Lama masuk daftar pencarian orang, pelarian Murthala akhirnya terendus di Banda Aceh. Ia ditembak mati petugas Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Aceh.
Murtala (33), warga Medan Johor, Kota Medan, Sumatera Utara (Sumut), mengakhiri petualangannya dengan tragis. Pria berbadan tegab ini meninggal dunia pada Kamis (29/3) sore, setelah peluru senjata milik petugas BNNP Aceh bersarang di dadanya.
Murthala masuk dalam DPO BNN Pusat sejak beberapa beberapa waktu lalu. Ia diketahui merupakan sindakat peredaran narkoba jenis sabu lintas negara.
Kepala BNNP Aceh Brigadir Jenderal Polisi Faisal Abdul Naser melalui Kepala Bidang Pemberantasan BNNP Aceh Amanto, mengatakan terduga merupakan bandar narkoba yang masuk dalam DPO BNN Pusat.
Dia menjelaskan, sebelumnya tim pusat juga tengah memburu keberadaan Murthala di Kota Medan. Namun, belakangan diketahui bandar narkoba antar negara ini sedang berada di Aceh.
“Penangkapan terhadap jaringan ini atas koordinasi dengan BNN Pusat yang menyebutkan bahwa mereka sedang berada di Banda Aceh,” ujar Amanto, kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (31/3) akhir pekan lalu.
Sebelum ditembak, Murthala ditangkap bersama rekannya yang berinisial RS (26) warga Aceh Utara. Murthala dan RS merupakan sindikat narkoba internasional yang masuk dalam DPO. Bersama mereka, BNN juga mengamankan pria berinisial Mun (35), warga Banda Aceh yang merupakan rekan Murthala dan RS.
Ketiganya ditangkap di sebuah warung mie di kawasan Jalan Rama Setia, Lampaseh, Banda Aceh, sekitar pukul 16.40 WIB. Penangkapan dua DPO BNN tersebut atas informasi masyarakat kepada petugas. “Mereka ditangkap saat berada di warung mie,” ujar Amanto.
Hasil pengembangan, kata Amanto, Murthala diketahui merupakan pemilik dan pengendali barang haram tersebut. Berdasarkan keterangan, tersangka menyimpan sekitar tujuh kilogram sabu-sabu di Kota Lhokseumawe.
Kemudian, lanjut dia, tim BNNP Aceh membawa Murthala dan dua tersangka lain ke Lhokseumawe menggunakan mobil untuk mengungkap tujuh kilogram sabu-sabu miliknya tersebut. “Tersangka dibawa menggunakan mobil dengan kondisi borgol terbuka sebelah tangan,” ujar Amanto.
Dalam perjalanan, saat melintasi Jalan Soekarno Hatta, Lampeuneurut, Aceh Besar, persisnya di depan sekolah dasar, tersangka melakukan perlawanan dan membuka pintu mobil, meloncat serta melarikan diri. “Petugas BNNP menghentikan mobil seraya berupaya mengejar tersangka. Petugas juga beberapa kali memberikan tembakan peringatan, namun tidak digubris tersangka,” tambahnya.
Tanpa menghiraukan peringatan petugas, Murthala terus berusaha melarikan diri. Hingga akhirnya, petugas melakukan tindakan tegas dengan mengarahkan tembakan ke tubuh tersangka. “Tersangka meninggal karena kehabisan darah di tempat kejadian perkara,” ujar Amanto.
Jasad Murthala kemudian dibawa ke RS Bhayangkara Polda Aceh, hingga akhirnya dikemalikan ke pihak keluarga.
Sepanjang melakukan pemerantasan terhadap peredaran narkoba di Aceh, Amanto menyebutkan, Murthala merupakan korban pertama tembak mati terhadap bandar narkoba oleh petugas BNN.
Pun demikian, kata dia, beberapa waktu lalu petugas BNN juga melakukan penemakan terhadap bandar narkoba di bagian kaki saat berusaha kabur dari penangkapan petugas.
“Dia korban pertama tembak mati untuk Provinsi Aceh selama beberapa tahun terakhir. Sebelumnya tersangka bisa dilumpuhkan saja karena tidak membahayakan petugas. Dia (Murthala) sudah membahayakan keselamatan petugas sehingga dilakukan tindakan terukur. Ini juga biar jadi efek jera buat pelaku lain,” tambahnya.
Amanto menegaskan, BNNP tidak main-main dalam memerantas peredaran narkoba di Aceh. Tindakan tegas akan diambil guna memutuskan mata rantai jaringan narkoba yang selama ini semakin meresahkan masyarakat. “Kita berharap, juga ada keseriusan penegak hukum lainnya,” pungkasnya.
LANGKAH TEPAT
Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Aceh Safaruddin mengapresiasi langkah BNN memutuskan mata rantai peredaran narkoba di Aceh. Menurut Safar, tindakan terukur petugas BNN tersebut sudah sesuai dengan ketentuan dalam memerangi narkoba.
“Kita mengapresiasi langkah BNN dalam memerangi narkoba. Terlebih, narkoba memang sudah sangat meresahkan di Aceh,” ujar Safar, Sabtu (31/3) akhir pekan lalu.
Menurut Safar, langkah terukur petugas BNN tersebut telah sesuai dengan Protab, dimana tersangka berusaha kabur dan merebut senjata petugas. “Itu sudah sesuai Protap dan ketentuan lapangan. Jika tidak ingin mati, ya jangan melawan petugas dan jangan kabur,” tegas Safar.
HUKUMAN MATI
Sebelumnya, bandar narkoba juga jatuh terkapar di Medan. Hal itu berbanding terbalik dengan Kejaksaan Agung yang maju mundur dalam mengeksekusi mati bandar narkoba.
Dikutip detikcom, Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai otoritas tunggal pelaksana eksekusi sudah satu tahun lebih tidak melaksanakannya. Pada 2017, tidak ada satu pun gembong narkoba yang dieksekusi mati. Padahal, pada 2016 sebanyak 10 orang tiba-tiba diminta balik badan sesaat sebelum dieksekusi mati.
“Kalau aspek Indonesia mudah aja. Ketika aspek yuridisnya terpenuhi semua, tinggal ditembak saja sesuai dengan tata cara proses hukuman mati di negara kita ya,” ujar Jaksa Agung Prasetyo di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Rabu (28/3) pekan lalu.
Prasetyo menyebut, setiap kali kejaksaan melaksanakan eksekusi mati, selalu ada komentar miring dari beberapa pihak. Mereka yang mengkritik biasanya mengatakan, di beberapa negara, hukuman mati sudah ditiadakan.
Bagi Prasetyo, di Indonesia berbeda. Hukuman mati saat ini masih bisa dilaksanakan karena tercantum dalam KUHP. “Sejauh hukum positif kita masih menyatakan hukuman mati masih berlaku, ya kita tidak ada pilihan lain untuk tidak melaksanakan ketika memang seluruh aspeknya terpenuhi,” tegas dia.
Namun, terkait dengan hukuman mati terhadap gembong narkoba, Ketua YARA Aceh Safaruddin mengaku tidak setuju diterapkan di Indonesia. “Soal hukuman mati terhadap kasus narkoba, saya belum sepakat. Ini dikarenakan kasus narkoba sulit dalam pembuktian dan berbagai masalah lainnya,” ujar Safar.
Alasan lain, sambung Safar, kondisi penegakan hukum di tanah air saat ini masih dililit dengan mafia hukum. Ia khawatir nantinya akan ada orang yang dikriminalisasi dengan kasus tersebut dan menjadi korban.
“Di luar negeri pernah dilakukan eksekusi mati, namun 20 tahun kemudian orang itu dinyatakan tidak bersalah. Apakah ini bisa mengembalikan korban? Tentu tidak. Nah. di tempat kita kondisi penegakan hukum masih dililit mafia hukum dan beragai masalah lainnya,” tegas Safar.
Berbeda dengan kasus pembunuhan, kata Safaruddin, memang sudah diatur dalam agama Ilam. Sehingga, bisa dilaksanakan di Indonesia.[]
Belum ada komentar