Pat gulipat proyek buku di Disdik Aceh mulai ditangani polisi. Sejumlah pejabat diperiksa terkait dugaan penyimpangan pengadaan buku Pendidikan Budi Pekerti senilai Rp8 miliar pada 2016.
Sejak pekan lalu, polisi memanggil dan memintai keterangan para pejabat Dinas Pendidikan Aceh. Pada Rabu, 4 Januari 2017, penyidik Unit Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Polresta Banda memeriksa Pejabat Pembuat Teknis Kegiatan (PPTK) Riswan. Selain meminta keterangan, penyidik juga meminta dokumen menyangkut empat paket proyek pengadaan buku Budi Pekerti tingkat SD dan SMP pada 2016.
Sementara pada Jumat, 6 Januari 2016, penyidik kembali memanggil Kasubbag Umum Rahmadani dan Kepala Bidang (Kabid) Pendidikan Dasar (Dikdas) Abri SPd MPd. Abri sudah tiga kali diperiksa penyidik, yakni pada Selasa, Rabu dan Jumat.
Kasat Reskrim Polresta Banda Aceh Kompol Raja Gunawan menyebutkan, pemanggilan pejabat Dinas Pendidikan Aceh masih sebatas klarifikasi atau pengumpulan data. Raja mengakui, pemanggilan pejabat tersebut terkait empat paket proyek buku budi pekerti senilai Rp8 miliar pada tahun lalu.
“Ini masih pra lidik, jika sudah ada hasilnya akan diberitahukan kepada teman-teman media,” kata mantan Kabag Ops Polresta Banda Aceh saat dihubungi Pikiran Merdeka, Sabtu malam lalu.
Menurut sumber Pikiran Merdeka, Abri diperiksa penyidik hingga Jumat malam. Mantan Kabid Dikdas Disdik Aceh Tengah yang masih punya hubungan keluarga dengan Kadisdik Aceh Hasanuddin Darjo itu diperiksa selaku Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) dalam proyek buku tersebut.
Dihubungi Pikiran Merdeka, Sabtu malam lalu, Abri tidak menyangkal jika dirinya dipanggil penyidik terkait proyek pengadaan buku budi pekerti. Namun demikian, dirinya enggan memberikan keterangannya.
“Saya lagi pusing ini, tidak enak saya ngomong di Hp masalah ini,” kata Abri, mengakhiri pembicaraan.
Kabar pemanggilan tiga pejabat Disdik Aceh ini santer terdengar di lingkungan pegawai Dinas Pendidikan Aceh. Menurut seorang pegawai di sana, sejumlah pihak yang terkait dengan proyek pengadaan buku tersebut mulai kocar-kacir dengan adanya pemanggilan dari Polresta Banda Aceh.
Sumber itu menjelaskan, Abri merupakan merupakan pegawai yang dipekerjakan di Pemerintah Aceh dan diberi jabatan sebagai Kabid Dikdas di Disdik Aceh. “Tapi statusnya masih PNS Aceh Tengah,” katanya.
Baca: Pat Gulipat Proyek Buku Revolusi Mental di Disdik Aceh
Di posisi tersebut, Abri menggantikan Nasrun yang dipromosikan sebagai Sekretaris Dinas Pendidikan Aceh. Nasrun orang kepercayaan Hasanuddin Darjo. Sementara Abri ditengarai memiliki hubungan keluarga dengan Kadisdik.
Selain KPA di Dikdas, Hasanuddin Darjo juga memberi kewenangan untuk Abri sebagai KPA di Bidang Pendidikan Luar Biasa dan Luar Sekolah (PLBLS) Disdik Aceh.
Dalam proses lelang empat paket proyek pengadaan buku Pendidikan Budi Pekerti senilai Rp8 miliar, tidak hanya melibatkan Abri. Sumber lain menyebutkan, Nasrun juga diduga paling berperan karena sebagai pihak yang menandatangani dokumen lelang bersama PPTK Husaini. Belakangan Husaini mengundurkan diri karena pergi ibadah haji pada tahun lalu. PPTK kemudian diganti dengan Riswan, Kasi Dikdas Disdik Aceh.
Empat proyek buku Pendidikan Budi Pekerti yang diperuntukkan tingkat SD/MI dan SMP/MTS dimenangkan empat rekanan. Perusahaan tersebut yaitu CV Marine Panorama dengan penawaran Rp1.896.728.000 dari pagu Rp2.182.500.000, CV Maestro Sembilan dengan penawaran Rp1.914.189.000 dari pagu Rp2.182.500.000, CV Indah Media Grafika dengan penawaran Rp1.854.373.000 dari pagu Rp2.100.000.000, dan CV Banyu Bening dengan penawaran Rp1.578.252.000 dari pagu anggaran Rp1,9 miliar.
Informasi dikumpulkan Pikiran Merdeka, berbagai kejanggalan terjadi dalam proyek pengadaan buku pendidikan budi pekerti senilai Rp8 miliar itu. Selain terindikasi mengarahkan rekanan pemenang tender, juga diduga adanya monopoli penyedia buku dari satu penerbit.
Dalam dokumen empat paket lelang tersebut, Pokja mencantumkan judul buku dengan penulis Sukardi dan penerbit Acarya Media Utama. Artinya, empat proyek senilai Rp8 miliar itu hanya membelanjakan satu judul buku dari satu penerbit.
Indikasi adanya monopoli lelang dan sudah diarahkan pemenangnya didasarkan beberapa rekanan yang ikut dalam lelang itu tidak berhasil memperoleh dukungan barang dari penerbit Acarya Media Utama. “Ini trik lama dipakai dinas (Disdik Aceh) dan Pokja untuk menjegal perusahaan lain ikut berkompetisi,” kata seorang rekanan kepada Pikiran Merdeka pada Mei 2016.
Rekanan tersebut juga heran kenapa hanya satu judul dan satu penerbit pada proyek sebesar itu. Dia meyakini, ada ketidakberesan dalam proses dan mekanisme penetapan spesifikasi dan HPS oleh PPTK yang katanya melibatkan tim penilai buku dari unsur kejaksaan, kepolisian, akademisi, dan LSM.
“Saya sudah tanyakan kepada penerbit buku lain yang ada perwakilan di Aceh, mereka tidak pernah diundang untuk pembanding produk dalam penetapan spesifikasi dan HPS,” katanya.
Baca: Proyek Buku Revolusi Mental, Penerbit Lain Tidak Dikutsertakan
Pada pemberitaan Pikiran Merdeka sebelumnya, Pejabat Pembuat Teknis Kegiatan (PPTK) Bidang Dikdas Disdik Aceh, Husaini membantah ada monopoli produk dalam lelang tersebut. Menurutnya, pemilihan judul buku dan penerbitnya sudah melalui pemeriksaan tim penilai terdiri dari pihak Kejati Aceh, Polda Aceh, akademisi dari Unsyiah, LSM, wartawan, dan dewan guru.
Saat ditanyakan bagaimana proses penetapan spesifikasi buku dan pemilihan judul oleh PPTK, Husaini meminta Pikiran Merdeka menanyakan kepada atasannya. “Lebih baik datang langsung ke kantor dan tanyakan ke KPA saya (Kabid Dikdas) karena beliau yang lebih berhak menjawab,” kata Husaini saat itu. Belakangan, Husaini mengundurkan diri dari PPTK dengan alasan menunaikan ibadah haji.
Sementara sumber Pikiran Merdeka di Dinas Pendidikan Aceh mengungkapkan, pengadaan buku Pendidikan Budi Pekerti senilai Rp8 miliar lebih itu jauh-jauh hari sudah didesain serapi mungkin oleh Kadisdik Aceh Hasanuddin Darjo. Pada awal 2016, kata sumber tersebut, Darjo pernah mengutus Nasrun yang saat itu menjabat Dikdas PPTK Husaini dan seorang rekanan untuk mendatangi kantor penerbit Acarya Media Utama yang beralamat di Jalan Rumah Sakit No.58 Ujung Berung, Bandung.
Kedatangan pejabat Disdik Aceh itu disambut langsung pemilik Acarya Media Utama bernama Ketut Astawa. Pertemuan tersebut bertujuan mengkondisikan proyek buku itu, termasuk komitmen sukses fee dan besaran diskon.
Acarya Media Utama, menurut sumber tadi, bukan perusahaan penerbit benefit sekaliber Penerbit Erlangga, Intan Pariwara, Tiga Serangkai, Aneka Ilmu atau penerbit buku lainnya yang sudah populer di sekolah–sekolah. Bahkan, buku yang diterbitkan Acrya sulit dijumpai di pasaran. Kantor perwakilan penerbitnya juga tidak ada di Aceh.
Penerbit Acarya Media Utama juga tidak memiliki mesin percetakan. Selama ini penerbit itu mencetak bukunya di percetakan penerbit lain, salah satunya percetakan milik CV Arya Duta di Bogor, Jawa Barat.
“Paket buku Pendidikan Budi Pekerti Rp8 miliar itu sebagiannya sudah dicetak di Arya Duta. Penerbit itu juga kabarnya sudah mau kollaps,” sebut sumber tersebut.
Lalu kenapa Disdik Aceh memilih penerbit itu? Sumber tadi menjelaskan, diskon pembelian buku oleh Acarya Media Utama yang diberikan penerbit sangat besar, di atas 50 persen. “Tidak heran, keseluruhan pengadaan buku senilai Rp8 miliar itu hanya satu judul saja dan satu penerbit. Inikan janggal sekali. Biasanya, untuk proyek pengadaan sebesar itu, ada belasan penerbit dilibatkan,” katanya.
PENERBIT DIARAHKAN
Sejumlah penerbit buku yang membuka perwakilan di Aceh mengaku tidak diundang oleh Pejabat Pelaksana Teknis Kerja (PPTK) Disdik Aceh saat penentuan spesifikasi buku Pendidikan Budi Pekerti Revolusi Mental senilai Rp8 miliar.
Jauh-jauh hari sebelum proyek itu dilelang, sebagian mereka sudah mendengar desas-desus pihak dinas akan menggandeng penerbit Acarya Media Utama dari Bandung dalam proyek tersebut. Padahal, untuk buku Pendidikan Budi Pekerti, semua penerbit memilikinya.
Misalnya, Penerbit CV Aneka Ilmu memiliki dua produk, yaitu buku pelajaran dan buku perpustakaan. Bahkan, untuk buku pelajaran sekolah kurikulum K13 dengan judul Pendidikan Agama Islam dan Budi Pekerti.
Manager Area Aceh CV Aneka Ilmu, Sumatri mengatakan Dinas Pendidikan Aceh tidak mengundang pihaknya terkait mengajukan katalog untuk proyek pengadaan buku tersebut. Dirinya juga mempertanyakan kenapa Penerbit Acarya Media Utama saja yang dilibatkan.
“Untuk proyek sebesar itu, seharusnya harus dilibatkan minimal tiga penerbit,” kata Sumantri yang dihubungi Sabtu pekan lalu.
Sumantri melihat ada unsur monopoli dengan dipilihnya penerbit tunggal dalam proyek tersebut. Apalagi, Penerbit Acarya Media Utama tidak ada marketingnya di Aceh.
“PPTK perlu menjelaskan kepada pihak penerbit, apa kelebihan buku tersebut sehingga tidak melibatkan penerbit lain. Jika jawabannya mereka rasional, mungkin kami bisa terima. Namun jika bukunya biasa-biasa saja, perlu dicurigai ada sesuatu,” kata Sumantri.
Sementara Kepala Cabang Penerbit Masmedia Aceh, Siswadi menilai, PPTK sudah salah kaprah dalam menentukan spesifikasi dalam proyek pengadaan buku tersebut. Sebagai penerbit yang memiliki kantor Cabang di Aceh, Siswadi menyayangkan pihak PPTK Dinas Pendidikan Aceh hanya melibatkan satu penerbit untuk proyek itu.
“Pengadaan buku Rp8 miliar itu sangat besar dan banyak, kenapa hanya penerbit Acarya saja terlibat. Kami juga ada beberapa produk untuk buku budi pekerti, tetapi tidak dilibatkan,” jelasnya.
Siswadi juga mengaku mendengar kabar para rekanan susah mendapatkan dukungan dari penerbit Acrya Media Utama. “Tidak seharusnya pihak dinas memonopoli produk, karena sangat merugikan pengusaha penerbit lainnya, khususnya yang membuka cabang di Banda Aceh,” katanya.
Branch Manager Intan Pariwara, Agus Kristiadi juga mengalami nasib sama dengan penerbit lain. Biasanya, kata Agus, pihak Dinas Pendidikan Aceh meminta katalog buku dari pihaknya untuk produk pembanding. “Tetapi untuk proyek ini, tidak ada,” jelasnya.
Padahal, kata Agus, Intan Pariwara punya beberapa produk buku budi pekerti. Kerena itu, ia mencurigai ada permainan di Dinas Pendidikan Aceh dengan mengambil penerbit tunggal dalam proyek sebesar itu. Apalagi, tambahnya, penerbit asal Bandung tersebut tidak pernah mereka dengar sebelumnya.
“Jangankan kantor perwakilan, marketingnya saja tidak ada di Aceh. Mungkin mereka punya akses dengan orang dalam dinas pendidikan,” katanya.[]
Belum ada komentar