Peresmian Titik Nol Islam di Barus, Sumatera Utara, menimbulkan pro kontra. Jokowi menafikan Aceh sebagai tempat pertama masuknya Islam ke Nusantara.
Peresmian Kecamatan Barus, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, sebagai Tugu Titik Nol Pusat Peradaban Islam Nusantara oleh Presiden Joko Widodo, Jumat dua pekan lalu menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat. Kegiatan ini digagas oleh Jam’iyah Batak Muslim Indonesia (JBMI) yang mengundang Presiden Jokowi dalam peresmian tersebut.
Jokowi mengatakan sudah lama mengetahui sejarah Barus sebagai peradaban nenek moyang Indonesia dan telah berhubungan erat dengan para pedagang dari Timur Tengah saat penyebaran agama Islam pertama di Nusantara.
“Sejarah tentu meninggalkan bukti atau situs. Dan tadi pagi saya telah mengunjungi Makam Mahligai. Di sana terdapat banyak makam pedagang dari Timur Tengah yang kita yakini sebagai aulia membawa masuknya agama Islam melalui Barus,” ujarnya dikutip Antara, Jumat dua pekan lalu.
Dalam jurnal “An Indian Ocean Port: Sources for the Earlier History of Barus”, Jane Drakard menyebutkan bahwa Barus memiliki sejarah yang panjang dalam hal hubungan perdagangan dengan dunia luar, seperti China dan Arab.
Kawasan yang terkenal dengan perdagangan kapur barus ini dikenal oleh bangsa Cina sebagai P’o-lu. Sementara orang-orang Arab menyebutnya sebagai Fansur. Kawasan ini juga diyakini sebagai tempat kelahiran salah seorang penyair dan sufi abad ke-16, Hamzah Fansuri.
Selain sebagai pusat perdagangan, Barus juga diyakini sebagai pusat Islam. Hal ini diperkuat dengan adanya bukti-bukti situs pemakaman Islam seperti Makam Mahligai serta berbagai temuan nisan-nisan kuno di kawasan tersebut.
Sementara Erawadi dalam jurnal berjudul “Melacak Jejak-jejak Peradaban Islam di Barus” menyatakan keberadaan Barus sudah pernah dibahas salah seorang ahli geografi Yunani kuno, Claudius Ptolemaeus yang menyebutnya sebagai Baroussai pada abad II Masehi.
Kemudian hal ini dipertegas oleh sumber-sumber Cina mulai abad VI Masehi, yang menyebut nama Barus sebagai tempat asal kamper. Sebelum abad IX Masehi, tempat yang disebut “Barus” tidaklah terletak pada lokasi yang ada saat ini. Ia berada di jalur maritim yang melintasi Selat Malaka, di sekitar ujung utara Sumatera, yang kemudian di tempat itu muncul Lamuri.
SEHARUSNYA DI ACEH
Penetapan Barus sebagai Titik Nol Islam Nusantara bertentangan dengan pendapat yang disampaikan banyak sejarawan yang menyebutkan penyebaran Islam pertama di Indonesia dimulai di Samudra Pasai, Aceh Utara.
Budayawan Aceh, Nab Bahany AS menyebutkan terkait hal ini, para akademisi dan sejarawan sudah tiga kali melaksanakan seminar “Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia”, yaitu di Medan pada 1963, Banda Aceh (1978), dan terakhir di Kuala Simpang, Aceh Timur (sekarang Aceh Tamiang) pada 1980.
“Yang di Kuala Simpang itu seminar bersifat internasional dan dihadiri oleh semua sejarawan. Salah satu kesimpulan dalam seminar itu menyebutkan bahwa Islam pertama masuk ke Aceh, Nusantara, dan Asia Tenggara berpusat di Peureulak,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu.
Namun, ia menambahkan, ada juga sebagian sejarawan yang tak sepakat dengan keputusan tersebut pada waktu itu, dan lebih cenderung sepakat jika Islam pertama kali masuk ke Nusantara itu di Pase (Pasai), Aceh Utara. “Jadi, saya pikir kalau persoalannya apakah Peureulak atau Pase yang menjadi kawasan Islam pertama kali masuk ke Nusantara, bagi saya tidak jadi masalah, karena itu masih di Aceh. Tapi kita terkejut dengan adanya penetapan Barus sebagai Titik Nol Peradaban Islam di Nusantara yang diresmikan oleh Jokowi di Barus itu,” katanya.
Ia beralasan penetapan Barus ini sangat kontradiktif dengan kesimpulan yang diputuskan dalam seminar sejarah tersebut. Ia mempertanyakan validitas dan sumber rujukan, seperti bukti fisik maupun kajian sejarah sehingga Presiden Jokowi menetapkan Barus sebagai Titik Nol Peradaban Islam Nusantara. “Di dalam Ilmu Sejarah ada namanya sumber primer dan sekunder. Sumber inilah yang bisa memberikan suatu keterangan tentang sejauh mana kebenaran kalau Barus itu titik nol dari awal peradaban Islam di Nusantara,” sebutnya.
Nab mengakui Barus memang merupakan salah satu pelabuhan yang banyak disinggahi para pedagang Timur Tengah waktu itu. Selain Barus, tambahnya, ada empat pelabuhan lain yang juga mengalami kemajuan pesat saat itu di pesisir timur Nusantara, yaitu, Aru, Pasai, Pedir, dan Lamuri. “Saat Ibnu Batutah (salah seorang pengembara Muslim) melakukan ekspedisi pelayarannya ke Nusantara, dia malah tidak menyebutkan Barus. Yang dia sebutkan daerah-daerah singgahannya itu di Pasai, Pedir, dan Lamuri,” ungkap Nab Bahany.
Ia menyayangkan sikap Pemerintah Aceh yang hingga saat ini terkesan tak begitu peduli terkait dengan persoalan sejarah tersebut. Buktinya, sambung Nab Bahany, pada 1980 sudah dimulai pembangunan Monumen Islam Asia Tenggara atau Monisa sebagai penanda sejarah kerajaan Islam pertama di Asia Tenggara di Desa Paya Meuligoe, Kecamatan Peureulak, Aceh Timur. Sultan Alaiddin Sayed Maulana diklaim sebagai raja pertama yang mendirikan kerajaan tersebut.
Gubernur Aceh saat itu, Hadi Tayeb, juga sudah melaksanakan prosesi peletakan batu pertama yang dihadiri Bupati Aceh Timur, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Aceh saat itu, Prof Ali Hasjmy dan ulama lainnya. Namun, hingga saat ini upaya tersebut tak pernah direalisasikan.
“Padahal ini kan salah satu amanah dari kesimpulan seminar sejarah masuknya Islam di Nusantara pada tahun 1980 di Aceh Timur itu. Jadi, itu kelemahan kita. Kalau sudah begini, kita terus ribut-ribut. Yang sudah ada dulu tidak kita pedulikan,” tandas Nab.[]
Belum ada komentar