Oleh Hamidulloh Ibda
SEKITAR tahun 384-322 SM pemikir asal Yunani terkemuka—Aristotheles—mengungkapkan bahwa human is zoon politicon. Sebagai makhluk sosial, manusia butuh interaksi dengan sesama. Pernyataan bapak filsafat tersebut mengamini manusia untuk berpolitik. Konsekuensi logisnya, untuk tetap survive manusia butuh berpolitik.
Banyak definisi yang menyebutkan arti dari politik itu sendiri. Secara sederhana politik dapat di intepretasikan sebagai strategi. Sehingga politik menjadi sebuah keniscayaan dalam hidup ini. Mengutip sejarah Tiongkok Sun Zhu, ia mengatakan senjata paling ampuh dalam perang adalah strategi.
Saking pentingnya masalah tersebut, beliau kemudian mengabadikannya dalam buku seni berperang ala Sun Zhu (the art of war Sun Zhu). Buku ini berisi 13 strategi militer klasik, yang pada perjalanan waktu banyak dikembangkan dalam berbagai bidang termasuk dalam marketing. Strategi Sun Tzu digunakan oleh Genghis Khan di abad ke 13 dalam menaklukkan wilayah kekuasaannya mulai dari Mongol, China, Siberia hingga mendekati Eropa.
Napoleon di masa muda membaca dan mempelajari buku itu dari para rahib Jesuit yang menterjemahkannya dari bahasa China di tahun 1782. Cara berpikir dan bertindak Mao Tse Tung juga sangat dipengaruhi strategi Sun Tzu, seperti terlihat dalam buku Merah Mao. Hitler juga mempelajari strategi Sun Tzu, dan menggunakannya saat merebut Polandia dalam operasi ‘Blitzkrieg’ yang berlangsung 2 minggu. Di tahun 1991, dalam operasi Desert Storm dan Desert Shield di kawasan Teluk, setiap anggota Marinir Amerika memiliki dan mempelajari buku strategi perang Sun Tzu. Strategi itu terbukti tetap relevan walau telah melewati rentang waktu 25 abad.
Membaca fenomena yang terjadi di negara kita saat ini, beberapa masalah politik yang terjadi tidak lagi mencerminkan sebuah strategi. Akhir-akhir ini kita di pertontonkan peragaan politik yang menjurus kepada ambisi buta. Akibatnya langkah-langkah yang dilakukan tidak lagi memandang kerangka baik-buruk, halal-haram.
Hal tersebut jauh dari konsep yang pernah dilontarkan oleh Abdurrahman Al-kawakibi, politikus dari negara Arab. Beliau mengajukan pendapat, pembaharuan politik harus senada dengan nilai Ilahiyah, yakni membela kaum tertindas. Pertanyaannya kemudian adalah apa yang dapat diharapkan dengan kenyataan pengejewantahan politik yang ada di negeri ini?
Kondisi perpolitikan yang ada di negeri ini mungkin akan senada dengan apa yang pernah diungkapkan oleh Lord Acton ”power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely.” Kecenderungan yang terjadi di negeri ini adalah mempertahankan Status Quo sehingga secara tidak langsung menghasilkan politik dinasti. Akibatnya,menyadur yang di ajarkan Marx, Engels dan Lenin dengan ”class theory”—negara dianggap sebagai alat dari sesuatu golongan untuk menindas golongan lain. Prakteknya, ada gap yang cukup lebar antara penguasa dengan yang dikuasai.
Jalan Kebersamaan
Menghadapi problem tersebut, kata kunci yang dapat dijadikan sebagai oase di tengah panasnya suhu politik di negeri kita adalah berpolitik secara etis. Politik etis yang dimaksud adalah adanya nilai-nilai etika, moral, dan sesuai dengan hati nurani. Politik etis juga merupakan langkah elegan dalam mencapai tampuk kekuasaan. Kemurnian tujuan, tanpa tending aling-aling, (topeng) setidaknya dapat mengiring para konstituen untuk dapat bersama-sama mencapai tujuan yang hakiki, yakni terwujudnya masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah swt. Meskipun tidak sedikit orang beranggapan bahwa tidak ada lagi tempat di negeri ini untuk orang-orang idealis, namun penulis optimis masih ada celah untuk orang-orang berjiwa murni perjuangan.
Penyakit yang selama ini menjangkiti di hampir sebagian orang adalah ketidakmampuan dalam kedewasaan dalam berpolitik. Dalam konteks kompetisi, tentunya menghasilkan pihak yang menang dan kalah. Praktik yang terjadi dalam lapangan seringkali, ketidakdewasaan dalam berpolitik membawa efek domino yang sangat mengkhawatirkan. Yang kalah tak jarang membuat manuver berbahaya, supaya pemegang tampuk kekuasaan terguling. Caranya pun variatif, mulai dari yang halus, kasar bahkan lewat aktivitas-aktivitas yang inkonstitusional sekalipun. Kiranya kita perlu flash back sejarah tempo dulu. Tengoklah keberhasilan Alexander Agung yang berhasil menduduki kerajaan Persia dari tangan Darius Agung.
Meskipun berhasil menguasai seluruh wilayah timur tengah hingga Asia kecil, kerajaan Macedonia, lewat Alexander tidak lantas membabi buta menghabisi lawannya. Tetapi beliau lebih menempatkan dirinya sebagai pemimpin daripada penjajajah. Bangsa-bangsa yang ditaklukkannya, dirangkul untuk bersama-sama mengembangkan kebudayaan baru sebagai hasil kombinasi kebudayaan mereka. Sikap seperti inilah yang sebenarnya ditiru oleh kita semua.
Politik akomodatif, menjadi pilihan bagi Alexander. Keberhasilan seorang pemimpin adalah bagaimana ketika ia mampu meramu berbagai perbedaan karakter, maupun budaya dalam naungan bersama. Ibarat sebuah musik, perbedaan tujuan dan pandangan sudah seharusnya ditampung dan dikolaborasikan sehingga menghasilkan harmonisasi nada. Pertukaran pikiran dan pandangan demi perbaikan bersama menjadi langkah yang solutif untuk mengatasi problematika bangsa yang terjadi saat ini.
Jalan Menuju Perbaikan
Sebagai bagian dari bangsa ini, pemilu merupakan salah satu faktor penting dalam usaha mensukseskan agenda perbaikan negeri ini. Meskipun sebagian lain juga menilai pemilu adalah awal dari kebobrokan Bangsa ini. Maka, mau tak mau pemilu harus selaras dengan perkembangan pentas perpolitikan yang ada. Konsekuensinya, partai politik harus mampu menempatkan dirinya menjadi gerakan moral force and political movement.
Keseimbangan dua hal ini akan terasa manis jika diperankan sebagaimana mestinya. Keberanian dalam melakukan aktivitas dalam kerangka pembelaan kaum tertindas adalah agenda prioritas yang fixed price. Bahwa masyarakat adil makmur bukan sesuatu yang taken for granted tetapi perlu ada ikhtiar maksimal dari masing-masing lini dalam parpol. Perjuangan itu dilakukan melalui gerakan politik seperti demonstrasi, audiensi maupun kritisme terhadap kebijakan-kebijakan yang kontra produktif dengan semangat pembelaan terhadap kaum mustadafin.
Dalam kerangka mewujudkan hal tersebut, upaya perbaikan harus diawali masing-masing parpol untuk mewujudkan agenda dari para founding fathers kita terdahulu. Upaya tersebut tidaklah dapat lepas dari sosok pemimpin selaku nakhoda dalam aktivitas kepenggurusan. Tanpa mensubordinasi peran dan fungsi masing-masing parpol, pemimpin ke depan merupakan faktor krusial agar agenda yang diharapkan dapat tercapai. Para konsituen memegang peranan penuh untuk melahirkan sosok pemimpin baru yang kredibel, qualified, dan berkapasitas. The choice in your hands.
Seperti yang telah penulis jelaskan di atas, bahwa pemilu merupakan arena untuk dialektika pendapat, dan kompetisi dalam mencapai tampuk kekuasaan. Keberhasilan pemilu besuk bukanlah terletak pada kehebatan strategi dalam memenangkan salah satu parpol, tetapi lebih dari itu adalah bagaimana meramu konfigurasi perbedaan yang ada menjadi sebuah harmonisasi dalam payung bersama. Wallahu A’lam Bissawab.[*]
*Penulis adalah Peneliti di Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. Sekarang sedang menyelesaikan tugas penelitian di Nusantara Centre Jakarta.
Belum ada komentar