Keterlambatan pengesahan APBA bakal diganjar sejumlah sanksi bagi pemerintah daerah. Seperti pasal 312 Undang-Undang 23 Tahun 2014 menyatakan, DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun, akan dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak-hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama enam bulan.
Baca: APBA Telat, Salah Siapa?
Memang, gubernur memiliki hak prerogratif menentukan apakah APBA 2018 ditetapkan melalui qanun atau Peraturan Gubernur. Namun, menurut Koordinator GeRAK Askhalani, pemerintah perlu mempertimbangkan Opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diperolehnya selama ini.
![](https://www.pikiranmerdeka.co/wp-content/uploads/2018/01/askalani.jpg)
“Kalau ditetapkan non-Pergub kita akan dapat sekitar Rp180 miliar. Tapi jika dengan Pergub, maka dana itu tak akan diberikan oleh pemerintah pusat,” kata Askhalani.
Ia menambahkan, pemerintah kabupaten/kota bakal jadi pihak yang paling dirugikan jika APBA dipergubkan. Karena proporsi belanja daerah yang menggunakan rasio belanja tahun sebelumnya mengakibatkan provinsi dan kabupaten/kota akan sulit melanjutkan pembangunan sebagaimana yang telah direncanakan.
“Kemudian, keterlambatan pengesahan anggaran membuat dana Otonomi Khusus yang menjadi hak kabupaten/kota bakal terkendala, dengan proporsi ODA sebesar 60 persen untuk jatah mereka, maka ini adalah kerugian besar bagi percepatan pembangunan di Aceh,” kata Askhalani.
KETERGANTUNGAN MASYARAKAT
Sementara itu, ekonom Unsyiah Muhammad Nasir menguatkan hal senada mengenai kerugian daerah akibat keterlambatan pengesahan APBA 2018. Pengamatannya, perputaran ekonomi masyarakat di Aceh sangat bergantung dengan anggaran yang disediakan pemerintah.
![](https://www.pikiranmerdeka.co/wp-content/uploads/2018/01/Photo_Muhammad_Nasir.jpg)
Merujuk pada data Bank Indonesia Triwulan I tahun 2017, Nasir menyatakan, realisasi APBA telah memicu penurunan dalam komponen konsumsi rumah tangga. Lantaran pengeluaran konsumsi rumah tangga di Aceh memiliki persentase terbesar dalam porsi Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yakni 49 persen.
“Karena memang realisasinya telat, jadi ini sebenarnya sangat memprihatinkan. Dampaknya, jika konsumsi rumah tangga rendah ada pada kondisi ekonomi secara keseluruhan,” kata dosen Fakultas Ekonomi Unsyiah ini.
Dalam pembangunan Aceh, APBA merupakan instrumen sekaligus stimulan bagi pembiayaan. Menurut Nasir, masyarakat di Aceh demikian terikat dengan anggaran pemerintah. Hal itu berbeda dibandingkan provinsi tetangga, Sumatera Utara.
“Sumut APBD-nya lebih rendah daripada kita. Tapi ekonomi terus tumbuh di sana, kenapa? Karena swastanya lebih dominan. Mereka tak ada istilah ‘nunggu tanggal satu’, kalau kita kan tunggu anggaran dari pemerintah. Maka isu-isu keterlambatan APBD tidak terlalu dipersoalkan di sana, karena memang mereka tidak bergantung,” jelas Nasir.
Hal lain yang disoroti Nasir mengenai rencana alternatif paska otonomi khusus. “Pemerintah perlu pikirkan ini, rencana alternatif paska Otsus. Bagaimana meningkatkan Pendapatan Asli Daerah, habis masa Irwandi di periode pertama masa penerimaan 2 persen kita sudah lewat. Kalau tidak disipakan skenario dari sekarang, maka ini akan menyulitkan kita karena Pendapatan Asli Aceh (PAA) kita itu agak minim,” kata Nasir.
Terakhir, ia menghimbau agar dalam penyusunan APBA 2018 ini terdapat strategi alternatif mengenai penguatan PAA secara mandiri.
Yang terpenting, lanjutnya, penguatan anggaran musti diingat sebagai ikhtiar guna mengurangi kemiskinan di Aceh. Kemiskinan ini dapat ditekan jika anggaran tepat sasaran dan tepat waktu.
“Kalau tidak optimal, akan jadi masalah, termasuk daya serapnya yang jika terlambat maka angka kemiskinan juga tidak akan berubah,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar