Jagung ditanami di sela-sela sawit dengan harapan dapat menambah perekonomian. Namun banjir yang melanda setiap tahun dan kurangnya pengetahuan bercocok-tanam memupuskan harapan itu.
—
Kecamatan Trumon Raya yang terdiri dari Trumon Timur, Trumon Tengah dan Trumon, dikenal sebagai sentra produksi sawit dan jagung di Kabupaten Aceh Selatan.
Mayoritas lahan di wilayah itu hampir penuh ditanami jagung di sela-sela tanaman sawit. Namun, kultur tanah tropis yang seharusnya lebih produktif menghasilkan jagung itu, tidak didukung oleh kondisi alam.
Pasalnya, Trumon dilanda banjir saban tahun. Menyebabkan ribuan hektar tanaman jagung yang baru ditanam maupun sedang menunggu masa panen, rusak total terendam banjir. Sehingga berimbas pada merosotnya hasil produksi.
Petani jagung di Desa Cot Bayu, Kecamatan Trumon Tengah, misalnya. Di desa pedalaman ini, sedikitnya ada sekitar 500 hektar lahan jagung yang ditanami oleh 200 petani di sela-sela tanaman sawit dalam kebun mereka masing-masing.
Pada waktu normal tanpa banjir, para petani mampu menghasilkan jagung antara 3 – 4 ton/hektarnya. Namun ketika banjir melanda, produksi hanya berkisar 1 – 2 ton/hektar. Berkurang hingga 50 persen lebih.
“Bencana banjir saban tahun itu biasanya mulai berlangsung sejak bulan Mei. Puncaknya atau paling parah terjadi mulai September hingga Desember,” cerita Taufik Kamil, petani Desa Cot Bayu, Sabtu, (9/1/16).
Bila tidak dilanda bencana alam, sambungnya, para petani desa itu bisa panen sebanyak 3 – 4 kali dalam setahun. Namun karena saban tahun selalu banjir, hasil panen petani sering berkurang dari target.
“Bencana banjir tersebut sangat mengganggu petani karena mereka terpaksa harus menanggung rugi yang tak sedikit. Padahal dengan menggarap lahan jagung itu, masyarakat petani setempat berharap sangat terbantu karena mampu meningkatkan perekonomian mereka,” ujarnya.
Bencana banjir juga membatasi stok komoditi jagung di kawasan Trumon Raya. Karena langka atau terbatas, harga penjualan jagung melambung tinggi.
“Seperti sekarang ini, sejak akhir Desember 2015 sampai awal tahun 2016, harga penjualan jagung di tingkat petani sudah mencapai Rp3.500/kg. Harga itu jauh melambung tinggi dibandingkan dengan harga di saat hasil produksi melimpah yang hanya sebesar Rp 2.600/kg,” sebut Taufik.
Diuntungkan Sistem Suntik Modal
Taufik Kamil menyatakan, mayoritas lahan perkebunan jagung di Kecamatan Trumon Raya milik masyarakat petani. Dapat dipastikan tak ada yang dikelola oleh perusahaan tertentu.
Petani biasanya menggunakan sistem penggarapan lahan dengan dua metode yakni sistem penggarapan sendiri dan sistem suntikan modal oleh para tengkulak (agen) di mana hasil panennya dibeli oleh tengkulak dengan pengurangan harga sebesar Rp 200/kg sebagai kompensasi bantuan modal.
Sisi baiknya, sistem suntikan modal bisa menguntungkan petani jika terjadi bencana alam yang mengakibatkan tanaman jagung rusak.
“Jika terjadi bencana alam, modal kembali dikucurkan dari nol oleh tengkulak tanpa harus ada ganti rugi, sampai tanaman jagung tersebut berhasil panen,” sebutnya.
Dalam 1 hektar pengolahan lahan jagung, para petani setempat harus mengeluarkan biaya antara Rp4 juta – Rp 5 juta. Biaya tersebut, khusus untuk pembersihan lahan, pengadaan bibit, biaya tanam, pupuk, basmi hama sampai biaya petik jagung saat panen.
Ada dua jenis bibit yang sering digunakan petani diwilayah itu sesuai kondisi cuaca, yakni bibit Pioner P23 dan P26.
“Untuk bibit P23 khusus diperuntukkan saat musim kemarau sedangkan P26 khusus ketika musim hujan karena bibit tersebut tahan air,” terangnya.
Petani Minim Pengetahuan
Taufik Kamil mengakui, hasil produksi yang berkisar antara 4-5 ton/hektar masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan hasil produksi jagung di daerah lain yang mencapai 7-8 ton/hektar.
Menurutnya, kondisi itu akibat masih kurangnya peran Pemkab Aceh Selatan melalui Dinas terkait dalam memberikan pendampingan dan penyuluhan kepada petani melalui kegiatan sosialisasi dan pelatihan.
Perhatian Pemerintah Aceh terhadap petani jagung di Trumon Raya selama ini juga sangat minim. Buktinya, selain tak adanya upaya pendampingan petani, bantuan peralatan pertanian termasuk bantuan bibit tak pernah disalurkan, sehingga para petani sulit meningkatkan hasil produksi.
“Kalaupun ada dibantu, penyaluran pupuk jenis NPK dan Urea oleh Pemkab Aceh Selatan melalui Dinas terkait, namun langkah kontrol tidak dilakukan langsung ke lapangan, sehingga penggunaan pupuk itu sering disalahgunakan oleh para petani karena peruntukannya tidak tepat sasaran.”
Taufik mencontohkan para petani yang kurang pengetahuan dalam pengolahan lahan jagung. Petani tidak membajak sawah dengan mesin traktor ketika akan memulai musim tanam baru, tapi hanya membersihkan lahan yang baru saja habis masa panen dan langsung ditanami bibit baru.
Demikian juga terhadap penyemprotan dan pemupukan. Petani hanya melakukannya sekali per masa panen, dari seharusnya 2 kali penyemprotan dan 3 kali pupuk dalam sekali panen.
Pola tanam jagung secara tradisional itu mengakibatkan hasil panen masih dalam kategori sedang, yang berkisar antara 4-5 ton/hektar, berbeda dengan pola petani modern yang hasil panennya sudah mencapai 7-8 ton/hektar.
Pun pascapanen, para petani setempat kembali harus mengeluarkan biaya sendiri untuk penggilingan jagung sebesar Rp 100/ton dan untuk ongkos petik jagung mencapai Rp7.000 – Rp 8.000/kg.
“Mesin penggilingan jagung ini ada yang menggunakan sistem swakelola oleh petani, ada juga milik pribadi petani. Seharusnya jika Pemerintah mau membantu mesin tersebut, akan sangat membantu petani karena biaya atau ongkos yang dikelurkan bisa ditekan lagi lebih rendah,” Taufik.
Anehnya, berbeda dengan daerah lain yang keberadaan tanaman jagung cenderung terancam oleh hama tikus, di Trumon Raya justru lebih terancam serangan hama babi. Untuk menyiasati, para petani memasang kabel yang dialiri langsung arus listrik PLN bertegangan sedang ke lahan jagung.
“Teknik ini dinilai sangat ampuh, buktinya tidak sedikit hama babi yang mati di kebun jagung akibat tersengat kabel yang dialiri arus listrik bertegangan sedang,” ungkapnya.
Perlunya Bangun Pabrik
Melihat hasil produksi jagung di Trumon Raya sudah mencapai ribuan ton per sekali panen, masyarakat petani setempat meminta kepada Pemerintah Pusat dan Pemerintah Aceh serta Pemkab Aceh Selatan, agar segera membangun pabrik pengolahan jagung di daerah itu.
Dengan tersedianya pabrik, harga jual jagung di tingkat petani bisa meningkat karena tak harus lagi menjual kepada agen yang kemudian dijual lagi ke pedagang pengumpul di Medan, sehingga secara otomatis terjadi selisih harga yang lumayan besar.[]
Diterbitkan edisi cetak Pikiran Merdeka.
Belum ada komentar