Statistik menunjukkan grafik kemiskinan masyarakat Banda Aceh semakin mengecil setiap tahunnya. Yakin? Kunjungilah sudut-sudut kumuh di ibukota provinsi.
Lorong-lorong beraura kumuh terlihat di Gampong Peuniti, Kecamatan Baiturrahman. Hanya terpaut beberapa meter di belakang Pendopo Gubernur Aceh atau dua ratusan meter dari Balai Kota Banda Aceh.
Di Dusun Cut Nyak Dhien, rumah warga saling berdempetan. Mobil pick-up tua terparkir di teras salah satu rumah yang tak berpagar milik Hanafiah Abdullah (60), dengan halaman berlantai tanah. Istrinya Nurasiah (50), mempersilakan Pikiran Merdeka masuk ke ruang tamu sekira 3×3 meter.
Tak seperti halamannya, ruang tamu bercat hijau dengan plafon triplek yang dicat putih dan berlantai semen kasar beralas tikar. “Ruang tamu ini sengaja kami percantik biar tidak malu jika ada tamu yang datang,” ujarnya.
Ia beberapa saat kemudian memperlihatkan bagian rumah lainnya. Meninggalkan ruang tamu, ada tiga kamar kecil yang disekat-sekat hingga mencapai dapur dan kamar mandi, dengan lorong kecil cukup untuk berjalan. Di lantai dua juga terdapat satu kamar untuk ia tidur. Semuanya tampak kumuh dan usang dengan dinding tepas bambu.
Nurasiah dan suaminya Hanafiah yang sudah sakit-sakitan, masih harus tinggal satu atap bersama 3 anak dan 10 cucunya. Mereka sudah 16 tahun menetap di rumah ukuran 15×3 meter itu.
Anak-anak mereka yang sudah menikah pun belum mampu sewa rumah. Selain itu, Nurasiah bertanggungjawab membiayai Rafi (7), cucu dari anak pertamanya yang meninggal saat melahirkan bocah kelas 1 SD itu.
“Saya harus urus dia (Rafi), apalagi setelah ibunya meninggal, ayahnya kawin lain dan meninggalkannya sendiri.”
Suaminya, Hanafiah sudah enam bulan berdiam di rumah sebab diserang stroke dan kompilasi penyakit lainnya. Tak bisa lagi ia nafkahi keluarga. Sebelumnya, ia bekerja sebagai pengantar-jemput barang dagangan orang lain, menggunakan pick-up tua yang parkir di halaman rumah. Sementara Nurasiah jualan pakaian setiap Sabtu dan Minggu di Pidie.
“Hasilnya cuma Rp20 ribu sehari, tidak cukup untuk biaya pulang-pergi Banda Aceh-Pidie,” ujar Nurasiah. “Untuk biaya hidup sehari-hari pun susah, apalagi setelah Bapak (suami) sakit.”
Di lantai dua, ada satu kamar lagi untuk Nurasiah, yang biasanya tidur bergantian dengan salah satu anaknya. Namun semua konstruksinya berbahan kayu yang sudah hitam akibat asap dapur dan reyot dimakan usia.
“Dengan rumah seperti ini, saya merasa malu seandainya ada tamu mengunjungi kami,” ujar Nurasiah seraya tersenyum dan tersipu, Selasa (17/05/16) sore lalu.
Beberapa gang dari rumah Nurasiah, di desa yang sama, ada rumah Juwairiah (73) yang juga dihuni 15 jiwa dari 5 KK. Rumah dua lantai berkonstruksi kayu itu terletak di Lorong Masjid, Peuniti.
Juwairiah setelah menikah langsung dibawa suaminya merantau dan menetap di Banda Aceh sejak awal 1960. Di usia tuanya ini, ia masih tinggal bersama dua anak perempuannya dan dua anak lelakinya yang semuanya sudah berkeluarga.
Rumah peninggalan almarhum suami Juwairiah berdesak-desakan bagi 5 KK. “Tapi hidup ramai begini ada baiknya, saya ada teman,” ujarnya. Namun kehidupan keluarga Juwairiah tak jauh berbeda dari Nurasiah: merasa kurang perhatian pemerintah.
Indeks Kota Islami
Pekan lalu, Banda Aceh dinyatakan menempati urutan 19 dari 29 kota di Indonesia berdasarkan Indeks Kota Islami hasil survei Maarif Institute. Banda Aceh kalah dari Yogyakarta, Bandung, dan Denpasar yang masing-masing menempati rangking satu, dua, dan tiga.
Maarif Institute dalam konferensi pers di Hotel Alia Cikini Jakarta Pusat itu, menerangkan, data objektif diambil berupa data skunder 2014 dari sejumlah dokumen yang terpublikasi di berbagai instansi terkait. Sementara data subyektif diperoleh melalui wawancara tatap muka dengan narasumber dengan sampel acak.
Belum ada komentar