Jika ingin berakhir pekan bersama keluarga dan kerabat, Pantai Bantayan di Kecamatan Seunuddon, Aceh Utara, pilihan baru objek wisata menarik yang patut dicoba.
Oleh Cut Islamanda
Pantai berpasir putih itu menawarkan ragam pesona. Bukan hanya bersantai sambil menikmati angin sepoi-sepoi, kini pengunjung bisa memanjakan diri dengan mandi uap (sauna) yang disediakan di lokasi. Bagi yang ingin membeli ikan segar, cukup menunggu perahu nelayan kembali di siang hari.
“Sauna baru berjalan satu bulan dan mulai diminati pengunjung. Untuk sekali sauna cukup membayar Rp20 ribu. Setelah sauna biasanya pengunjung bersantai sambil menikmati kelapa muda. Sebelum pulang mereka mandi laut, sehingga badan fresh kembali,” ujar Amiruddin, 40 tahun, pengelola sauna yang juga warga Desa Ulee Rubek Timu.
Meski berada di pedalaman, jalan yang dilalui untuk mencapai Pantai Bantayan tidak sulit. Jarak tempuh dari jalan Medan – Banda Aceh, Simpang Pante Breuh, Kecamatan Baktiya menuju Pantai Bantayan hanya sekitar 12 km dengan lintasan mulus beraspal.
Sebelum mencapai Pantai Bantayan, pengunjung akan terlebih dulu menemui Pantai Ulee Rubek yang juga indah.
Memasuki lokasi wisata syariah ini, pengunjung akan disambut sejumlah pemuda yang bertugas menertibkan parkir kendaraan. Pengunjung yang datang dengan mobil bisa parkir di bawah pepohonan yang rimbun. Sedangkan bagi pengendara sepeda motor telah disediakan tempat khusus di lokasi Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Bantayan yang dialih-fungsikan menjadi tempat parkir.
Biaya parkir pun sangat terjangkau. Hanya Rp5 ribu untuk sepeda motor dan Rp10 ribu untuk roda empat.
Pantai Bantayan ramai dikunjungi pada pagi dan sore hari di akhir pekan. Biasanya pagi hari pengunjung datang untuk mandi, sedangkan sore hari banyak yang memilih bersantai di pinggir pantai sembari menikmati seporsi mi aceh dan rujak ditemani es kelapa muda.
Sampah dari Laut
Pantai Bantayan masih sangat asri. Pasir putih dan pepohonan yang rimbun semakin memanjakan pengunjung.
Meski telah dikelola sebagai salah satu lokasi wisata syariah, di pantai ini terdapat satu persoalan yang belum ditemukan solusinya, perihal kebersihan. Di beberapa sudut pesisir pantai terdapat tumpukan kayu dan dedaunan yang dihempaskan ombak, demikian juga daun kering dan sampah sisa makanan berserakan di sepanjang mata memandang.
Meski kerap menuai kritikan, namun kondisi itu tidak menyurutkan minat pengunjung. Laut yang terbentang biru tetap mampu menghipnotis mata yang memandang.
Tak hanya pengunjung, masyarakat setempat juga selalu datang berkunjung di akhir pekan. Kebanyakan para lelaki datang menghabiskan waktu dengan bermain catur di bawah pepohonan. Sedangkan para wanita lebih memilih duduk di pinggiran pantai.
Di hari biasa pantai ini tetap buka, walau sepi pengunjung. Puluhan anak terlihat asik berenang dan bermain bola kaki. Panasnya sinar matahari yang membakar kulit tak mampu menyurutkan keceriaan mereka.
Lokasi wisata itu memang pernah ditutup untuk umum dengan dalih terlalu banyak perbuatan maksiat/khalwat yang dilakukan pengunjung, terutama muda-mudi. Namun sejak 2013 lalu pengelolaan pantai ini sudah dilakukan serius.
“Yang menutup pantai ini dulu bukanlah warga Bantayan, tapi warga dari kawasan lain. Namun kini aktivitas pantai sudah berjalan normal. Setiap akhir pekan pengunjung cukup ramai, apalagi sudah ada MCK dan mushala,” ujar salah seorang penjual makanan dan minuman ringan saat ditemuiPikiran Merdeka, Kamis (31/3/2016).
Wanita yang mengaku beranak dua itu menambahkan, sebagian pedagang di wilayah kiri pantai kini memiliki persoalan tersendiri. Dua tembok bertuliskan letter ‘Pantai Bantayan’ yang dibangun di lokasi seolah mempersempit rezeki pedagang. Pasalnya tembok itu terlihat seperti pembatas, sehingga pengunjung ramai yang tidak memperhatikan bahwa masih banyak lapak pedagang di balik tembok itu.
“Sebelum dua tembok itu ada rezeki kami di hari Sabtu dan Minggu sangat lumayan. Tapi sejak beberapa bulan terakhir sangat menurun. Tapi mau bagaimana lagi di sini memang pemasukan kami untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari,” ucapnya yang enggan menyebutkan nama.
Salah seorang wanita penyedia jasa sewa ban secara terpisah mengatakan, dibukanya kembali lokasi wisata itu merupakan berkah tersendiri bagi dirinya. Di akhir pekan ia rutin memperoleh pemasukan antara Rp 200.000 – 250.000.
“Harga sewa ban cukup murah, hanya Rp 5.000 untuk ukuran kecil dan Rp 10.000 ukuran besar. Kini pemasukan sudah stabil, bahkan terkadang bisa lebih saat pengunjung membludak,” ucap wanita berkulit hitam itu tersenyum.
Laki dan Perempuan Dipisah
T Miftahuddin alias Om Mis, Ketua Pengelola Lokasi Wisata Pantai Bantayan mengatakan, saat ini terdapat 56 lapak pedagang yang berjejeran di pinggir pantai. Rata-rata penjual makanan dan minuman ringan itu merupakan janda miskin dan kaum dhuafa.
“Kami membuka kembali pantai ini atas keinginan masyarakat. Selain itu kita juga ingin mengangkat potensi gampong agar lebih berkembang dan dikenal masyarakat luar.”
Sedari dulu katanya, pengunjung Pantai Bantayan tak hanya asal Aceh Utara, namun juga dari Aceh Timur, Langsa, bahkan hingga Banda Aceh. Pengunjung dari luar daerah umumnya orangtua yang ingin bernostalgia bersama keluarganya.
Demi kemajuan bersama, pihaknya menerima setiap saran yang diberikan pengunjung selama itu bersifat positif dan membangun.
Ia menyebutkan, pantai itu dikelola oleh 10 pengurus tetap termasuk dirinya. Namun jika sedang ramai pengunjung di hari Minggu, banyak pemuda desa dilibatkan menjadi juru parkir dan lainnya.
“Di sini pengunjung kami bagi menjadi tiga kelompok: bagian tengah untuk yang membawa keluarga, kiri khusus perempuan dan kanan khusus laki-laki. Di lokasi juga sudah kami berikan famplet kecil. Hal ini sudah diberlakukan sejak 2009 namun baru berjalan efisien pada 2013,” ujarnya.
Menurut Om Mis, penerapan ketentuan itu sedikit terkendala di awal. Banyak pasangan muda-mudi yang kerap melanggar, baik sekedar duduk berduaan atau berpegangan tangan. Namun kini sudah jarang yang demikian. Bahkan pengunjung yang datang rata-rata sudah paham, harus duduk terpisah bagi non muhrim.
Selain itu, setiap pengunjung diwajibkan berbusana muslim. Jika mandi di laut, wanita tak boleh buka jilbab, tak boleh memakai baju yang transparan ketika basah dan tak boleh bercelana ketat.
“Jika ada yang melanggar, maka akan kami arahkan untuk membeli baju bekas pakai (monza) yang telah kami siapkan di lokasi. Setiap Minggu kami memang menempatkan pedagang baju monza di pantai. Jika memang pengunjung yang bandel itu tidak mau mengganti bajunya dengan baju monza itu, maka dengan senang hati akan kami persilakan pulang meninggalkan pantai,” tegasnya.
Tak hanya itu, lanjutnya, cukup banyak orangtua yang meminta no telepon pengelola pantai. Mereka kerap menghubungi jika anaknya berkata ingin ke pantai. Biasanya mereka minta anaknya diawasi agar tak melakukan hal-hal yang tak diinginkan.
Di sisi lain pihak pengelola Pantai Bantayan juga bekerja sama dengan Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Tanah Jambo Aye, Langkahan dan sekitarnya, demi mencegah adanya siswa yang bolos ke pantai.
“Jika kedapatan siswa yang mengaku ada kegiatan rekreasi di pantai ini, harus melampirkan surat keterangan dari sekolah. Jika tidak, akan kami amankan dan kami hubungi pihak UPTD, kepala sekolah dan diminta datang orangtua masing-masing,” jelasnya.
Menurutnya pengelola selalu mengawasi karena pantai itu dibuka setiap hari, khusus Jumat dibuka setelah shalat Jumat atau menjelang sore
Pedagang Butuh Tong Sampah
Dikatakan Om Mis, permasalahan terbesar saat ini banyak pengunjung mengeluh perihal kebersihan, seperti sampah dedaunan kering, sisa plastik makanan, hingga banyaknya kotoran ternak.
Khusus untuk kotoran ternak sudah teratasi, saat ini telah ditetapkan qanun Desa Bantayan, tak boleh ada ternak berkeliaran di lokasi wisata. Jika ada akan ditangkap dan pemiliknya didenda Rp200 ribu saat ternak diambil kembali.
“Hal itu juga sudah kami tulis jelas di pamflet masuk pantai. Qanun ini sudah dikoordinasikan dengan Muspika. Sengaja diterapkan agar ternak tidak tidur di gubuk pedagang,” ujarnya.
Penanganan sampah sudah dibuat peraturan tertulis, setiap pedagang wajib membersihkan lapak dagangannya, depan samping kiri kanan dan belakang. Dilakukan Jumat atau Sabtu sebagai persiapan akhir pekan.
“Namun itu tidak maksimal karena selalu saja ada sampah yang dihempas ombak di bibir pantai. Di sini kami minta pemerintah terkait dapat membantu penyediaan tong sampah untuk setiap pedagang agar kebersihan terjaga maksimal,” ucap pengelola pantai lainnya.
Para pedagang di lokasi pantai hanya diperbolehkan membuat gubuk (jambo) ukuran 5 meter agar terlihat seragam. Jikapun masih ada yang berukuran lebih, itu dibangun sebelum aturan diterapkan. Para pedagang rata-rata berasal dari desa setempat dan beberapa desa tetangga, seperti Ulee Rubek Barat, Ulee Rubek Timu dan Teupin Kuyun.
Setiap pedagang diwajibkan membayar retribusi Rp5.000 di hari Minggu. Juga berlaku kepada pedagang keliling yang datang dengan sepeda motor, becak atau sepeda. Sedangkan untuk hari lain tidak dikutip biaya
Tembok “Pantai Bantayan” Mengganggu
Adanya pedagang yang mengeluh pemasukannya menurun setelah ada dua tugu atau tembok berletter “Pantai Bantayan”, Om Mis menjelaskan, “Sebenarnya bukan tembok itu masalahnya, tapi karena kami telah membangun jalan kanan sepanjang 500 meter dengan tujuan agar bisa dilintasi kendaraan pengunjung yang ingin menikmati pantai dari jarak dekat.”
Pembangunan jalan itu mereka kerjakan dengan Alokasi Dana Desa (ADD) 2015. Atas inisiatif bersama warga mengingat Desa Bantayan posisinya memanjang di pesisir pantai. Sebagai inovasi masa depan untuk anak cucu mereka kelak.
Ia mengakui hal itu sedikit berimbas pada lapak pedagang di jalur kiri karena banyak kendaraan memilih masuk langsung ke jalur kanan. Ditambah lagi sedikit tertutupnya lapak pedagang dengan tulisan letter “Pantai Bantayan”.
“Pedagang jalur kiri memang mengeluh merasa dianak-tirikan. Padahal maksud kami tidak demikian,” ucapnya.
Tahun 2016 ini pihaknya sudah mempertanyakan ke Kabid Pariwisata Aceh Utara, apakah ada anggaran untuk Bantayan. Jika memang ada anggaran, pihaknya akan menunggu untuk membuat jalan jalur kiri.
Tapi jika tidak ada plot dana dari dinas, maka akan dikerjakan dengan dana desa 2016. Pengerjaan jalur kiri dan kanan Pantai Bantayan merupakan program memajukan desa.
“Kami maklum dengan keluhan pedagang karena sulit menyamakan persepsi banyak orang, pasti ada perbedaan pandangan. Keluhan pedagang tetap kami respon, tapi semua butuh proses, tidak bisa instan. Ini semua untuk kemajuan bersama di masa mendatang.”
Saat ini ada beberapa bangunan dari dinas di pantai yang belum diserah-terimakan kepada masyarakat karena masih tahap pemeliharaan, seperti musala. Hal itu tak dapat diganggu gugat.
“Kami tunggu itu dulu diserahkan, barulah kami bisa mengerjakan yang lain. Hal itu agar tidak tercampur antara pengerjaan pemerintah dan masyarakat. Selain itu musala juga belum ada airnya,” ungkap Om Mis.
Ada 13 poin yang dikeluarkan alim ulama Kecamatan Seunuddon sesuai permintaan masyarakat. Dan masyarakat menjalankan ketentuan itu, sehingga ada sinkronisasi antara ulama dan masyarakat.
“Alhamdulillah semua yang diinginkan sudah berjalan maksimal sekitar 85 persen. Sebuah lokasi wisata yang benar-benar Islami. Aturan ini bukan serta merta masyarakat yang buat, tapi kami meminta aturan itu dari alim ulama Kecamatan Seunuddon. Semoga untuk ke depannya Bantayan dapat terus berbenah diri hingga menjadi salah satu lokasi wisata favorit di Aceh Utara,” tutupnya.[]
Belum ada komentar