada kedua periode tersebut terlihat bahwa rata-rata kenaikan IPM periode sebelum adanya dana otonomi khusus ternyata lebih tinggi.
Seharusnya, dengan jumlah anggaran yang diterima oleh kabupaten/kota di Aceh yang terus meningkat dari tahun ke tahun, terutama dari dana otonomi khusus dan TDBH Migas dapat pula meningkatkan kesejahteraan masyarakat,” tulis Cut Sri Hartati.
Ia merujuk pada penelitian yang dilakukan oleh Sumardjoko (2014) yang menyimpulkan bahwa dana otonomi khusus berpengaruh positif terhadap indeks pembangunan manusia. Ia juga mengutip Brata (2005), yang dalam kajiannya berpendapat bahwa pengaruh pengeluaran pemerintah daerah khususnya bidang pendidikan dan kesehatan terhadap IPM dalam konteks regional (antar provinsi) di Indonesia, memperlihatkan bahwa pengeluaran pemerintah bidang pendidikan dan kesehatan memberikan pengaruh yang positif terhadap pembangunan manusia. Semakin besar alokasi pengeluaran bidang pendidikan dan kesehatan semakin baik pula IPM yang dicapai.
Cut juga mengutip hasil penelitian yang dilakukan oleh Majid (2013) mengenai angka rata-rata IPM kabupaten/kota di Aceh yang anjlok dari peringkat 17 pada tahun 2009 ke peringkat 27 secara rata-rata nasional pada tahun 2010.
Dalam laporan perkembangan pembangunan Provinsi Aceh Ttahun 2014 yang dikeluarkan oleh Bappeda Aceh, didapati kondisi IPM beberapa kabupaten/kota di Aceh yaitu Kabupaten Aceh Jaya, Pidie, Simeulu, Aceh Selatan, Aceh Besar, Aceh Singkil, Gayo Lues, Aceh Tenggara, Bireuen, dan Kota Subulussalam peningkatan IPM-nya di bawah rata-rata. Hal ini kerap menjadi tantangan, terlebih saat kita dihadapkan pada kenyataan miris bahwa Aceh masuk dalam peringkat kedua termiskin se-Sumatera.
Dari sini, baik dari segi peningkatan infrastruktur maupun IPM, peruntukan dana Otsus selama satu dasawarsa ini kian memantik kegamangan. Tentu ini menjadi alarm bagi Pemerintah Aceh, sekaligus tantangan bagi Gubernur untuk membuktikan kebijakan yang ia sepakati bersama seluruh Bupati dan Walikota tempo hari.
Kendati demikian, kebijakan yang disampaikan Gubernur Irwandi, tetap dipandang oleh Ekonom Unsyiah, Dr Amri, sebagai jalan menuju realisasi anggaran yang efektif, efisien, tepat sasaran, dan tepat guna.
“Kita harap, bupati dan walikota punya inisiatif menelurkan program-program monumental yang bermanfaat bagi rakyat banyak, supaya uang rakyat benar-benar diperuntukkan bagi rakyat. Proyek-proyek monumental seperti irigasi, waduk, gedung sekolah, ini sangat dibutuhkan,” ujarnya.[]
Belum ada komentar