Unsur riba dalam pinjaman Pemerintah Aceh ke Jerman semakin tidak terbantahkan. Utang luar negeri itu menggunakan perhitungan bunga normal.
Ketua Fraksi PA DPRA Kautsar mengatakan pinjaman Pemerintah Aceh ke Bank KfW Jerman sebesar Rp1,3 triliun bukanlah pinjaman lunak (soft loan). “Skema pinjaman pembangunan RS ini bukan soft loan (pinjaman lunak), tapi berlaku bunga normal. Mengapa? Karena menurut Jerman, Indonesia tidak termasuk negara miskin,” tegas Kautsar.
Penegasan Kautsar ini sekaligus membantah informasi yang sebelumnya mengatakan bahwa pinjaman tersebut adalah pinjaman lunak yang memiliki bunga ringan.
Selain itu, peminjaman hutang ke luar negeri oleh Pemerintah Aceh tenyata menyimpan banyak masalah. Salah satu penyebabnya dikarenakan tidak memintai fatwa atau pertimbangan dari Majelis Permusyawaran Ulama (MPU) Aceh terhadap pinjaman luar negeri dari bank Kreditanstalt für Wiederaufbau (KfW) Jerman.
Dengan kebijakan tersebut, Pemerintah Aceh sudah melanggar dari Qanun Aceh No.11/2006 pasal 138 yang menyatakan MPU berkedududkan sebagai mitra Pemerintah Aceh, pemerintah kabupaten/kota serta DPRA dan DPR kabutapen/kota.
Bahklan, pasal 139 menyebutkan, MPU berfungsi menetapkan fatwa yang dapat dijadikan salah satu petimbangan kebijakan pemeritah daerah dalam bidang pembangunan, pembinaan masyarakat, dan ekonomi.
Menanggapi hal itu, Ketua MPU Aceh Prof Muslim Ibrahim melalui sambungan selular menyebutkan Pemerintah Aceh tidak pernah meminta fatwa apapun—terkait pinjaman tersebut—kepada pihaknya.
“Tahun lalu ada diminta fatwa (oleh Pemerintah Aceh). Tetapi, tidak berkaitan dengan pinjaman luar negeri tersebut,” jelasnya kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (5/11/2016).
Menurutnya, fatwa yang pernah diminta Pemerintah Aceh tersebut hanya berkaitan dengan pemetaan keuangan Aceh serta mengajak MPU Aceh untuk jajak pendapat terhadap APBA, pendapatan, dan pengeluaran Aceh.
“Pinjaman (ke luar negeri) tersebut memang tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku. Yang jadi permasalahnya adalah bunganya. Kita dibolehkan meminjam kepada non-muslim. Namun harus sejalan dengan prinsip Islam,” pungkasnya.
Tanggapan senada juga diakui oleh Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh Tgk Faisal Ali. Ia menegaskan, kebijakan Pemerintah Aceh berutang pada KfW Jerman dengan cicilan bunga tersebut, jelas mengandung unsur riba. MPU Aceh, kata dia, mengharapkan pihak eksekutif dan legislatif di Aceh meninjau kembali rencana pinjaman luar negeri untuk bangun RS di Aceh.
“Itu cara yang dilarang dalam agama karena menggunakan sistem riba. Ini jelas berlawanan dengan semangat pelaksanaan Syariat Islam di Aceh,” ujar Tgk Faisal Ali kepada Pikiran Merdeka, Jumat (28/10/16).
Jika Pemerintah Aceh tetap berutang pada bank asing, sebutnya, dampak riba itu kelak akan menimpa seluruh masyarakat Aceh yang mendapat layanan pada rumah sakit yang dibangun dengan dana dari Jerman.
Bukan itu saja, Koordinator Bidang Advokasi dan Kebijakan Publik Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Hafidh juga menentang kebijakan tersebut. Kepada Pikiran Merdeka menyebutkan, pinjaman dana penyelenggaraan pemerintahan Aceh memang termasuk dalam ruang lingkup keuangan Aceh sebagaimana diatur dalam Pasal 2 huruf a, Qanun Aceh Nomor 1 Tahun 2008 tentang pengelolaan keuangan Aceh sebagaimana diubah dengan Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2014.
Qanun tersebut menyebutkan, ruang lingkup keuangan Aceh meliputi hak Aceh untuk memungut pajak Aceh, retribusi Aceh dan zakat serta dapat memperoleh pinjaman. Selanjutnya pasal 3 ayat (1) mengatur keuangan Aceh dikelola dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip keislaman.
Hafidh menyebutkan, pinjaman pada KfW Jerman dikenakan bunga sebesar 2,5% sampai 2,9% per tahun. Namun, jika didasari pada ketentuan Qanun Aceh tersebut, perlu dipertimbangkan adanya pertentangan dengan Syariat Islam terakit transaksi pinjaman dengan suku bunga ditentukan lebih dahulu.
Terlebih, beberapa waktu lalu, Gubernur Aceh Zaini Abdullah menyatakan, “Untuk hal ini, pendapat dari MPU dan ahli Syariat Islam layak diminta,” cetusnya.
MaTA juga melihat, pinjaman luar negeri itu justru mematahkan komitmen Pemerintah Aceh dalam menerapkan Syariat Islam. Padahal, 3 Oktober lalu, Gubernur Aceh melalui Sekda Aceh Dermawan meresmikan konversi Bank Aceh dari bank konvensional menjadi Bank Aceh Syariah.
Zaini Abdullah dalam sambutan yang dibacakan Sekda, konversi Bank Aceh didasari oleh 3 landasan utama. Salah satunya disebutkan, landasan filosofis Aceh sebagai daerah mayoritas muslim diwajibkan menerapkan Syariat Islam dalam setiap aspek kehidupan termasuk aspek ekonomi dan perbankan.
“Dalam kaitan ini, kita diwajibkan untuk menjauhi riba, sesuai dengan fiman Allah dalam Surat Al-Baqarah ayat 275 yang berbunyi, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba,” ujar Gubernur Aceh saat itu.
MENYIKSA RAKYAT
Tanggapan kontradiktif lain juga diutarakan Sekjend Pengurus Wilayah Badan Koordinasi Mubaligh Indonesia (Bakomubin) Provinsi Aceh, Teuku Zulkhairi MA.
Menurutnya, pinjaman uang dari luar negeri—meskipun dibolehkan secara hukum—seharusnya pemerintah memperhatikan sisi kepatutannya. Hal ini, imbuhnya, dikarenakan Aceh masih menerima kucuran dana Otonomi Khusus (Otsus) dari Pemerintah Pusat.
“Ini akan menjadi beban besar bagi rakyat Aceh di masa depan. Sebab, secara logika, jika saat punya uang (dana Otsus) saja kita menghutang, lalu bagaimana kita akan membayarnya sementara dana Otsus akan segera berakhir? Apakah Gubernur dan DPRA sampai berfikir ke arah itu? Kenapa harus menyiksa rakyat Aceh dengan cara yang jahat seperti itu?” cercanya, Sabtu (5/11/2016).
Selain itu, menurut Sekjend Bokumunin Aceh ini, hutang tersebut memiliki nominal yang besar dengan bunga yang berstatus riba dalam ajaran Islam. Ia menjelaskan, riba adalah penghancur peradaban seperti yang dikatakan Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimah.
“Yunani sudah bangkrut oleh utang riba. Peradaban Islam dulu ambruk juga karena praktek riba. Kenapa kita tidak belajar dari sejarah? Jadi bagaimana membangun Aceh dengan cara yang haram, padahal Aceh juga sedang berjuang menegakkan Syariat Islam secara kaffah? Sungguh ini sebuah hal yang sangat ironis, memilukan sekaligus memalukan,” ujarnya.
Selebihnya, ia juga mendesak Gubernur Aceh dan DPRA segera membatalkan utang tersebut. “Takutlah kepada Allah swt yang telah mengharamkan riba,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar