Kapten ini bukannya dibunuh saat ditemukan musuh, ia justru diselamatkan dan dibawa ke Pulau Weh.
Oleh Yudi Randa
Menurut pendataan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Sabang, ada sekitar 180 bangunan bergaya kolonial—peninggalan sejarah—di Pulau Weh. Mulai dari perkantoran, rumah sakit, penginapan, pertokoan, dan rumah tempat tinggal.
Sabang dahulu kala memang pernah menjadi primadona bagi penjelajah dari seluruh dunia. Tepat pada masa Perang Dunia I pecah, pulau yang mengapung di jalur pelayaran internasional ini berperan sebagai salah satu pelabuhan terpenting di Selat Melaka.
Tapi, setiap kali ke Pulau Weh, ada rasa penasaran yang tak pernah hilang dari benak saya, dimanakah makam para pelaku sejarah di pulau yang hanya memiliki luas 121 km2 ini? Hasrat ini akhirnya saya tuntaskan pada sore 8 Februari 2016.
Sudah hampir tiga kali saya bolak-balik mengelilingi Kuta Ateuh dan Kuta Bawah, sampai saya kesasar di seputaran Gampong Kuta Ateuh, Kecamatan Suka Karya, Kota sabang. Sebuah plang berdiri menyempil dari rimbun dedaunan pohon mangga. Ia bertuliskan “Makam Eropa (Het Kerkhof)”, saya histeris kegirangan.
Motor saya arahkan sesuai papan penunjuk. Menyusuri pemukiman padat penduduk. Jalanan yang sedikit sempit, memaksa saya menurunkan kecepatan laju sepeda motor hingga terlihat kumpulan makam terbentang. Makam itu beragam kondisi, mulai dari yang masih bertanah basah hingga makam tua tak terurus.
Saya berhenti di kompleks makam dengan gerbang lusuh, yang catnya terkelupas dan sekujur dindingnya ditumbuhi jamur. Di dalam sana, pepohonan asam tumbuh rimbun memayungi makam-makam tua di bawahnya. Dari depan pintu gerbang, mata saya menyusuri jalan setapak yang mengarah ke tengah areal pemakaman. Pohon-pohon kamboja yang meranggas, seolah ingin menutupi seluruh cerita sejarah dari para penghuni Makam Eropa.
“Makam itu (Het Kerkhof) sebenarnya sudah beberapa kali dipugar. Bahkan ketika masa rehab-rekon Aceh pascatsunami lalu, International Labour Organitation juga ikut mendonasikan sebagian besar dana untuk membangun pagar di sekeliling makam itu,” Albina Arrahman, Ketua Sabang Heritage Society, kemudian melalui sambungan telepon membuka cerita keberadaan Makam Eropa itu di Kota Sabang.
Di dinding gerbang kompleks Het Kerkhof itu sendiri tercetak plakat yang menerangkan, tempat itu sudah menjadi pemakaman warga sipil dan militer Eropa berkebangsaan Denmark, Yunani, Perancis, Jerman dan terutama Belanda.
Makam itu sudah ada semenjak 1800-an. Berbeda dengan Kerkhof Peucut di Banda Aceh yang sebagian besar penghuni makam adalah serdadu Belanda yang meninggal karena perang dengan Kesultanan Aceh, penghuni Het Kerkhof di Sabang meninggal karena faktor usia, penyakit, dan peperangan. Salah satunya Kapten Perancis yang kemudian dianggap pahlawan oleh bangsanya. Kuburannya tampak lebih menonjol dari yang lain, terletak di tengah-tengah areal pemakaman.
“Makam Kapten Perancis itu baru tahun lalu direhab oleh Kedutaan Perancis. Dipasangi batu marmer dan ditata ulang. Mereka memang sedang gencar-gencarnya melakukan penelusuran terhadap situs-situs sejarah yang berkaitan dengan sejarah kepahlawanan Perancis,” urai penulis buku “Sabang Dalam Lintasan Sejarah” ini.
Albina mengisahkan. Tepat pada 28 oktober 1914, di pagi buta yang dingin di Pulau Penang Malaysia, kapal perang legendaris Jerman untuk Perang Dunia I bernama SMS Emden berhasil menenggelamkan kapal-kapal musuhnya. Sang kapten berhasil mengelabui kapal armada sekutu Inggris yang berlabuh di Pulau Penang.
Kapal SMS Emden memasang satu cerobong asap tiruan sehingga dari jauh terlihat seperti layaknya kapal sekutu. Emden yang menerobos Pelabuhan Penang berhasil menenggelamkan sejumlah kapal perang Inggris, Rusia, dan Perancis.
Hari itu, naas bagi Jacques Carissan, Kapten Kapal Le Mousquet dari Perancis. Kapal yang dinakhodainya harus menghidu dinginnya dasar lautan. Tenggelam saat bertempur dalam jarak dekat melawan Emden di perairan Penang yang masuk dalam Selat Malaka itu.
Kapten Jacques Carissan selamat dari serangan maut tersebut, namun terluka cukup parah. Beruntung baginya, tentara Jerman berusaha bersikap kesatria dengan mengangkat musuh yang selamat ke atas kapalnya. Ia bersama para tawanan lainnya kemudian dibawa Jerman ke Pulau Weh, Indonesia. Tak lama di Sabang, Carrisan meninggal dunia dan dikuburkan di sana. Ia kemudian menjadi buah bibir di kampung halamannya dan dinobatkan sebagai pahlawan nasional Perancis.
“Batu nisan asli Kapten Perancis itu diambil dan dibawa pulang ke negara asalnya sebagai bukti otentik dan salah satu bukti sejarah untuk museum di Perancis. Jadi, nisan yang ada di makam tersebut sudah tidak asli lagi,” ungkap Albina.
Menurutnya, beberapa tahun sekali, Angkatan Laut Perancis datang ke Sabang untuk melaksanakan upacara ala militer sebagai bentuk penghormatan mereka terhadap Kapten Jacques Carrisan.
“Saya berharap, nantinya ini bisa menjadi dasar kerjasama militer antara Indonesia dan Perancis. Atau yang terdekat saja, saya berharap ke depannya, situs-situs ini akan menjadi salah satu daya tarik wisatawan dari Eropa, khususnya dari Perancis,” cetus Albina.
Het Kerkhof sepi dari kunjungan wisatawan di Sabang, tidak seriuh benteng Jepang peninggalan Perang Dunia II di Anoi Itam. Mungkin saat ini benar kata Albina, tidak banyak orang yang tahu kalau ada Pahlawan Perancis dimakamkan di Sabang, termasuk orang Pulau Weh itu sendiri.[]
Diterbitkan di Rubrik SEJARAH Tabloid Pikiran Merdeka edisi 113
Belum ada komentar