Bagaimaan sebenarnya kondisi Aceh dewasa ini di manta kandidat Gubernur Aceh, dan apa yang harus dilakukan ke depan. Untuk menjawab itu, Iskandar Norman bersama Roni Purnama dari PIKIRAN MERDEKA, melakukan wawancara khsusu dengan salah satu kandidat Gubernur Aceh, Prof. Dr. H. Darni M Daud, MA. Berikut petikannya:
Bagaiman Profesor melihat Aceh hari ini?
Aceh hari ini ibarat orang sedang sakit. Sakit yang sudah lama dan kronis. Perlu pengobatan tidak hanya melalui dokter biasa, tapi butuh dokter spesialis.
Apa yang Prof sebut sakit itu?
Ada beberapa hal sebenarnya. Yang pertama syariat Islam belum berjalan. Inti dari syariat Islam itu adalah ahlakul karimah. Semua warga yang bermukim di Aceh harus berprilaku baik. Tapi yang terlihat sekarang justru sikap dan prilaku yang paradok dengan nilai-nilai syariat Islam. Kemudian soal pendidikan, ini juga sedang sakit. Pendidikan sekarang tidak merata, banyak masyarakat yang tidak bisa menyekolahkan anaknya ke tingkat perguruan tinggi karena ketiadaan biaya. Pendidikan itu bukan hanya untuk kelompok yang mapan saja, tapi untuk semua kelompok. Sayang kita sayangkan, dulu peringkat sekolah menengah di Aceh masuk peringkat 20-an secara nasional, sekarang semakin melorot menjadi peringkat 30-an. Ini yang saya katakan pendidikan di Aceh juga sedang sakit.
Dengan kondisi seperti itu apa yang harus dilakukan?
Harus adanya pemerataan pendidikan. Kalau sekarang kesenjangan yang luar biasa terjadi di dunia pendidikan. Ada masyarakat yang tidak menyekolahkan anaknya karena faktor-faktor lain. Hari ini kita cenderung melihat persoalan Aceh secara terpisah, belum mampu melihat ke dalam inti persoalannya.
Lebih jelasnya bagaimana?
Sederhananya begini, ada orang tua yang tidak mampu menyekolahkan anaknya karena ketiadaan biaya. Padahal pendidikan dasar dan menengah itu tanggung jawabnya pemerintah, seharusnya itu bukan lagi menjadi masalah. Proyek pendidikan tidak menyentuh masyarakat secara ril. Masyarakat dan anak-anak yang tidak mengkonsumsi makanan sehat berpengaruh pada kemampuan berpikir mereka. Bagaimana menjadi cerdas bila asupan gizi tidak cukup. Jadi pembangunan itu harus dilakukan secara integral antara pendidikan dan kesehatan. Selain itu pendidikan kejuruan juga kurang diperhatikan. Padahal pendidikan kejuruanlah yang mampu menciptakan lapangan kerja. Sekarang pendidikan kejuruan hanya diperhatikan di permukaannya saja.
Dengan kondisi seperti itu apa yang harus dilakukan?
Serahkan sesuatu pada ahlinya. Itu akan selesai.
Mungkin Aceh butuh banyak industri untuk membuka lapangan kerja?
Betul, tapi industri di Aceh bukan bertambah dalam dekade ini, malah berkurang. Coba Anda bayangkan dulu di Aceh ada 178 industri, sekarang tinggal 61 lagi. Sebanyak 117 industri di Aceh sudah hilang. Bagaimana menciptakan lapangan kerja untuk masyarakat bila industri yang sudah ada saja tidak bisa dipertahankan. Sekarang lulusan universitas mau bekerja di mana? Bayangkan bila ke depan tidak ada lagi industri di Aceh. Makanya untuk menciptakan kembali lapangan kerja di Aceh ini kita harus mengandalkan kekuatan otak untuk menambah nilai jangka panjang. Bukan kekuatan otot.
Pemerintah mengatakan hilangnya 117 industri itu karena faktor keamanan. Selama konflik tidak ada yang menjamin kemanan bagi investor. Ini bagaimana?
Yang paling enak adalah berdalih mencari pembenaran. Seharusnya pemerintah harus mempertahankannya. Keamanan itu tanggungjawab pemerintah. Pemerintah harus menjaganya agar industri-industri itu tidak hilang. Tapi selama ini itu tidak dilakukan oleh pemerintah di Aceh sehingga hanya tersisa 61 industri saja di Aceh.
Prof dikenal sebagai akademisi, mengapa tertarik terjuan dalam dunia politik dengan mencalonkan diri menjadi calon Gubernur Aceh?
Berbicara tentang itu sebetulnya sangat panjang. Ini murni panggilan jiwa, bukan mengharap jabatan dan kekuasaan. Kalau jabatan, ketika saya pulang dari Amerika pada tahun 2000 itu saya sudah dalam jabatan terus hingga sekarang, mulai Pembantu Dekan Bidang Akademik di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah), Pembantu Rektor Bidang Akademik Unsyiah, sampai dua periode dipilih manjadi Rektor Unsyiah. Itu sudah membuat saya super sibuk dalam jabatan saya. Saya maju sebagai calon gubernur Aceh murni karena panggilan jiwa, karena Aceh yang sedang sakit butuh dokter spesialis.
Bila Prof terpilih jadi gubernur dan menjadi “dokter spesiali” itu, apa yang pertama akan Prof lakukan?
Yang paling penting adalah membenahi manajemen pemerintahan. Gubernur Aceh dulu berhasil karena kekuatan bersama. Ada yang namanya Muspida dan elemen-elemen lainnya yang ikut memberikan masukan untuk menyelesaikan masalah-masalah strategis, ada MPU, MAA, pihak universitas dan lain sebagainya, harus bersama-sama memikirkannya. Formulanya adalah membangun tim yang solid untuk memacu roda pembangunan.
Apa yang paling mendesak dilakukan untuk membangun Aceh?
Membangun Aceh harus komprehensif. Ada tiga sentral yang harus dibangun secara bersama-sama, saling sejalan, yakni penguatan Syariat Islam, pendidikan yang bagus, dan jaminan kesehatan plus. Penguatan syariat Islam harus diwujudkan dalam tatanan prilaku yang benar-benar sesuai dengan nilai-nilai syariat. Pendidikan perlu diperkuat untuk mengisi pembangunan. Kemudian jaminan kesehatan juga harus benar-benar menjamin kesehatan masyarakat. Bukan seperti sekarang, masyarakat yang sakit menumpuk di rumah sakit, untuk penanganannya harus antri, orang yang sakit sudah meninggal saat menuggu antri. Bukan model ini jaminan kesehatan yang baik.
Lalu model yang bagaimana?
Kita harus memperbanyak dokter spesialis. Unsyiah sekarang sudah buka program studi dokter spesialis, jadi masyarakat yang sakit bisa ditangani di puskesmas, bukan menumpuk di rumah sakit. Dokter spesialis harus ditempatkan sampai ke puskesmas. Kita jangan bangga dengan banyaknya orang sakit, seolah-olah program jaminan kesehatan berhasil. Itu tidak betul, tapi bagaimana kita membuat orang tidak sakit. Ini yang penting. Aceh ini harus dibangun dengan ilmu. Ilmu itu bekal dunia dan akhirat, pendidikan bekal pembangunan.[]
Spirit Sang Profesor
Bermodal buah labu ia bersekolah, berbekal spirit hikayat ia menempuh pendidikan ke Amerika Serikat. Ia kemudian berkesempatan belajar ilmu politik dari penasehat politik Presiden USA, Bill Clinton. Inilah riwayat sang profesor dari Blang Usi.
Prof . Dr. H. Darni M Daud, MA lahir disebuah desa agraris di Gampong Blang Usi Kecamatan Ulim Kabupaten Pidie Jaya pada 25 Juli 1961. Masa kecilnya dilalui dengan kesederhanaan.
Usia dua setengah tahun Darni pindah ke Gampong Blang Kuta Kecamatan Bandar Dua, masih di kabupaten Pidie Jaya. Perpindahan itu karena ayahnya pindah mengajar ke salah satu sekolah di sana.
Pendidikan pertama didapatkan Darni di Sekolah Dasar Negeri Blang Kuta, Kecamatan Banda Dua, Kabuapten Pidie Jaya. Sepulang sekolah Darni kecil kerap menghabiskan waktu di dangau sawah bapaknya. Di sana ia belajar membaca berbagai buku. Ayahnya yang seorang guru membuat Darni mudah mendapatkan berbagai buku bacaan pada masa itu.
Tamat sekolah dasar pada 1973, Darni melanjutkan pendidikan ke SMP Negeri Uleegle, masih di kecamatan yang sama. Sejak kecil Darni sudah diajarkan untuk hidup disiplin dan mandiri oleh orang tuanya. Pagi-pagi betul Darni sudah bangun untuk kesekolah, sambil berjalan kaki dari rumah ke sekolah ia meneteng dua buah labu yang dipetik dari kebunnya untuk dijual ke sebuah rumah makan di keude Uleegle. Hasilnya digunakan Darni untuk memenuhi kebutuhan sekolahnya.
Pulang sekolah ia membantu ibunya memelihara bebek di belakang rumah. Dari sana mencukupi kebutuhan hidup, maklum gaji guru pada masa itu masih sangat pas-pasan. Kala padi menguning, Darni kecil juga harus ke sawah. Saat menjaga padi dari serangan hama pipit, ia duduk di dangau sambil membaca berbagai buku.
Suatu ketika ia membaca sebuah hikayat yang salah satu baitnya bercerita tentang kemajuan di Amerika Serikat. Di situ tertulis, geudong di Amerika meureutoh tingkat (Bangunan di Amerika beratus tingkat_red). Sejak saat itu di dada Darni sudah terpatri keinginan untuk bisa sekolah sampai ke Amerika. Sesuatu yang kemudian memang mampu diraihnya.
Tamat SMP di Uleegle, Darni melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Bireuen (1980). Dari sana ia kemudian melanjutkan pendidikan ke Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Bahasa Inggris Universitas Syiah Kuala (1985).
Sejak kuliah Darni sudah aktif di berbagai organisasi, diantaranya Himpunan Mahasiswa Islam BandaAceh (1980 -1985). English Students Association (ESA) FKIlP Unsyiah (1981-1983) dan Senat Mahasiswa FKIP Unsyiah (1983 -1985). Jiwa kepemimpinannya diasah di berbagai organisasi yang dimasukinya.
Tamat di FKIP Unsyiah Darni Daud kemudian melanjutkan pendidikannya ke University of Sydney Diptefl (1989) Tefl Program School of Education, The University of Sydney, Australia. Namun, ia belum puas sampai di situ. Ingatannya tentang hikayat yang dibacanya waktu kecil terus membayanginya, ia harus ke Amerika.
Maka tak berapa lamat usai menjalani pendidikan di Australia, ia mengusahakan dan kemudian memperoleh beasiswa ke New York University dan tamat pada 1994. Ia juga belum puas dengan apa yang dicapainya, Darni kemudian melanjutkan pendidikan ke Oregon State University Amerika Serikat dan tamat pada tahun 2000.
Prestasi yang menonjol selama kuliah di Oregon membuat Darni dipercayakan menjadi Teaching Assistant, School of Education, Oregon State University, Corvallis, USA mulai September 1995 hingga Mei 2000. Di sela-sela kesibukannya Darni mengambil kursus politik, tak tanggung-tanggung tutor politiknya adalah seorang profesor yang bekerja sebagai staf ahli Presiden Amerika Serikat saat itu; Bill Clinton.
Berbekal apa yang didapatnya di Amerika itu, Darni kembali ke almamaternya di Unsyiah pada tahun 2002. Ciamiknya, ia langsung dipercayakan untuk menduduki jabatan Pembantu Dekan Bidang Akademik FKIP Unsyiah. Jabatan itu dipegangnya sejak Mei 2001 hingga Agustus 2002.
Ia melepaskan jabatan itu karena dipercayakan untuk menduduki jabatan yang lebih besar yakni Pembantu Rektor Bidang Akademik Unsyiah, jabatan yang diembannya hingga September 2006. Selanjutnya Darni terpilih menjadi Rektor Unsyiah selama dua periode yakni sejak September 2006 hingga sekarang.
Sebagai akademisi, Darni terbilang sukses. Ia selama dua periode dipercayakan untuk memimpin Unsyiah. Kini ia membidik kursi Aceh satu, menyambung “tradisi” profesor memimpin Aceh. Ia ingin melanjutkan langkah pendahulunya di Unsyiah seperti Profesor Ibrahim Hasan dan Profesor Syamsuddin Mahmud yang memimpin Aceh setelah memimpin Unsyiah, jantong hatéé rakyat Aceh.
Untuk menuju kursi Aceh satu tersebut, Darni mengandeng Dr Tgk Ahmad Fauzi, MAg. Master agama lulusan Universitas Islam Umdurman, Khartoum Sudan. Pasangan calon gubernur Aceh bernomor urut tiga ini, sama-sama berasal dari kampus.
Bila Darni M Daud dari Universitas Syiah Kuala, maka Ahmad Fauzi dari Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Ar-Raniry. Dua kampus di Komplek Pelajar dan Mahasiswa (Kopelma) Darussalam yang dikenal sebagai jantong hatéé rakyat Aceh. Karena itu pula, pasangan calon gubernur ini menamai diri sebagai pasangan jantong hate rakyat Aceh.
Bagi Darni, membangun Aceh harus dilakukan dengan ilmu pengetahuan. Alasannya, ilmu adalah bekal dunia akhirat, mencapai kebaikan di dunia harus dengan ilmu, menggapai kebahagian akhirat juga harus dengan ilmu. Cara untuk memperolah ilmu adalah melalui pendidikan, karena pendidikan merupakan modal pembangunan. Intinya menurut Darni, ilmu bekal dunia dan akhirat, pendidikan bekal pembangunan.[adv/iskandar norman]
asai ka taloo chit ka meu peu,
kon tameu doa bek payah tamoong rumoh saket jiwa,
padahai meunjo ta yue bak jih, leubeh kreuh bhan keue ngon bhan likot,
meunjo boh teuh ube peunjok,
keu peue taneuk jak ‘ok pukoe gajah?