Kejati Aceh dinilai tidak serius mengusut dugaan korupsi dana pemberdayaan eks kombatan. Penanganan kasus itu terkesan jalan di tempat.
Jumat sore pekan lalu, ruang lobi kantor Kejaksaan Tinggi Aceh lebih ramai dari biasanya. Puluhan awak media berkumpul. Semua tengah menunggu konferensi pers yang akan disampaikan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kajati) Raja Nafrizal. Pertemuan itu guna membahas Rekapitulasi Kinerja Kejaksaan Tinggi Aceh dalam periode Januari-Juni 2017.
Sekitar 15 menit kemudian, para wartawan diarahkan menuju ruang rapat. Di dalam, seluruh pejabat asisten Kajati, baik bidang Intelijen, Pidana Umum, Pidana Khusus, sampai bidang Perdata dan Tata Usaha Negara telah menempati posisi duduknya di depan meja panjang melingkar. Belakangan, Kajati Raja Nafrizal tiba di ruangan.
Dalam penyampaian laporan kinerja bidang pidana khusus, Kejati mengungkap keberhasilannya mengeksekusi 25 orang pelaku korupsi. Bidang Pidsus dalam periode ini telah menyelesaikan 13 penyelidikan perkara Tipikor, dan ada sembilan penyidikan perkara yang sampai saat ini masih berlangsung persidangannya di Pengadilan Tipikor Banda Aceh.
Di medio tersebut juga, Kejati menyampaikan telah berhasil menyelamatkan uang negara sebanyak Rp5,3 miliar. “Ini lebih baik dibanding tahun 2015, yang pada periode yang sama uang yang diselamatkan sebanyak Rp3,8 miliar, tahun 2016 sebesar Rp4,4 miliar,” ujar Asisten Bidang Pidana Khusus, Teuku Rahmatsyah.
Untuk selanjutnya, beberapa pemaparan disimak secara seksama. Hal yang berbeda muncul saat sesi tanya jawab dengan wartawan. Pertanyaan yang disampaikan seluruhnya mengenai penanganan perkara korupsi oleh Kejati Aceh.
Beberapa perkara ditengarai mangkrak di tengah jalan. Terakhir mencuat pertanyaan seputar penanganan perkara Rp650 miliar. Dana yang diperuntukan bagi kesejahteraan mantan anggota GAM tersebut kini tak jelas ke mana rimbanya.
Dikucurkan pada tahun 2013 silam, dana yang telah tersebar di 11 Satuan Kerja Perangkat Aceh dicurigai terdapat penyimpangan. Akhir Januari lalu, LSM Gerakan Antikorupsi (GeRAK) Aceh secara resmi melayangkan laporan hasil monitoring dan evaluasi mereka terkait dana itu ke Kejati. Beberapa bulan terakhir kabar mengenai perkembangan kasus ini mulai redam, hingga kembali mencuat seiring evaluasi kinerja Kejati di paruh awal tahun ini.
Dalam konferensi pers tersebut, Raja Nafrizal secara mengejutkan mengaku belum pernah menerima hasil audit tentang dana tersebut. “Setelah kami telusuri, ternyata laporan itu masih mentah. Dalam arti, biasanya penegak hukum bekerja berdasarkan hasil audit. Ternyata dana tersebut yang kita tahu tersebar di beberapa dinas, tidak pernah diadakan audit,” katanya.
Baik dari Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), Inspektorat, sampai BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sama sekali tidak pernah melakukan audit. Raja Nafrizal mengaku tak tahu penyebab tidak diaudit. Tanpa modal hasil audit, lanjut Raja, penyidik Kejati akan sulit menindaklanjuti kasus ini.
“Apabila ada hasil audit, kan sangat membantu kita, adanya dugaan penyimpangan, misalnya. Tapi ini tidak, masih mentah laporan itu. Cuma diduga, bentuknya masih informasi. Akan kita tindaklanjuti, kalau sudah ada fakta tentu akan dilakukan penyelidikan,” tegasnya.
Untuk memastikan penggunaan dana tersebut, pihak Kejati akan bekerjasama dengan BPK. Dari pihak Kejati, penyelidikan juga telah dilakukan terhadap beberapa orang dari dinas-dinas yang menerima dana tersebut. “Yang kita butuhkan adalah audit investigasi. Mengenai di proyek mana saja dana tersebut dicairkan, berapa pencairannya, pertanggunjawabannya bagaimana, ini belum ada kejelasan,” imbuhnya.
Pernyataan Raja tak adanya audit Inspektorat dalam dugaan penyelewengan dana hiban tersebut dibantah Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani. Menurut dia, sejak awal pihaknya turut menyertkan alat bukti saat melaporkan kasus dugaan penyelewengan uang negara yang bersumber dari APBA 2013 tersebut.
“Itu bahan awal dan bukti yang turut kami lampirkan pada Kejati. Kasus ini sudah dilakukan audit awal oleh Inspektorat,” aku Askhalani kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu. Ia pun turut memperlihatkan bukti hasil audit Inspektorat yang diakuiya ikut diserahkan ke Kajati saat melaporkan kasus itu pada Selasa, 24 Januari 2017.
Menurutnya, Inspektorat Aceh tidak bisa bengubah menjadi lembaga yang menghitung adanya kerugian keuangan yang diakibatkan oleh pelaksanaan anggaran karena tugas tentang menghitung kerugian negara adalah Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
“Jadi, kalau disebutkan tidak ada pemeriksaan, menurut kami Kajati mengada-ada dalam menangani kasus Rp650 miliar,” sambungnya.
JAKSA TAK SERIUS
Berkaca dari berkas yang GeRAK lampirkan pada waktu melaporkan kepada Kejati, diakui Askhalani, seharusnya jaksa sudah dapat melakukan penyidikan dengan melengkapi berkas yang sudah ada. Nantinya, jaksa dapat melakukan supervisi dengan instansi terkait seperti BPKP dan BPK untuk mempercepat skema pengembangan terhadap bukti permulaan yang sudah diserahkan.
“Misal kasus boat 40 GT dan ayam petelur. Sebab 2 kasus itu sudah menjadi rahasia umum bahwa ditemukan adanya potensi korupsi dan ketidakberesan dalam pelaksanaan dan pertanggungjawabannya,” tegas Askhalani.
Sebagai pelapor, Askhalani mengaku sudah cukup membuktikan bahwa ada beberapa indikasi kuat kasus tersebut berpotensi merugikan keuangan negara. Bukti-bukti yang dilampirkan GeRAK salah satu adalah hasil resume pemeriksaan oleh Inspektorat Aceh terhadap pengelolaan dan pertanggungjawaban pelaksanaan anggaran Rp650 miliar.
Melihat perkembangan pengusutan kasus ini, GeRAK menilai Kejati Aceh sudah menunjukkan gejala ‘masuk angin’. Gejala itu terlihat dari penjelasan jaksa yang dinilai plin-plan dan tak masuk akal. Sebelumnya, Raja Nafrizal pernah mengungkapkan pihaknya sudah membentuk tim untuk menangani kasus initersebut. Namun kali ini, Raja berkilah bahwa jaksa tidak punya bukti cukup untuk memulai penyelidikannya.
Hal ini yang dinilai sebagai gejala ‘masuk angin’ jajaran Kejati Aceh. “Mohon kejaksaan berani menyebutkan secara terbuka, jangan memberi alasan yang tidak logis dan tidak masuk akal,” sebut Askhalani.
Tanda-tanda kasus ini akan ‘digantung’ Kejati Aceh memang sudah terlihat sejak awal. Askhalani menuturkan, pihaknya mencium keanehan dalam penanganan perkara tersebut. Beberapa catatan pihaknya, setiap ditanya media Kajati sepertinya sudah menyiapkan alasan yang menyiratkan ketidakmampuan menuntaskan kasus tersebut. “Tapi menurut kita ini menunjukkan sindrome aneh. Kajati sepertinya enggan dan ketakutan berlebihan untuk membuka kasus Rp650 miliar,” katanya.
Sebenarnya, GeRAK tak ingin berburuk sangka bahwa Kejati Aceh tidak benar-benar serius menangani kasus tersebut. Namun, sejak dilaporkan tidak ada progres laporan penanganan perkara, GeRAK pantas merasa gusar. Apalagi sebelumnya Kajati mengaku sudah ada tim dibentuk dan akan mempercepat proses pengusutannya.
“Ini kan jadi aneh. Seharusnya penanganan perkara dengan variasi yang mendapat perhatian besar publik akan diumumkan berkala demi tujuan meningkatkan kepercayaan kepada instansi hukum. Ini malah kalau tidak ditanya atau tidak dikonfirmasi, ya diam-diam saja. Ada apa dengan kinerja tim Kajati?” ujar Askhal mempertanyakan.
Sementara itu, keterangan Kajati dinilai tak cukup beralasan atas lambannya penanganan dugaan korupsi Rp650 miliar. Peneliti Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Bidang Hukum dan Politik, Sari Yulis mengungkapkan, dalam Undang Undang Tipikor tidak ditunjuk siapa yang wajib atau tidak wajib untuk menghitung atau mengaudit kerugian negara. Penyidik kejaksaan dan kepolisian bisa melakukannya. Termasuk hakim dalam proses persidangan juga bisa memerintahkan audit berdasarkan hasil keterangan yang diperoleh saat persidangan.
“Jadi, tidak secara khusus harus ditunjuk siapa yang melaksanakan audit. Selama di sana ada potensi kerugian keuangan negara, untuk membuktikannya penyidik bisa mengaudit,” ujar Sari Yulis.
KUALITAS RENDAH
Menyikapi laporan rekapitulasi hasil kinerja Kejati, MaTA belum begitu yakin angka-angka capaian yang disebutkan secara kauntitas itu sama baiknya dengan kualitas penanganan perkara yang selama ini dijalankan. “Secara kuantitas, Kejati boleh menyatakan telah mengeksekusi sekian jumlah koruptor, sekian kerugian negara, dan sebagainya. Tapi secara kualitas, ketika kita telisik ternyata sebagian besar amburadul,” kata Sari Yulis.
Sejauh ini MaTA menilai, rapor penanganan korupsi di ranah kejaksaan masih merah. Dalam penanganan perkara, sebutnya, selalu menyisakan ketidak-utuhan. “Misalnya, satu kasus yang menurut indikasi kita tidak dinikmati oleh satu orang saja. Kemudian hakim merekomendasi untuk memeriksa beberapa orang yang turut serta menikmati aliran dana tersebut. Kenapa hakim mengeluarkan rekomendasi itu, pasti karena ada ketidak-utuhan dalam proses perkara tadi,” paparnya.
Tidak utuhnya penanganan perkara semacam itu, lanjutnya, memperlihatkan komitmen pemberantasan korupsi di lingkungan penegak hukum hanya lip service. Alhasil, menurut MaTA, semua hasil kinerja yang diungkapkan kejaksaan belum final.
Berkaca dari hasil analisa putusan perkara Tipikor di Aceh medio 2013-2016, putusan peradilan Tipikor didominasi oleh vonis ringan. Secara keseluruhan dari total 234 terpidana, 167 (71%) di antaranya mendapatkan vonis ringan. Sedangkan sisanya 31 terpidana (19%) mendapatkan vonis sedang.
Masih menurut catatan MaTA, dalam periode 2013-2016 total kerugian negara akibat tindak pidana korupsi berjumlah Rp1,3 triliun. Namun hanya berhasil dikembalikan sekitar Rp58 miliar. “Artinya, Rp1,2 triliun lagi selisih yang tidak dikembalikan ke kas negara,” pungkas Sari Yulis.[]
Belum ada komentar