Kopi Gayo, selain terkenal di negeri sendiri, juga dikenal oleh penikmat kopi di luar negeri, terutama di Uni Eropa. Meski dataran tinggi Gayo memiliki 60 varietas dan cultivated variety kopi, namun hanya dua varian yang kini dikembangkan masyarakat tani, yakni varietas Gayo 1 dan Gayo 2.
Saat ini, kopi gayo sedang memasuki musim panen raya. “Panen puncak ini berlangsung November-Desember. Masuk trimester tahun berikutnya, panennya akan habis,” kata Ros, petani kopi di Desa Jamur Uluh, Kecamatan Wih Pesam, Kabuate Bener Meriah.
Untuk memanen kopi, petani di dataran tinggi Gayo mendatangkan buruh kutip dari kabupaten lain di Aceh, bahkan dari Sumatera Utara. “Ongkos panen dihitung per kaleng biji kopi yang dipetik. “Untuk satu kaleng ukuran 10 bambu diongkosi Rp20 ribu,” jelas perempuan keturunan Jawa ini.
Menurut dia, pihaknya belakangan ini kewalahan mendapatkan buruh petik. Padahal, saat musim hujan seperti sekarang ini buah kopi cepat masak, bahkan rontoh dari pohonnya.
Selama masa panen raya, jelas dia, hasil yang diperoleh per hektar kebun mencapai 100-250 kaleng kopi gelondong sekali kutip. Meski begigitu, jumlah panen kopi tersebut sangat tergantung perawatan dan pemupukan kebun kopi. “Hasil panen kali ini, sangat menurun jika dibandingkan tahun-tahun sebelumnya,” kata Ros.
Saat ini, harga kopi merah atau kopi gelondong jenis arabika gayo Rp100 ribu hingga Rp110 ribu. “Ini harga jual dari petani,” tandasnya.[]
Teks & Foto: Fauzan Yusuf. Baca juga Festifal Panen kopi Gayo 2018.
Belum ada komentar