PM -Langit yang awalnya cerah tiba-tiba diselimuti gumpalan awan hitam. Perahu penumpang yang menuju Pulo Breuh mulai bergoyang keras. Para penumpang yang tadinya berada di pinggir perahu mulai merapat ke tengah atau mencari tempat terbaik agar tidak terkena cipratan ombak yang pecah.
Saya dan beberapa anggota Tim Gampong Film yang duduk di bagian belakang perahu, segera mengambil beberapa plastik berukuran besar untuk menutup diri dari pecahan ombak. Fauzi, salah satu anggota Tim Gampong Film, bergegas menutup beberapa alat pemutaran film yang berada di depan deck perahu. Tak lama kemudian, hujan turun deras. Para penumpang pun mencari tempat berlindung sebisa mungkin. Kami bertahan dengan plastik besar meskipun celana kami basah. Perahu ini masih harus menempuh perjalanan satu setengah jam lagi.
“Coba cek proyektor di ruang kemudi, ada kena air?” perintah Jamal pada saya. Jamaluddin Phonna (dipanggil Jamal), Direktur Aceh Film Festival (AFF), meminta saya mengecek. Saya bergegas ke ruang kemudi dan memastikan proyektor aman. Proyektor adalah barang inti dari perjalanan ini yang harus dijaga baik-baik, karena pantulan cahayanya sangat penting untuk kelancaran acara.
Kami berlima, ditambah Eileena dari Anti Corruption Film Festival (ACFFEST), berangkat ke Pulo Breuh. Fahmi, yang akan menjadi pembicara dalam kegiatan ini, berangkat keesokan harinya. Ketika arus Lampuyang terlihat di mata, hujan mulai reda, dan cahaya matahari mulai muncul. Kami tiba di Pulo Breuh sekitar pukul 16.00 WIB. Setelah menurunkan barang-barang ke dalam mobil pick-up, Tim Gampong Film beristirahat sejenak di warung kopi di dermaga Lampuyang sebelum melanjutkan perjalanan menuju penginapan.
Pulau Breuh adalah salah satu pulau terbarat Indonesia yang menawarkan keindahan alam yang masih murni. Pulau ini tidak seramai Pulau Sabang, dan akses menuju Pulo Breuh hanya dapat dilakukan menggunakan perahu penumpang yang berangkat antara pukul 13.00-14.00 WIB setiap hari, kecuali hari Jumat. Secara administratif, Pulo Breuh masuk wilayah Aceh Besar, meskipun aksesnya lebih dekat dari Banda Aceh.
Pulo Breuh menjadi titik terakhir dari rangkaian tour pemutaran Gampong Film. Kami akan memutar film di halaman Sekolah Dasar (SD) Gampong Meulingge pada Rabu, 16 Oktober 2024. Tahun ini, ada tiga titik lain yang disinggahi oleh Gampong Film, yakni di Iboih (Sabang), Deah Glumpang (Banda Aceh), dan Lamteuba (Aceh Besar).
Gampong Film pertama kali diselenggarakan oleh Yayasan Aceh Documentary (Adoc) pada tahun 2015. Sejak saat itu, Adoc terus menghadirkan sinema ke kampung-kampung pedalaman di Aceh. Hingga kini, Gampong Film telah menjadi program utama dari AFF yang juga dikelola oleh Adoc.
“Selama kami melaksanakan Gampong Film, kami selalu menemukan para tetua yang memiliki pengalaman menonton layar tancap, yang mana hal itu sudah jarang ada di Aceh. Saya rasa Gampong Film ini penting sebagai ruang menikmati sinema di Aceh,” kata Jamal.
Pada perhelatan tahun ini, AFF bekerja sama dengan ACFFEST serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Kerja sama ini cukup menarik, saya pikir. Kami menganggapnya sebagai respons atas banyaknya pemberitaan tentang korupsi di kampung-kampung oleh kepala desa. Jadi, bisa juga dilihat sebagai upaya menyampaikan pesan anti-korupsi. Tema Gampong Film kali ini cukup jelas: ‘Tolak Korupsi dari Gampong’,” lanjut Jamal.
Medio Venda, Kepala Satuan Tugas Direktorat Sosialisasi dan Kampanye Anti Korupsi KPK, menyampaikan, “Film lebih mudah diterima oleh masyarakat luas. Harapannya, penayangan film-film ini tidak hanya menjadi hiburan semata, tetapi juga dapat menumbuhkan kepedulian terhadap isu korupsi dan memperkuat sikap antikorupsi di berbagai level masyarakat. Pemberantasan korupsi dimulai dari diri sendiri, dari kesadaran kecil hingga perubahan besar,” ujarnya.
Tim Gampong Film telah memilih enam film dari yang disediakan oleh pihak ACFFEST, di antaranya Kurang 2 Ons, Persenan, Titip Sandal, Jastip, Unbaedah, dan Hitler Mati di Surabaya.
“Film-film ini kami pilih karena ceritanya universal dan cocok bagi masyarakat Aceh. Semua film ini memberi pelajaran tentang dampak buruk dari korupsi. Film-film itu juga akan diputar bersama film-film dari Aceh,” kata Akbar, selaku programmer Gampong Film.
Kami menginap di Lembaga Ekowisata Pulo Aceh (LEPA), sebuah organisasi swadaya masyarakat yang bergerak di bidang ekowisata dan konservasi penyu, yang terletak di Gampong Gugup. Tidak banyak penginapan di Pulo Aceh, apalagi hotel atau vila. Bahkan di beberapa desa di Pulo Breuh belum ada sinyal internet, termasuk di Meulingge, tempat kami akan melaksanakan pemutaran.
Setelah beristirahat dan makan siang, kami mulai menyiapkan peralatan pemutaran. Kami juga memasang stiker Gampong Film pada mobil pick-up yang telah kami sewa. Ciri khas Gampong Film sebenarnya adalah mobil putih bermerek Grand Max dengan tulisan Gampong Film yang sering menarik perhatian masyarakat dan membangkitkan memori sinema mereka.
Beberapa kali pada tahun sebelumnya, ketika kami berkeliling, banyak orang yang meminta agar mobil tersebut singgah untuk memutar film di desa mereka. Namun, kali ini mobil itu tidak bisa ikut menyeberang karena tidak ada kapal yang dapat mengangkutnya ke Pulo Breuh. Kapal KMP Papuyu memang ada, namun jadwalnya sering tidak menentu dan di luar timeline kegiatan Gampong Film.
Perjalanan dari Gampong Gugup ke Meulingge memakan waktu sekitar 40-50 menit. Di sepanjang perjalanan, kami disuguhi pemandangan gunung yang menjulang dan pantai-pantai yang indah. Daun-daun yang menjalar ke jalan kadang mengenai badan saya dan Jadid yang duduk di belakang mobil pick-up. Rasanya perih, karena daun-daun itu begitu padat.
Kami tiba di Gampong Meulingge sekitar 9 menit sebelum azan Ashar. Tim Gampong Film segera membentangkan layar dan mempersiapkan peralatan lainnya untuk pemutaran. Beberapa warga juga turut membantu kami. Saya mengecek ponsel, ternyata tidak ada sinyal di sini.
Setelah persiapan selesai, kami dijamu makan malam di rumah warga dengan masakan khas Pulo Aceh, Asam Gurita. Di sini tidak ada rumah makan, dan semua makanan kami disiapkan oleh warga.
Pukul 20.30 WIB, acara pemutaran dimulai. Ketika pembawa acara membuka acara, tiba-tiba hujan turun begitu deras. Padahal sejak pagi cuaca cerah. Kami tak sempat melihat tanda-tanda hujan. Tim Gampong Film, dengan bantuan warga, berusaha menyelamatkan proyektor dan menutup sound system dengan plastik. Warga lain, kebanyakan ibu-ibu, berlarian mencari tempat berlindung di beranda depan kelas.
“Ibu-ibu, bapak-bapak, dan adik-adik, pemutaran tetap akan kita lanjutkan, kita tunggu hujan reda ya!” kata Zikra, pembawa acara. Tim Gampong Film awalnya panik karena melihat banyak warga yang mulai pulang dan meninggalkan tempat pemutaran. Namun, hingga hujan reda, penonton masih bertahan dan memadati beranda kelas SD Meulingge.
Pemutaran baru dimulai sekitar pukul 22.00 WIB setelah penundaan sekitar satu setengah jam. Seperti di tiga titik lainnya, acara dibuka dengan kuis.
“Siapa yang tahu kepanjangan dari KPK?” tanya Zikra. Tak ada yang mengangkat tangan. Zikra bertanya sekali lagi. Seorang anak kecil yang duduk di depan mengangkat tangannya dan menjawab, “Komisi Pemberantasan Korupsi!” Tepuk tangan dan sorakan pun terdengar. Tim Gampong Film menyerahkan hadiah berupa tote bag berisi kaos dan tumbler.
“Semoga film-film yang akan kami putar bisa menghibur warga Gampong Meulingge khususnya, dan seluruh warga Pulo Breuh yang hadir di sini. Nanti kami juga akan memutar film yang lokasi syutingnya di Pulo Aceh, coba perhatikan, mungkin ada wajah kalian di dalam film itu,” ujar Jamal dalam kata sambutannya.
Pemutaran dimulai. Saya duduk di antara para ibu-ibu dan anak-anak untuk melihat reaksi mereka. Sepanjang pemutaran, para penonton tertawa. Film pertama yang diputar adalah Titip Sandal, yang bercerita tentang antrian vaksin di sebuah kampung terapung.
Para ibu-ibu menitip sandal kepada teman dan anak mereka yang bekerja sebagai petugas kesehatan. Konflik dalam film bermula dari sana, hingga menyebabkan lantai kayu itu roboh, membuat para ibu-ibu yang bertengkar jatuh ke dalam air.
Film selanjutnya, Jastip (Jasa Tipu-tipu), bercerita tentang dua anak muda yang menjual madu di media sosial. Usaha mereka kemudian dilirik oleh seorang politisi, yang ingin memberi modal untuk usaha mereka. Namun, salah satu dari mereka menolak walau akhirnya mereka menerimanya. Wajah politisi terpampang di botol madu usaha mereka. Lalu, karena tidak bisa mencukupi madu, mereka mengolah madu tersebut, madu yang dijual bukan madu asli, melainkan hasil olahan.
“Meskipun film yang diputar tidak menjelaskan secara jelas tentang korupsi dalam praktik yang sering kita lihat di tivi, seperti korupsi uang. Ini adalah bentuk lain dari korupsi, jadi korupsi bukan hanya soal uang. Bahkan soal antrian juga bisa termasuk. Saya rasa ini penting di kampanyekan,” ujar Fahmi selaku pembicara dalam diskusi. Fahmi adalah seorang aktivis sosial dan lingkungan.
Film terakhir adalah Pulo Rempah. Film yang settingnya di Pulo Breuh, bercerita tentang seorang anak kecil yang tinggal di kota, lalu pulang ke kampung halamannya. Di Pulo Breuh dia mendapatkan pelajaran dan sejarah tentang Pulo Breuh. Film ini banyak membuat penonton tertawa geli, karena beberapa aktor yang penonton kenal dan mereka takjub melihat Pulo Breuh yang begitu indah.
“Kegiatan seperti ini, sangat penting untuk terus dilakukan. Menyadarkan para pemuda di kampung tentang apa itu korupsi. Yang paling penting untuk keterbukaan dalam mengelola kampung,” kata Muhammad Dahlan Kepala Desa Meulingge.
Reportase: Adli Dzil Ikram
Belum ada komentar