Mekanisme konsultasi pengesahan UU Pemilu yang melucuti dua pasal UUPA menjadi polemik. Jakarta dan Aceh saling adu argumen di Mahkamah Konstitusi.
Dua lembar surat yang berisi notulensi rapat kerja Komisi I DPRA dengan Pansus DPR RI tentang Rancangan Undang-undang Pemilu, Rabu pekan lalu, tersebar di media sosial maupun di grup pecakapan WhatsApp. Dokumen itu berisi notulensi dan pembahasan terkait rencana pemerintah dan DPR RI menggodok UU Pemilu.
Pertemuan yang berlangsung pada 12 April 2017 dipimpin Ketua Pansus Lukman Edi dan didampingi 7 anggota Pansus. Sementara dari DPR Aceh dihadiri enam legislator, yakni Ketua Komisi I DPRA Abdullah Saleh, lalu Iskandar Usman, M Saleh, Djasmi Has, dan Mushannif. Enam orang ini dari dari 5 fraksi yang ada di DPRA.
Tersebarnya surat ini sempat menjadi viral di beberapa percakapan WhatsApp. Pasalnya, sebelum ini salah seorang anggota DPR Aceh, Iskadar Usman berencana mempidanakan Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo. Kekesaalannya kepada Mendagri berawal dari penjelasan Tjahyo di Mahkamah Konstitusi.
Saat bersaksi dalam sidang lanjutan di MK, Senin 25 September lalu, Tjahyo mengatakan pencabutan dua pasal dalam UUPA sudah melalui konsultasi dengan DPRA. Inilah yang kemudian memantik kemarahan publik di Aceh.
Dalam sidang lanjutan permohonan Judicial Review UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) yang digelar di Ruang Sidang Utama Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (25/9) siang, pemerintah diwakili oleh Menteri dalam Negeri Tjahyo Kumolo
Kautsar dan Samsul Bahri bin Amiren selaku pemohon tidak hadir pada sidang dengan agenda mendengar keterangan dari pihak pemerintah dan DPR. Kedua anggota DPRA ini diwakili oleh kuasa hukumnya Kamaruddin SH.
Sementara perwakilan DPR berhalangan hadir dalam persidangan. Sidang yang berlangsung lebih kurang satu jam dipimpin oleh Ketua Mahkamah Konstitusi Arif Hidayat.
Dalam keteranganya, Menteri Dalam Negeri menanggapi secara khusus laporan nomor 61, yaitu dari Kautsar dan Samsul Bahri terkait peran KIP dalam penyelenggaraan Pemilu di Aceh.
Tjahyo Kumolo menyampaikan bahwa pencabutan pasal 57, dan Pasal 60 (10, (2), dan (4) di Undang-undang Pemerintahan Aceh menjadi konsekuensi logis dari diselenggarakanya Pemilu serentak di tahun 2019.
Pencabutan pasal-pasal tersebut juga dimaksudkan agar tidak terjadi dualisme dalam pengaturan berkenaan dengan pengaturan kelembagaan Pemilu di Aceh. Maka, konsekuensi dari pembaharuan hukum berkenaan dengan penyelenggaraan Pemilu tersebut berdampak pada peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelumnya.
Mendagri menambahkan, pencabutan pasal-pasal tersebut tidak bermaksud untuk menegasikan atau mengurangi kewenangan dan kekhususan Aceh. Melainkan untuk penguatan kelembagaan yang berdampak kepada KIP dan Panwaslih di tingkatan provinsi, kotamadya, dan kabupaten.
“Sudah pernah dilakukan konsultasi. Kita mengikuti sesuai ketentuan. Risalah dan dokumen lengkap akan kami serahkan semua ke MK,” ujar Tjahyo seperti dikutip parlemen.co.
Sementara Hakim I Dewa Gede Palguna menanggapi keterangan Mendagri tersebut dengan memintanya untuk menghadirkan risalah sidang perumusan Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu di Aceh.
Sehari kemudia, Ketua Fraksi Partai Aceh Iskandar Usman pernyataan Mendagri tersebut. Iskandar mengatakan, dasar DPR Aceh secara kelembagaan mengajukan judicial review pencabutan 2 pasal UUPA itu ke Mahkamah Konstitusi, lantaran pencabutan itu tidak melalui proses konsultasi dengan DPR Aceh. Menurutnya, mustahil jika DPRA telah menyetujuinya.
“Jadi tidak benar kalau dibilang sudah melalui persetujuan DPR Aceh,” kata Iskandar Usman kepada wartawan, Selasa (26/9).
Dia menegaskan, secara kelembagaan DPRA tidak pernah menerima konsultasi DPR RI atau mengeluarkan surat secara administratif untuk memberikan pertimbangan.
Dalam konferensi pers di ruang kerjanya, Iskandar juga menceritakan bahwa unsur dari DPR RI pernah ke Aceh, namun kala itu tujuannya bukan untuk meminta pertimbangan DPRA. Mereka hanya melakukan pertemuan dengan eksekutif di Aula Serbaguna Kantor Gubernur Aceh. Namun, merujuk ke Pasal 269 ayat (3) UUPA disebutkan, dalam hal ada rencana perubahan undang-undang, harus dilakukan terlebih dahulu konsultasi dan mendapat pertimbangan DPRA.
“Jika pemerintah pusat dan DPR RI memaknai bertemu dengan salah satu anggota DPRA atau gubernur bagian dari konsultasi dan pertimbangan, itu adalah sangat keliru. Karena, dalam UUPA disebutkan bahwa konsultasi dan pertimbangan itu dengan DPRA bukan dengan gubernur atau bukan dengan perseorangan anggota DPRA,” ujarnya.
Anggota Komisi I DPRA ini mengaku telah menanyakan para pimpinan dewan menyangkut pengakuan Mendagri. Namun seluruhnya kompak menjawab tidak pernah ada surat resmi DPR RI terkait konsultasi dimaksud. “Semuanya jawab tidak ada. Saya juga pastikan kepada Sekretaris Dewan Hamid Zein, dan dia juga katakan tidak,” bebernya.
Karena itu, Iskandar mempertanyakan siapa orang yang ditemui oleh Pemerintah Pusat dan DPR RI? “Siapa yang mereka temui. Yang namanya pertimbangan itu ada rekam adminitrasinya, ada surat keluar dari DPRA, siapa yang teken surat itu, tunjukkan ke kami,” tantang Iskandar.
Lalu ia pun menantang Mendagri membuktikan penjelasan di sidang bahwa pemerntah memiliki rislah rapat dan dokumen yang membuktikan sduah ada pertemuan tersebut. “Mendagri jangan asal cuap saja. Mana buktinya. jangan lempar bola. Kita tanya Mendagri jika ada. Konsultasi dan pertimbangan DPRA itu bagaimana yang mereka maksud? Saya tidak tahu apakah DPR RI dan Mendagri ketemu dengan satu orang anggota DPRA sudah mereka katakan konsultasi,” tegas Iskandar.
Sementara itu, Kamaruddin SH, kuasa hukum Kautsar dan Samsul Bahri, usai persidangan mengatakan pihaknya meminta pemerintah membuktikan pernyataan yang disampaikan oleh Mendagri. Menurutnya, tidak mungkin pemerintah pernah melakukan konsultasi dengan DPRA atas perubahan atau pencabutan 2 Pasal UUPA.
“Tidak mungkin pihak DPRA telah diminta konsultasi atau pertimbangan oleh pemerintah terkait pencabutan dua pasal UUPA itu, karena DPRA juga ikut menggugat UU Pemilu tersebut,” ujar Kamaruddin.
Untuk itu, lanjut Kamaruddin, pihaknya meminta pemerintah membuka seluruhnya dokumen penyusunan dan pembahasan UU Pemilu di depan persidangan Mahkamah Konstitusi, sehingga semuanya menjadi jelas. “Kami dari koalisi masyarakat peduli UUPA tetap berkomitmen memperjuangkan kekhususan Aceh di Mahkamah Konstitusi, sampai menang,” tegasnya.
KONTROVERSI MEKANISME
Pada Rabu (27/9), Iskandar Usman kembali memberi penjelasan di laman media sosialnya. Anggota DPRA dari Partai Aceh ini mengklarifikasi terkait pertemuan pada medio April lalu seraya memposting notulensi rapat tersebut.
Menurut dia, pertemuan Komisi I DPRA dengan Pansus RUU Pemilu pada tanggal 12 April lalu di Gedung Nusantara DPR RI adalah sebagai bentuk kekhawatiran pihaknya terhadap kemungkinan tereduksinya subtansi tentang Pemilu dan Pilkada yang telah diatur dalam UUPA dengan hadirnya UU Pemilu yang baru. Langkah ini juga sebagai bentuk pengawalan pencegahan dini untuk mengingatkan Panja DPR RI bahwa di Aceh ada regulasi khusus yakni UUPA yang juga mengatur rezim Pemilu dan Pilkada.
Iskandar juga menuliskan, dalam pertemuan singkat tersebut, berulang kali pimpinan Komisi I DPR dan anggota Komisi I DPRA yang hadir mengingatkan pimpinan Panja DPR RI agar segera menggelar rapat konsultasi dan meminta pertimbangan DPRA sebagaimana diamanatkan dalam pasal 8 ayat 2 dan pasal 269 ayat 3 UUPA.
“Jika Mendagri dan Pansus RUU Pemilu DPR RI kemudian menganggap pertemuan itu sebagai bentuk konsultasi meminta pertimbangan DPR Aceh terhadap seluruh substansi RUU Pemilu, maka patut dianggap Mendagri dan DPR RI telah melakukan politiking yang penuh tipu muslihat,” tegas politisi Partai Aceh ini.
Di akhir penjelasan, dia mempertegas bahwa pertemuan itu sebgagai upaya DPRA mengingatkan Pansus agar tidak mempreteli kekhususan Aceh. “Materi yang disampaikan juga untuk memperkuat UUPA, bukan melemahkan seperti pengesahan UU No.7 Tahun 2017 ini,” terangnya.
KESAKSIAN KAMARUDDIN
Menyangkut mekanisme konsultasi itu, Kamaruddin, salah seorang kuasa hukum Kautsar dan Samsul Bahri (Tiyong) selaku penggugat UU Pemilu ini, pun bereaksi. Menurut dia, dirinya mendengar langsung pernyataan Mendagri dalam persidangan di MK.
Kamaruddin menjelaskan, pihak pemerintah pusat beranggapan bahwa pertemuan itu adalah konsultasi UU Pemilu yang pertama di Jakarta dengan dihadiri enam orang anggota DPR Aceh dari lima partai politik yang juga lima Fraksi DPRA. “Ini berdasarkan pengakuan Mendari dalam persidangan,” katanya.
Setelah itu, kata dia, konsultasi selanjutnya dengan pihak Pemerintah Aceh. Di mana, undangan permohonan yang disampaikan kepada Pemerintah Aceh dengan agenda surat Konsultasi UU Pemilu. “Kalaupun itu bukan bentuk konnsultasi dan pertimbangan sebagaimana yang dimaksud, tapi ya sudahlah. Yang penting Aceh harus menang di MK dalam rangka mempertahankan UUPA,” ujar Komar.
Keesokannya, Kamaruddin mendatangi Panitera MK. Tujuannya untuk meminta dan mempelajari seluruh daftar alat bukti seluruh proses penyusunan dan pembahasan UU Pemilu yang sudah disampaikan ke MK. “Kami juga meminta DPR RI untuk segera membuka semua proses penyusunan dan pembahasan UU Pemilu tersebut. Ini penting dilakukan guna membongkar seluruh konspirasi untuk menghapuskan kekhususan Aceh,” ujarnya.
“Kami ingin membongkar pihak-pihak mana saja yang terlibat terhadap penghapusan dua pasal di dalam UUPA. Kita akan bongkar habis konspirasi ini. Kami menduga banyak pihak yang terlibat. Dari hasil keterangan di depan persidangan MK, sangatlah jelas dua pasal di dalam UUPA dihapus dengan cara yang sangat sistematis, terstruktur dan melibatkan banyak pihak,” sambungnya.
Dia menginginkan seluruh proses pencabutan 2 pasal dalam UUPA untuk dibuka ke publik sejelas mungkin. Apalagi selama ini berkembang isu bahwa UUPA hanya dipakai oleh pihak-pihak tertentu untuk kepentingan politik sesaat. “Kita menginginkan UUPA dapat membawa kesejahteraan buat rakyat Aceh, bukan komoditas politik,” ujar Kamaruddin.
Ia lalu meminta dukungan rakyat Aceh agar dalam sidang ke lima yang akan digelar pada 5 Oktober 2017 dapat memuluskan langkah pihaknya mengembalikan marwah Aceh. Sidang tersebut mengagendakan mendengarkan keterangan DPR.
Salah satu penggugat, Kautsar, mengatakan pertemuan Komisi I DPRA dengan Komisi I DPR RI tidak bisa anggap sebagai suatu mekanisme konsultasi Pemerintah dengan DPRA.”Itu tidak bisa dianggap sebagai konsultasi, karena terkesan sepihak,” ucap Kautsar, Jumat (29/09).
Saat ditanya lebih jauh terkait Tatib DPRA maupun mekanisme konsultasi yang diatur dalam UUPA, Kautsar yang juga tercatat sebagai anggota parlemen Aceh ini mengaku tak ada peraturan khusus yang mengatur hal ini secara spesifik. “Itu yang saya kurang mengerti, saya sudah check tapi belum mendapat pengaturan khusus yang mengatur hal konsultasi dengan DPRA ini secara spesifik. Mungkin Pikiran Merdeka bisa tanyakan ke anggota DPR RI,” jawab Kautsar.
Sementara pengamat hukum tata negara dari Universitas Malikussaleh, Dr Amrizal J Prang menilai, pertemuan tersebut harus dilihat apakah dilakukan secara administratif atau tidak? Hal ini untuk menghindari polemik dan saling tuding antara pemerintah dan DPRA. “Kalau memang itu ada, secara administratif tentu harus dilakukan secara resmi, melalui undangan konsultasi. Jika tidak secara resmi tentu menimbulkan polemik, dan dianggap tidak dilakukan,” ujar Amrizal, Jumat pekan lalu.
“Begitu juga sebaliknya, kalau memang sudah resmi DPRA diundang untuk konsultasi, maka anggta DPRA juga tidak perlu berpolemik,” sambung dia.
Memang ada perbedaan pengaturan dalam Perpres 75/2008 tentang konsultasi, antara konsultasi Pemerintah Pusat maupun DPR RI dengan gubernur yang secara administratif diatur lengkap. Hal ini berbeda halnya dengan konsultasi dengan DPRA yang menurutnya cukup diatur dan mengikuti tatib DPR RI. “Untuk menghindari polemik di tengah masyarakat, sebaiknya DPR Aceh menyampaikan dalam gugatan di MK,” imbuh Amrizal.[]
Belum ada komentar