Oleh Fatma Susanti
Masa-masa kampanye Pemilukada sepertinya menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat Aceh, terutama oleh para kandidat kepala daerah dan pendukungnya. Sudah tentu, karena sejak saat itu pula seolah ‘genderang perang’ telah ditabuh, menjadi momen bagi seluruh kontestan untuk melakukan segala upaya legal untuk merebut hati rakyat demi memperoleh suara sebanyak-banyaknya pada tanggal 9 April kelak.
Dalam Pemilukada Aceh kali ini, ternyata pemilih perempuan yang paling dominan suaranya. Tercatat, sebanyak 1.643.836 jiwa pemilih perempuan dan 1.600.854 jiwa pemilih laki–laki, dari total DPT yang telah ditetapkan (Modus, edisi 19-25 Maret 2012). Oleh karenanya, kemampuan para kandidat dan timsesnya dalam mengelola dukungan kaum perempuan merupakan salah satu kunci kemenangan para kandidat. Seperti yang pernah diutarakan oleh Ketua Umum Partai Golkar Aburizal Bakrie pada suatu pembukaan Rapat Konsolidasi dan Pendidikan dan Latihan Kesatuan Perempuan Partai Golkar di Jakarta menegaskan, “Kedudukan perempuan sangat penting sebab mereka adalah bagian terbesar dari pemilih. Partai politik yang bisa mengelola dukungan perempuan pasti bisa memenangi pemilu.”
Bagi para kandidat, pemilu mungkin merupakan suatu arena kontestasi untuk memperoleh kekuasaan. Namun bagi masyarakat luas, pemilu selayaknya menjadi momen untuk menentukan nasib selama 5 tahun ke depan. Oleh karena itu, kualitas pemilih dalam menentukan kepada daerah akan menentukan pula kualitas kehidupan mereka ke depan. Bukankah hal ini yang menjadi esensi pemilu sebagai salah satu indikator pelaksanaan demokrasi? Rakyat ingin memilih sendiri kepala negara, kepala daerah dan wakil mereka di parlemen yang mereka anggap dan percaya akan mampu membawa kesejahteraan dan perbaikan hidup bagi mereka.
Oleh karenanya, keberadaan konstituen di dalam pemilu bukan untuk digiring oleh kandidat sebagai alat untuk memperoleh kekuasaan apalagi demi nafsu kekuasaan pribadi dan golongan. Sebaliknya, rakyatlah sebagai kekuatan dan pemilik kekuasaan yang menentukan pemimpin yang dapat menjalankan pemerintahan sesuai dengan keinginan rakyat. Tanpa hal ini, omong kosong belaka mengatakan pemilu sebagai aktivitas apalagi indikator pelaksanaan demokrasi. Melalui kesadaran akan hal ini, para kandidat dan konstituen akan sama-sama memiliki paradigma yang seimbang untuk mewujudkan pemerintahan yang beroreintasi kesejahteraan bersama.
Terkait dengan pemilih perempuan pun, tak sepantasnya mereka hanya menjadi lumbung suara demi jalan mulus bagi para kandidat memperoleh kemenangan dalam pemilu tanpa adanya komitmen dan tanggung jawab di kemudian hari untuk melakukan perbaikan bagi kualitas hidup perempuan. Bukanlah kain sarung, berbagai jenis pakaian atau uang recehan yang seharusnya diberikan oleh kandidat untuk memikat hati kaum hawa, tapi suatu upaya konkrit untuk mengatasi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh kaum perempuan melalui berbagai bentuk kebijakan dan penganggaran yang berperspektif gender. Karena pemenuhan hak-hak perempuan tidak ada artinya jika tidak disuarakan dalam berbagai proses politik yang ada dan jika tuntutan-tuntutannya tidak tertuang dalam kebijakan-kebijakan yang berbasis gender serta terlembaga melalui institusi-institusi negara.
Yang terjadi selama ini, para elit politik terkesan tidak begitu peduli dengan nasib kaum perempuan. Para calon kepada daerah maupun anggota legislatif menjadi individu-individu yang terpisah dengan massa rakyat perempuan, sang kandidat sibuk memikirkan berbagai cara bagaimana memperoleh kemenangan dalam pemilu, sedangkan jutaan perempuan lainnya sibuk dengan persoalan sosial-ekonomi yang mereka hadapi.
Seharusnya para kandidat mampu memperoleh dukungan dari para konstituen perempuan jika sejak awal melakukan tindakan-tindakan konkrit di lapangan, seperti mendengar dan merespon keluhan-keluhan mereka, melakukan advokasi terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi, melakukan upaya-upaya pemberdayaan melalui pendidikan, dsb. Namun, tindakan-tindakan konkrit tersebut idealnya bukan hanya semata untuk memperoleh dukungan suara di dalam pemilihan, namun terus dilakukan secara berkesinambungan hingga nanti telah terpilih.
Kenyataannya, kaum perempuan hanya dijadikan lumbung suara ketika pemilu. Jika pun para kandidat membangun kontak langsung dan turun ke basis, hanya demi kepentingan kampanye dan pemenangan. Dan ketika telah terpilih menjadi kepala daerah dan anggota parlemen, mereka seolah-olah lupa dengan sejumlah janji-janji ketika kampanye yang ingin membawa perubahan dan kemajuan bagi taraf hidup perempuan khususnya dan masyarakat luas umumnya.
Berapa orang kepala daerah/wakil dan anggota parlemen perempuan yang sudah mampu memberikan kontribusi dan perubahan signifikan bagi perbaikan kehidupan kaum perempuan? Kemana mereka ketika pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang menyengsarakan kaum perempuan? Dimana suara mereka ketika kaum perempuan lainnya memperjuangkan sejumlah RUU yang berkepentingan untuk melindungi kaum perempuan?
Memang, keberhasilan secara formal sudah ada, misalnya dalam melahirkan Undang-Undang Nomor 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan; UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia; UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak; dan UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, serta yang terakhir UU No.2 tahun 2008 tentang keharusan kuota 30% dalam Partai Politik. Namun, berdasarkan hasil evaluasi sebagian besar LSM-LSM Perempuan, semua mengakui bahwa penerapan aturan-aturan tersebut dan mekanismenya masih sangat jauh dari harapan. (Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika dan Kalyanamitra: 2006).
Di samping itu, kaum perempuan sendiri harus mampu menjadi pemilih yang cerdas untuk mampu menentukan pemimpin yang dapat membawa perubahan nasib terutama bagi kaum perempuan sendiri. Jumlah perempuan yang tidak sedikit jika diimbangi dengan kemampuan memilih secara rasional sesungguhnya dapat menjadi nilai tawar bagi perempuan untuk menuntut komitmen para kandidat peduli terhadap nasib perempuan. Hal ini menjadi penting mengingat kondisi perempuan yang masih terbelakang dalam berbagai lini kehidupan dibandingkan dengan laki-laki, baik dalam hal ekonomi, politik, pendidikan, kesehatan, hukum dan rentan terhadap pelecehan dan kekerasan.
Namun permasalahan lainnya adalah, kesenjangan dalam hal pendidikan dan penguasaan teknologi terutama mengenai politik yang dialami perempuan dengan sendirinya menyebabkan rendahnya kualitas dalam menentukan pilihan dalam pemilu, bahkan memberikan kontribusi terhadap apatisme kaum perempuan dalam politik. Rendahnya kualitas rasionalitas kaum perempuan sebagai konstituen memang menjadi kendala tersendiri yang berdampak pada ketidakmampuan mayoritas perempuan yang berada di luar pemerintahan untuk melakukan perubahan melalui proses-proses politik. Padahal pemilu seharusnya dapat menjadi suatu momen perbaikan nasib jika perempuan mampu memilih pemimpin yang berperspektif gender atau minimal memiliki komitmen yang jelas terhadap persoalan-persoalan rakyat.
Oleh karenanya, kandidat dan partai politik yang memiliki kepedulian terhadap perempuan, idealnya juga memiliki komitmen untuk memberikan pendidikan dan pemberdayaan bagi perempuan untuk membantu mereka menjadi warga negara yang dapat berpartisipasi dalam sistem politik demi perbaikan hidupnya. Dan yang paling utama adalah memiliki komitmen terhadap gender mainstraiming untuk meningkatkan kualitas hidup perempuan, agar perempuan tak lagi sekadar menjadi lumbung suara dalam politik.[*]
*Fatma Susanti, Mahasiswi FKIP PKn Unsyiah.
Belum ada komentar