Pinjaman Luar Negeri, Fraksi PA Mendadak Setuju Setelah Sempat Menolak

Rapat di DPR Aceh.
Rapat di DPR Aceh.

Persetujuan dewan terhadap pinjaman luar negeri sarat kejanggalan. Fraksi Partai Aceh (F-PA) yang semula menolak, tiba-tiba ikut menyetujuinya.   

Senin, 24 Oktober 2016, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menggelar jumpa pers penetapan Cagub/Cawagub Aceh yang akan berkompetisi di Pilkada 2017. Fokus dan perhatian publik semuanya tertuju ke Hotel Hermes Palace, lokasi berlangsungnya acara tersebut. Di saat bersamaan, Dewan Perwakilan rakyat Aceh (DPRA) ternyata sedang menggelar rapat paripurna pengesahan rencana pinjaman untuk pembangunan rumah sakit regional di Aceh.

Meski mendapat penolakan dari dua fraksi, keputusan Gubernur Aceh Zaini Abdullah meminjam uang ke Jerman tetap disetujui dewan. Hal ini terjadi setelah Fraksi Partai Aceh sebagai pemilik mayoritas kursi di parlemen ikut menyetujuinya.

Kebijakan Fraksi PA mengiyakan keinginan Pemerintah Aceh mengundang tanya. Sebelumnya, F-PA yang dikomandoi Kautsar dengan tegas menolaknya. Dalam berbagai kesempatan, Kautsar menyatakan tidak ada alasan Aceh tak mampu bangun rumah sakit dengan dana sendiri. Ia mempertanyakan mengapa eksekutif memaksakan harus berhutang ke pihak asing.

Masih segar dalam ingatan publik, saat galar diskusi di kantor Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) pada Mei 2016. Saat itu Kautsar mengatakan berdasarkan kajian Komisi III DPRA, belum didapatkan dari mana sumber pembayayaran pinjaman tersebut. Dia juga menyebutkan, Mendagri turut mempertanyakan, dari mana sumber biaya membayar cicilannya nanti.

“Sedangkan dari sumber dana Otsus tak dibenarkan untuk membayar utang, karena peruntukan dana itu sudah dijelaskan dalam Pasal 183 UUPA,” jelas Kautsar.

Dia menyebutkan, tak ada pilihan lain bagi Pemerintah Aceh. Saat mulai memasuki masa pelunasan pinjaman nanti, dana dari TBH Migas Aceh dan Otsus sudah sudah tidak ada lagi.

Tapi kemudian, Komisi III DPRA tetap menyetujui kebijakan Pemerintah Aceh meminjam pada Bank Pembangunan Jerman (KfW), dengan cara berutang.

Baca: Pinjaman Luar Negeri Sarat Unsur Riba dan Bukan Pinjaman Lunak

“Kami sadar, ini bukan keputusan popular. Tak ada keputusan berhutang itu baik, namun kami terpaksa mengambil (keputusan) ini untuk kepentingan yang lebih besar,” aku Kautsar, Jumat, 4 November 2016.

Ia tak menampik awalnya PA sempat menyatakan tak menerima rencana utang tersebut. Namun, menurutnya, keputusan tersebut karena didasari kebutuhan rakyat Aceh akan keberadaan rumah sakit regional yang semakin mendesak. “Ini karena rasa tanggung jawab PA ke masyarakat,” ungkap Kautsar.

Namun, statmen Kautsar yang mewakili Partai Aceh sepertinya di depan akademisi dan praktisi di kantor MaTA hanya tinggal menjadi catatan saja. Kini Partai Aceh telah memerintahkan Kautsar Cs agar menyetujui keputusan Gubernur Zaini.

Sumber Pikiran Merdeka menyebutkan, pimpinan PA meminta Kautsar dan Tgk Muharuddin mengintruksikan seluruh anggota F-PA menyetujui pinjaman ini. Bahkan, Tuha Peut PA Malik Mahmud yang juga Wali Nangggoe sampai menghubungi keduanya untuk menyetujui pinjaman ini. Tak hanya Malek Mahmud, Wakil Ketua PA Kamaruddin Abubakar alias Abu Radak juga mengintruksikan hal serupa. “Ada kompensasi yang mengalir ke petinggi PA,” ujar sumber ini.

Menurut catatan Pikiran Merdeka, dalam perjalanannya, pembicaraan soal pinjaman tersebut dimulai saat Pemerintah Aceh mencari investor dalam lawatannya ke Eropa pada Juni 2013. Gubernur Aceh menawarkan ke Jerman untuk investasi di Aceh. Sejak itu, Gubernur Zaini berulang kali ke Jerman bersama Wali Nanggroe Malik Mahmud. Begitupula saat perwakilan KfW dan pemerintah Jerman berkunjung ke Aceh untuk membahas kerjasama ini, selalu diterima Zaini dan Malik Mahmud.

Terkait dugaan kompensasi yang mengalir ke petinggi PA, Abu Razak tak berhasil dikonfirmasi. Pikiran Merdeka yang mencoba menghubunginya berulangkali via telpon seluler, ia tak menjawab panggilan masuk. Begitupun pesan singkat yang dikirimkan, tetap saja mendapat balasan darinya.

Kautsar sendiri mengakui perubahan sikap mereka karena intruksi partai. Alasannya, mereka menjalankan kebijakan yang diputuskan oleh pimpinan. ”Dari awal tidak setuju itu intruksi partai dan setuju juga intruksi partai. Di dalam PA, keputusan di DPRA adalah sikap partai.  Kami ini anak buah partai. Saya rasa, partai-partai lain juga seperti itu,” jelas dia.

Saat disinggung apakah ini merupakan keinginan Malik Mahmud dan Abu Radak, Kautsar menjawab diplomatis. Menurut dia, keputusan itu bukan keinginan personal petinggi di PA. Meski begitu, ia membenarkan semua orang yang punya pengaruh dalam mengambil kebijakan di PA ikut dilobi untuk menyetujui pinjaman tersebut. “Semua orang yang punya pengaruh di partai dilobi. Melobi Mentro Malek, melobi Mualem, melobi Abu Razak, melobi saya juga. Pokoknya semua orang yang punya pengaruh di partai dilobi,” akunya.

Ia membantah jika ada kompensasi untuk PA. Ia menyatakan keheranannya mengapa setiap kebijakan selalu dipersoalkan fee. “Mungkin yang dimaksudkan fee, adalah komitmen fee dan management fee yang tertera di dalam kontrak. Itu kan legal,” ujar dia. Namun Kautsar mengaku lupa berapa besaran fee yang tertera di kontrak.

Ia mempersilahkan semua pihak bersepekulasi terkait perubahan sikap mereka soal pinjaman tersebut, termasuk jika dikaitkan dengan fee. “Di (pembangunan) Masjid Raya yang ada fee kok gak ribut-ribut, tapi di RS yang gak ada fee kok ribut-ribut orang?” lanjutnya. Sayangnya, Kautsar menolak menjelaskan lebih rinci mengenai adanya fee di proyek pembangunan Masjid Raya.

Kautsar menambahkan, alasan DPRA menyetujui pinjaman tersebut karena Jerman juga berkomitmen berinvestasi di Aceh di sektor energi dan pendidikan. Menurut dia, Jerman akan memberikan kredit lunak (soft loan) untuk pembangunan geothermal di Seulawah. Setelah itu, Jerman juga berjanji akan membantu sektor pendidikan Aceh dengan berivestasi di dunia pendidikan.

“Salah satu pertimbangannya adalah itu. Jerman kasih kredit untuk kita di bidang energi terkait panas bumi, itu soaf loan. Setelah mereka membantu di sektor kesehatan, pemerintah Jerman akan membantu di sektor pendidikan. Artinya, kerjasama dengan Jerman akan terus berlanjut,” sebutnya.

Kautsar mengatakan selama pembahasan di DPRA, tak ada penolakan soal pinjaman untuk pembangunan rumah sakit. Bahkan, kata dia, dari pihak kampus tak ada pendapat yang keluar atas nama kampus Unsyiah. Padahal, kata dia, ia sudah pernah juga berdiskusi langsung dengan Rektor Unsyiah soal ini.

“Kok tiba-tiba baru sekarang ramai-ramai menolaknya? Jika ada yang tidak setuju, silahkan mengirimkan surat ke Pemerintah Pusat,“ cecar Kautsar. “DPRA sudah selesai soal (pinjaman ke Jerman) itu, kami sudah gelar (rapat) paripurna. Dan, kami tak akan membahasnya lagi di DPRA.”

Pengamat politik, Teuku Kemal Fasya menilai DPRA yang akhirnya menerima persetujuan pinjaman ini, hanya drama politik. “Ini yang saya katakan seperti drama (kebijakan). Mereka membuat seolah-seolah ada situasi ketidaksetujuan, ada kritik yang tajam, tapi akhirnya setuju. Jadi, saya pikir terlalu banyak drama dalam politik,” ujar Kemal, Sabtu pekan lalu.

Ia menegaskan, sebenarnya pinjaman itu adalah keliru sehingga patut dipertanyaka nmengapa harus berhutang? Menurut Kemal, jika melihat perputaran angaran di Aceh selama ini selalu SILPA. “Secara menegemen, perencanaan anggaran ini keliru besar. Jika melihat tentang fokus kepentingan yang paling mendesak, kenapa dia meminta pinjaman? Itu akan memberikan dampak utang kepada pemerintah di masa mendatang,” terangnya.

Menurut akademisi Universitas Malikussaleh ini, Pemerintah Aceh tidak menetapkan skala prioritas semisal ekonomi produktif, menuntaskan kemiskinan dan penganguran. “Beban fiskal bagi pemerintah ke depan juga akan berpengaruh akibat pinjaman tersebut,” katanya.

SKEMA PEMBAYARAN  

Kautsar mengatakan kajian awal Komisi III DPRA tidak setuju pinjaman itu. Namun, setelah itu pihaknya melakukan berbagai pertemuan kembali dan mengaji ulang, termasuk skema pembayaran.

Sebelumnya, kata dia, DPRA sudah merekomendasikan untuk menggunakan uang Otsus. Namun gubernur tidak setuju sehingga konsep pinjaman ini berlarut-larut sejak 2014. Namun, mengingat kebutuhan terhadap rumah sakit regional sangat mendesak karena daya tampung RSZA tidak memadai, DPRA mengalah.

“Karena gubernur masih ngotot konsep pinjaman ini, maka kami dari Komisi III mengkaji ulang. Akhirnya, melahirkan suatu kesimpulan terakhir berutang,” ungkapnya. “Rekomendasi untuk tidak menggunakan kurs mata uang Euro tapi pakai rupiah.”

Diakuinya, meski menggunakan rupiah bunga tetap tinggi yakni sekitar 8,5 persen. Namun ada keuntungan lain, yakni tidak terkena fluktuatif kurs mata uang asing. Menurut dia, jika dalam 10-20 tahun ke depan kurs mata uang Euro tinggi dan berbahaya lagi jika pada saat itu kondisi ekonomi Indonesia melemah.

Namun, kini ia menyerahkan sepenuhnya keputusan pinjaman itu kepada Pemerintah Pusat. Sebab, nantinya yang berhutang ke Jerman adalah Pemerintah Pusat. Berdasarkan aturan keuangan, Pemerintah Aceh hanya menutup saja pinjaman tersebut kepada Pemerintah Pusat.

Kata Kautsar, berdasarkan kajian Komisi III, pembangunan rumah sakit regional harus dibangun sekaligus, tak bisa dibangun satu persatu. “RS tersebut mesti dibangun, ada atau tanpa adanya pinjaman. Hanya saja, jika itu dilakukan Aceh tak akan mampu karena gubernur tak mau membangunnya dengan dana Otusus,” katanya.

Dikatakannya, keinginan Pemerintah Aceh untuk meminjam sehingga dewan tidak ada pilihan lain selain setuju untuk menghindari kegaduhan. “Tak ada yang bisa menekan gubernur untuk membatalkan rencana itu. Pada saat kami meminta gubernur membangun rumah sakit terebut dengan dana Otsus, tak ada (Parpol) lain yang ikut menekan gubernur. Sekarang mereka baru menolak,” sambung dia.

Cicilan pinjaman tersebut, sebut Kautsar, nantinya bersumber dari Dana Alokasi Umum (DAU). Selain itu, secara mandiri, nantinya pemasukan yang diperoleh Badan Layanan Umum (BLU) RS akan menjadi andalan untuk membayar pinjaman tersebut.

Hal ini bertolak belakang dengan statmen Kautsar sebelumnya. Dalam diskusi di Kantor MaTA, Kautsar mengakui DAU tak mungkin membayar  utang tersebut. “Dari sumber Pendapatan Asli Aceh (PAD) juga tidak mungkin, karena dananya habis untuk pembayaran tunjangan prestasi kerja (TPK) pegawai, honor pegawai kontrak dan lainnya. Sedangkan dari DAU sudah habis untuk belanja rutin, bayar gaji PNS dan sebagainya,” kata Kautsar kala itu.[]

1 Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)

  1. Saya ingin umumnya menginformasikan kepada publik bahwa Felicia Anderson pemberi pinjaman pinjaman pribadi yang peluang keuangan terbuka untuk semua orang yang membutuhkan bantuan keuangan. Kami memberikan pinjaman dengan tingkat bunga 2% untuk individu, bisnis dan perusahaan di bawah syarat dan kondisi yang jelas dan mudah dipahami. hubungi kami hari ini via e-mail di: ([email protected])

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

WhatsApp Image 2021 03 15 at 10 58 19 660x330 1
Nova Iriansyah menerima penghargaan atas sinergi dalam penertiban Barang Milik Negara (BMN) di Bantaran Kanal Krueng Aceh Seluas 300 hektare, yang diserahkan langsung Oleh Kepala Kanwil DJKN Aceh, Syukriah HG di Pendopo Gubernur Aceh, Banda Aceh, Senin, (15/3/2021). [Dok. Ist]

Tertibkan Aset Negara di Tepi Krueng Aceh, Gubernur Terima Penghargaan