Gizi buruk merengut keceriaan bocah perempuan asal Bireuen, Adelia Monita Fitri. Ia tengah berjuang menjemput kembali hari-hari indahnya.
Sebelum Oktober 2017, Adelia Monita Fitri adalah bocah manis yang ceria. Sama seperti anak-anak pada umumnya, sepulang sekolah ia suka bermain bersama teman-temannya. Namun kini Adelia harus terbaring lemah di kamar rumah sakit. Gizi buruk telah merengut hari-hari cerinya.
Adel, begitu ia akrab disapa, kini terbaring lesu di tempat tidur salah satu ruang rawat inap di Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin Banda Aceh. Tubuhnya sangat kurus. Hanya pakaian dalam dan sehelai kain panjang yang dipakainya untuk menutupi tubuhnya. Ia tidur miring dengan kakinya yang ditekuk. Matanya memandang kosong.
“Ya, begitulah Adel sekarang. Ia lebih suka melamun seperti sedang memikirkan suatu beban yang sangat berat,” ucap Sri Yuniar, ibu kandung Adel.
Hari itu Adel baru saja melakukan foto rontgen. Hasil rontgen belum diketahui. Yuniar hanya berkata pasrah dengan apa yang dilakukan pihak rumah sakit terhadap anaknya. “Semua saya serahkan ke pihak rumah sakit,” kata Yuniar dengan raut wajah melesu.
Adel hanya bisa memandang dengan mata kosong. Seketika adiknya datang memberikannya coklat. Dengan hati-hati, tangan mungilnya bergerak mengambil coklat itu. “Yah, ayah beli coklat. Adel nggak bisa makan,” kata Adel dengan suara yang sangat pelan.
Saat ini asupan makanan Adel hanya berasal dari selang infus. Tangannya yang mungil harus menahan suntikan jarum infus setiap hari. Sembari berdiri mengelus-elus kepala putrinya, Yuniar bercerita awal mula ia menerima kabar bahwa anaknya menderita gizi buruk.
“Penyakit yang dideritanya mulai terlihat sejak awal Oktober 2017 lalu. Awalnya Adel selalu mengeluh sakit perut. Saya mengira dia hanya sakit perut biasa. Namun karena sudah keseringan saya bawa dia ke dokter. Katanya ia infeksi usus,” cerita Yuniar kepada Pikiran Merdeka, Jumat pagi lalu.
Sejak saat itu berat badan Adel terus menyusut. Berat badan Adel yang dulunya 29 kilogram kini menjadi 12 kilogram. Karena itulah ia harus berbaring di rumah saja. Adel juga tidak bisa duduk ataupun berdiri lagi.
Saat itu Yuniar hanya bisa menangis. Putri sulungnya yang dulunya ceria kini menjadi bocah pendiam dan lebih suka melamun. Sudah enam bulan juga Adel libur sekolah. Padahal, kata Yuniar, Adel dulunya adalah anak yang rajin belajar.
Yuniar dan suaminya pun rajin membawa Adel ke dokter. Terakhir seminggu yang lalu sebelum dirujuk ke Rumah Sakit Umum Zainoel Abidin, Adel sempat dirawat di salah satu rumah sakit di Bireun. Karena kondisinya kian parah ia terpaksa dirujuk ke RSUZA.
“Adel tidak bisa makan. Setiap makan selalu mutah-muntah,” kata Yuniar.
Setelah beberapa hari dirawat di RSUZA, kondisinya mulai membaik. Kini ia sudah bisa duduk dan makan nasi walaupun harus dipangku. “Dulu untuk ke toilet saja susah,” kata Yuniar.
Adel berasal dari keluarga kurang mampu. Ayahnya, Afrizal adalah buruh serabutan. Sedangkan ibunya, Yuniar adalah seorang ibu rumah tangga. Untuk biaya pengobatan Adel, ia hanya bertumpu pada BPJS dan bantuan dari masyarakat.
“Alhamdulillah, ada saja masyarakat yang membantu. Terakhir kemarin salah satu anggota DPRK asal Bireuen, pak Salman. Beliau yang bawa Adel ke rumah sakit Bireuen dan kemudian dirujuk oleh BPJS ke rumah sakit di sini (RSUZA).”
Yuniar bercerita, semasa sakit Adel selalu menanyakan kondisi rumahnya yang sekarang. Karena, sebelum ia sakit mereka sedang membangun rumah sederhananya. “Kami memang lagi buat rumah. Tapi hanya rumah kecil. Itupun dari tabungan saya dan suami. Semua kami kerjakan sendiri, tanpa tukang. Terkadang saya juga yang bantu aduk semen,” cerita Yuniar.
Selama Adel sakit, proses pengerjaan rumahnya terhenti. Yuniar dan suaminya fokus mengobati putri sulungnya itu. “Bahkan jika nantinya diperlukan kami rela menjual rumah itu untuk keperluan pengobatan Adelia,” timpalnya.
Saat ini yang dibutuhkannya adalah mengembalikan kebahagiaan puterinya. Melihat putrinya tersenyum kembali adalah mukjizat buat Yuniar. “Adel sudah sangat jarang tertawa. Melihat ia ketawa itu mukjizat bagi saya,” kata Yuniar meneteskan air mata.
MIMPI MENJADI DOKTER
Adel terbilang anak yang cerdas. Di sekolah ia selalu menuai prestasi. Sudah empat kali Adel mendapat juara kelas. Namun karena kondisinya saat ini ia terpaksa berhenti sekolah untuk sementara. Adel mengaku sangat merindukan sekolahnya.
Bocah cerdas nan manis itu juga kepada Pikiran Merdeka menyampaikan cita-citanya. Biarpun kini ia sedang sakit dan merasa lemah tak berdaya. Adel tetaplah sama dengan anak-anak lainnya. Ia bercita-cita ingin menjadi dokter. “Aku ingin jadi dokter,” sahutnya polos.
Kata Yuniar, keinginannya menjadi dokter sudah ada sejak dulu. Katanya juga Adel ingin menjadi pahlawan untuk orang yang sakit sepertinya.
“Adel ingin bantu orang yang sakit kayak Adel juga ya?” tanya Yuniar kepada Adel sembari mengelus-elus kepala anaknya.
Adel hanya mengangguk tanpa banyak berbicara. Yuniar kembali menitihkan air mata melihat anaknya tak lagi banyak bicara. Ketika melihat ibunya bersedih ia juga memalingkan mukanya dan matanya pun berbinar-binar menyembunyikan kesedihannya.
KASUS GIZI BURUK
Adelia adalah salah satu contoh kasus anak penderita gizi buruk di Aceh. Tak hanya dia, beberapa anak lainnya pun ikut menjadi korban.
Dinas Kesehatan beberapa kali mencari tahu penyebab gizi buruk yang menimpa pada kebanyakan anak tersebut. Dunia medis hanya menyimpulkan secara umum penyebab gizi buruk tak lain karena faktor kurangnya asupan gizi dan penyakit bawaan.
Pada tahun 2017, Dinas Kesehatan Bireuen menemukan anak yang mengalami gizi buruk sebanyak 20 orang. Sebuah angka yang cukup fantastis untuk ukuran satu kabupaten.
Mereka menyimpulkan, gizi buruk disebabkan beberapa faktor. Di antaranya adalah kurangnya asupan gizi, penyakit bawaan, serta akibat penyakit jantung.[]
Belum ada komentar