Pilkada Rasa Konflik

Pilkada Rasa Konflik
Pilkada Rasa Konflik

Kekerasan politik menghantui Aceh dalam beberapa bulan terakhir. Seperti diskenariokan, momen Pilkada menjadi ajang bentrok fisik hingga penembakan dan penggeranatan.

Penandatanganan perjanjian damai sejatinya menjadi akhir dari sebuah sejarah kekerasan. Namun, the end of violence history seakan tak mungkin terwujud di bumi Aceh. Rentetan kekerasaan yang mencederai nilai-nilai kemanusian masih saja terjadi di Aceh, termasuk kekerasan politik terkait Pilkada 2017.

Maraknya tindak kekerasan yang dilakukan secara individu maupun kolektif seolah menjadi tradisi dalam setiap proses suksesi pemilihan kepala daerah di Aceh. Dari pengrusakan atribut kampanye, bentrok fisik antar pendukung kandidat, hingga penembakan dan peledakan granat menjadi tontonan sehari-hari dalam setiap pesta demokrasi di bumi Serambi Mekkah.

Memasuki tahapan Pilkada 2017, beberapa tindak kekerasan terkait politik terjadi di Aceh. Teranyar, penggeranatan posko pemenangan Cabup/Cawabup Bener Meriah, Rusli M Saleh-T Islah, Selasa (15/11/2016). Lalu penembakan rumah Cagub Aceh Tarmizi Karim di kawasan Lamprit, Banda Aceh.

Sebelumnya, satu mobil Opel Blazer milik Sekjen Seuramoe Irwandi Yusuf-Nova Iriansyah di Pidie dibakar orang tak dikelal, Jumat (11/11/2016) sekitar pukul 05.00 WIB. Insiden itu tidak berselang lama setelah tim pemenangan Irwandi dan tim pemenangan Muzakir Manaf saling rusak atribut kampanye di Kembang Tanjong, Pidie.

Aksi semacam itu hanya bagian kecil dari rentetan kekerasan politik menjelang Pilkada 2017 di Aceh. Seakan ingin mengulang berbagai insiden berdarah di dua Pilkada Aceh sebelumnya, 2006 dan 2012, suksesi pemilihan kepala daerah kali ini masih sarat potensi konflik. “Masih sangat mengkhawatirkan, lebih-lebih menjelang pemungutan suara hingga pasca-penetapan kandidat terpilih, baik di level provinsi maupun di kabupaten/kota,” ujar Muazzinah Yakob dari Aceh Insitute.

Menurut catatan pihaknya, kata Muazinah, saat ini saja sudah mencapai 20 kasus kekerasan terkait Pilkada Aceh 2017. “Bila tidak dilakukan langkah antisipasi yang tepat, bukan mustahil insiden lain akan saling bersuhutan. Biasa saja angkanya akan menyamai insiden kekerasan dalam Pilkada 2012 yang mencapai 108 kasus,” katanya.

Kekhawatiran serupa disampaikan Direktur Eksekutif Koalisi NGO-HAM, Zulfikar Muhammad. Menurut dia, rentetan kekerasan terus bermunculan akibat ketidakseriusan aparat dalam menengani kasus-kasus sebelumnya. “Kalau (kasusnya) diusut tuntas, mungkin tidak akan ada lagi seperti kasus penembakan rumah Cagub Tarmizi Karim. Ini malah terkesan adanya pembiaran, sehingga berpotensi munculnya insiden susulan,” katanya.

Zulfikar menilai, pihak kepolisian kurang tanggap dalam melakukan pencegahan potensi konfik terkait Pilkada. “Begitu juga dengan penanganan kasus yang sudah terjadi, penyelesaian secara hukum kerap tidak pernah tuntas,” katanya.

Bahkan, menurut Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh Hendra Saputra, Polda Aceh tidak memiliki konsep jelas dalam mengantisipasi potensi konflik terkait Pilkada. “Selama persiapantahapan Pilkada, Polda Aceh hanya menitikberatkan pada penambahan pasukan Brimob yang ditugaskan sebagai pasukan penindak kekerasan yang teradi di Aceh. Mereka mengabaikan pendeteksian dini potensi kekerasan yang akan terjadi,” katanya.

Seharusnya, kata Hendra, Polda memperkuat tim pendeteksi dini setiap kasus yang bakal teradi. “Merka juga tidak mengusut tuntas insiden kekerasan yang terjadi belakangan ini. Buktinya, hingga sejauh ini belum ada satu kasus (Pilkada) pun yang naik ke pengadilan,” tegasnya.

Panitia Pengawas Pemilihan (Panwaslih) pun terkesan ragu-ragu dalam memproses dan menindak pelanggaran Pilkada. Dari sekian banyak insiden kekerasaan terkait Pilkada 2017, sejauh ini hanya dua kasus yang ditangani Panwaslih Aceh. “Keduanya tentang pengrusakan bendera Partai Aceh (PA), yang terjadi di Kembang Tanjong Pidie dan di Aceh Jaya,” sebut Ketua Panwaslih Aceh Samsul Bahri.

Selebihnya, menurut dia, kemungkinan sudah ditangani polisi karena masuk kategori krimanal. “Itu (kriminal) memang ranahnya polisi walau terkait Pilkada,” katanya.

Sementara jajaran kepolisian di Aceh belum memberikan konfirmasi secara umum. Laporan-laporan kekerasan politik masih ditindaklanjuti dan belum memasuki tahap penuntasan. Kondisi ini membuat jaminan keamanan Aceh makin rentan di musim Pilkada.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait