Kemenangan di MK diharapkan menjadikan momentum penyempurnaan UUPA. DPRA dan Pemerintah Aceh layak mempertimbangkan revisi UUPA.
Dikabulkannya gugatan Kautsar dan Tiong serta gugatan DPRA menjadi spirit bagi penyempurnaan UUPA. Hal ini dianggap penting untuk membentengi diutak-atiknya kausul-kausul UUPA di kemudian hari.
Kuasa hukum DPRA dalam gugatan di MK, Zaini Djalil mengatakan dirinya merasa puas dengan keputusan yang dibacakan hakim MK pada Kamis pekan lalu. Menurut dia, UUPA begitu penting bagi Aceh. Maka dalam putusan tersebut ia senang karena hakim MK menilai pasal 557 dan 571 UU Pemilu dibatalkan karena dianggap bertentangan dengan konstitusi.
“Tapi bagi saya secara pribadi, di samping yang kita minta itu dikabulkan, yang lebih memberi kepuasan itu adalah di bagian konsideran (pertimbangan hukum)-nya, ada pengakuan-pengakuan mempertegas kembali hak–hak Aceh dan kewenangan-kewenangan Aceh, baik dalam UUPA maupun UU Nomor 44 tentang Keistimewaan Aceh yang ini dibedakan. Jadi ada penegasan-penegasan kembali terhadap kewenangan Aceh, dan ini yang saya kira memberi kekuatan bagi kita,” ujar Zaini kepada Pikiran Merdeka, Sabtu,13 Januari 2018.
Baca: Mengembalikan Marwah Aceh
Paska lahirnya keputusan ini, Zaini yang juga Ketua Nasdem Aceh mengatakan ada hal yang lebih serius yang perlu mendapat perhatikan serius. Menurutnya, UUPA perlu dibahas kembali. Dia meminta kepada DPRA untuk menyempurnakannya. “Selama ini kan banyak poin-poin yang kurang. Harus disempurnakan.”
Ia juga mengamini pernyataan Kautsar mengenai konsultasi DPR RI ketika pembahasan UU khusus tentang Aceh itu harus masuk dalam Tatib DPR RI. Menurut dia, ada perbedaan soal mekanisme pembahasan UU berkaitan dengan Aceh dibanding daerah lain di Indonesia.
“Kalau dengan Aceh memang khusus, harus dengan pertimbangan dari legislatif Aceh. Kalau daerah lain cukup dengan konsultasi biasa. Kalau Aceh khusus DPRA dalam bentuk persetujuan (MoU). Tapi dalam UUPA dipertegas dengan konsultasi dan mendapat pertimbangan,” bebernya.
Dengan keputusan MK kemarin, disebut Zaini menjadi kekuatan bagi UUPA. Dulu, saat UUPA dibuat berkaitan dengan persoalan kepercayaan antara Aceh dan Pusat. Menurut dia, jika kedua belah pihak hati-hati, maka gugatan seperti kemarin tidak perlu terjadi.
Baca: Mengawal Keutuhan UUPA
“Tapi mungkin karena ini (Pemerintah pusat dan DPR RI) kurang serius melihat UUPA, mungkin terlewatkan perhatian mereka. Namun dengan gugatan ini, maka jadi perhatian semua orang, baik daerah maupun pusat. Karena di bagian lain juga disebutkan bahwa UUPA bukan berarti tida bisa diubah, bisa saja direvisi dengan syarat harus ada konsultasi dan pertimbangan DPRA,” ujar Zaini lagi.
Soal revisi UUPA, meurut dia, saat ini sudah saatnya dilaksanakan. Ia mendorong agar DPRA dan Pemerintah Aceh bisa memikirkan langkah tersebut guna memperkuat posisi UUPA itu sendiri.
“Saya kira memang perlu diubah, dan kita orang Aceh yang merevisinya. Ada beberapa yang perlu disepakati. Ada kewenangan yang perlu diperkuat. Masalah kewenangan penyelesaian seperti sengketa Pilkada dalam UUPA itu kan ke MA, sekarang kan sudah MK. Kita harus meyesuaikannya. Itu kan dasar yang lama,” terang dia.
Ia berharap, kejadian ini menjadi yang terakhir. Adanya penghapusan dua pasal di UUPA sejak berlakunya UU Pemilu sempat menjadi gaduh di Aceh. “Ini jadi tanggung jawab bersama. Karena ada kewenangan konsultasi. Termasuk DPR RI juga, banyak teman kita dari Aceh di Senayan. Ini harus lebih serius ketika bicara tentang aturan yang berlaku di Aceh, kemarin kita kecolongan kan,” pungkas Zaini.
Hal senada dikemukakan pengamat politik Teuku Kemal Fasya. Menurut dia, ada beberapa yang yang sudah out of date dari isi UUPA itu sendiri. Selain persoalan penyelesaian sengketa Pilkada antara ke MA dan MK, juga ada hal-hal lain yang perlu diperkuat. Di sisi lain, ia juga meyakini bahwa persoalan Pemilu dianggap bersifat tidak lex specialis, bukan sebuah kekhususan.
Baca: Lokomotif Pengawal UUPA
“Dia (pemilu) masuk dalam model rezim kepemiluan yang sifatnya terpusat. Kan tidak ada Pileg yang berbeda antara Aceh dan daerah lainnya, semua sama. Pilkada saja sudah masuk agenda serentak. Ini kan sudah menunjukkan tidak ada kekhususan Aceh. Paling yang sangat khusus itu, adanya tes baca Alquran karena kita daerah syariat Islam,” tutur Kemal, Sabtu pekan lalu.
Menghindari pencabutan pasal di UUPA terulang kembali, Kemal punya saran kepada Pemerintah Aceh dan DPRA. Menurutnya, jika UUPA ini dianggap konstitusinya Aceh, maka harus ada tim yang mengawal secara permanen. “Selama ini kan tidak, sibuknya kalau sudah ada masalah seperti ini. Apalagi orang Aceh yang ada di DPR RI sana, ya ngertilah bagaimana kualitasnya. Lebih banyak mengabdi pada kepentingan partai dan konstituennya,” ujar akademisi Universitas Malikussaleh ini.
“Sebenarnya yang lebih tepat itu adalah DPD. Karena mereka memang wakil daerah. DPD yang harusnya dipersalahkan, apa kerja mereka itu selama ini,” pungkas Kemal.[]
Belum ada komentar