Kekerasan dan pelecehan seksual masih menjadi ancaman serius bagi perempuan dan anak Aceh. Terkadang terjadi di lingkungan keluarga, selain jalanan dan fasilitas publik.
Menjelang magrib, sekiranya pukul 06.30 WIB, mahasiswi berinisial RT, 20 tahun, melaju pelan dengan sepeda motornya. Kala itu ia sudah berada di jalanan kampung dekat rumahnya, sepulang dari kampus.
Jalanan sedikit sepi. Dua pria yang mengendarai sepeda motor secara tiba-tiba muncul dari belakangnya. Mereka berusaha mengimbangi laju kendaraan dan menanyakan alamat rumah seseorang. Tanpa curiga, perempuan muda itu mencoba membantu.
“Dia tanya alamat rumah kawannya, saya bilang enggak tahu karena memang tidak mengenal semua orang di kampung ini,” ceritanya.
Kemudian, lanjut dia, seorang pria yang berada di boncengan sepeda motor melirik nakal ke dadanya. “Pria yang di belakang itu lihat-lihat saya terus. Di situ saya mulai curiga dan langsung tancap gas,” ceritanya kepada Pikiran Merdeka, Jumat (15/3) lalu.
Namun, hari itu RT bernasib malang. Kedua pria yang lebih muda darinya itu mengejarnya dan mencoba merogoh dadanya. Sontak membuat RT terkejut dan takut. Tubuhnya melemas dan jantungnya berdegup cepat. Ia bahkan tak kuat untuk memacu laju motornya lagi. Sedangkan kedua pria tersebut kabur dengan laju motor berkecepatan tinggi.
“Saya sempat mengejar mereka. Entah kata-kata apa yang keluar dari mulut saya kala itu,” kenang RT atas kejadian buruk hari itu.
Setiba di rumah, RT menangis. Ia tak berani mengatakan kejadian itu kepada ibunya. “Aku merasa takut kala itu. Ibuku tak mengetahui kejadiannya. Aku tidak pernah menceritakannya padanya,” sahutnya.
Beberapa kekerasan dan pelecehan seksual lainnya yang diterima wanita juga kerap mewarnai berbagai pemberitaan. Kasus pelecehan seksual dan pemerkosaan bahkan dilakukan oleh orang-orang terdekat. Baru-baru ini, seorang anak disetubuhi oleh bapak kandungnya sendiri di Aceh Besar.
Kejadian bermula ketika ibu sang anak berada di dalam jeruji besi. Pelaku berinisial MJ (43) yang juga merupakan ayah korban mengaku nafsu bejatnya muncul karena kesepian. Ia bahkan berhubunngan badan dengan putrinya berinisial RM (15) samapai tiga kali dalam seminggu.
Kapolsek Krueng Raya AKP Agus Salim kepada wartawan di Mapolresta Banda Aceh mengatakan aksi bejat itu dilakukan tersangka sejak tahun 2017. Namun baru terungkap ketika korban membeberkan hal itu kepada perangkat desa.
Selama ini, kasus tersebut tidak terungkap karena korban diancam oleh pelaku untuk tidak melapor kepada siapapun. “Si anak merasa tidak nyaman lagi dan melaporkan kepada ketua komplek. Lalu ketua komplek melaporkan hal ini ke Polsek. Kami langsung tindaklanjuti laporan tersebut dengan menangkap pelaku pada tanggal 10 Februari 2018,” jelasnya.
Menurut Agus, pelaku melancarkan aksinya pada dinihari sekiranya pukul 01.00-02.00 WIB di rumahnya sendiri. Pihak kepolisian kini telah menahan tersangka dan mengamankan sejumlah barang bukti, di antaranya kain sarung, celana, dan baju milik korban.
Kisah RT dan RM adalah sepenggal kejadian buruk yang sering kita dengar di masyarakat. Wanita kerap kali menjadi korban kekerasan dan pelecehan fisik maupun lainnya. Terkadang, wanita yang mendapat perlakuan demikian enggan melapor dan menceritakannya kepada orang lain karena malu dan takut mendapatkan perlakuan diskriminatif sosial. Sementara sebagian lagi, karena tidak tahan atas perlakuan yang diterimanya, melapor ke pihak berwajib.
Mencuatnya pemberitaan kekerasan terhadap perempuan dan anak juga mengundang perhatian Psikolog Anak, Siti Syapiah Bintang. Kepada Pikiran Merdeka, Sabtu malam lalu, dia mengatakan terdapat beberapa faktor penyebab tingginya angka kasus tersebut.
“Penyebabnya antara lain kurangnya kesadaran, pemahaman, pendidikan dan ekonomi. Ini memang menjadi penyebab umum tingginya kekerasan yang menimpa perempuan dan anak selama ini,” kata psikolog yang bergabung dalam Psikodista Aceh ini.
Karena itu, lanjut dia, perlu diberikan pemahaman dini terhadap masyarakat.

“Hal itu dapat dilakukan dengan cara memberikan pemahaman agama yang mendalam serta melakukan pembinaan terhadap calon-calon keluarga,” ujar dia.
Dalam kehidupan sosial, Siti mengatakan sejauh ini masih banyak korban kekerasan yang tidak berani melapor karena berbagai faktor. Baik malu ataupun diancam. Menurutnya, hal ini bukanlah solusi terhadap penyelesaian kasus-kasus tersebut. Korban sangat perlu melapor atas kejadian yang menimpanya. Namun pelaporan tentu saja ditujukan kepada pihak-pihak yang mewadahi penanganan kasus tersebut, seperti P2TP2A.
“Untuk pencegahan ini dibutuhkan peningkatan pada bimbingan konseling supaya menumbuhkan rasa percaya diri dan rasa aman. Oleh sebab itu, setiap korban pelecehan atau pun tidak kekerasan wajib melapor kepada pihak-pihak yang berkepentingan seperti P2TP2A dan lainnya,” kata dia.
Siti menjelaskan, proses penyembuhan korban dibutuhkan waktu yang lama, terutama untuk menghilangkan trauma korban. “Mereka membutuhkan bimbingan konseling berkelanjutan. Butuh proses panjang untuk memulihkan dampak psikis. Yang paling penting, konselor harus mampu meningkatkan kembali rasa percaya diri korban,” uangkapnya.
Dia mengingatkan, bungkamnya korban terhadap permasalah tersebut bukanlah hal yang bijak untuk diri korban sendiri. “Memang yang kita lihat saat ini bahkan keluarga terdekatlah yang menjadi pelaku terhadap kasus tersebut. Namun, jika korban terus bungkam, itu hanya akan memberi dampak yang jauh lebih buruk untuk ke depannya,” tutupnya.
ANGKA MENINGKAT
Pelecehan, kekerasan secara fisik ataupun lainnya cukup kenyang dirasakan perempuan Indonesia. Terlebih di Aceh, setiap tahun angkanya meningkat tajam. Di tahun 2017, Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Aceh mencatat angka kekerasan perempuan dan anak mencapai 1.791 kasus. Grafik naik signifikan dimulai pada tahun 2015 sebanyak 939 kasus, tahun 2016 sebanyak 1.648 kasus, dan selama 2017 mencapai 1.791 kasus.
Bahkan di luar angka tersebut, menurut Ketua P2TP2A Amrina Habibie, masih banyak kasus kekerasan yang tak terlapor dikarenakan berbagai faktor. Di antaranya tingkat pemahaman terhadap hak-hak perempuan yang belum dimiliki, rasa takut akan dikucilkan di lingkungan sosial, serta terbatasnya ruang berbicara yang nyaman untuk perempuan saat menghadapi kasus kekerasan yang menimpanya.
“Para korban masih menghadapi hambatan dalam proses reintegrasi sosial. Di antaranya disebabkan oleh kontruksi sosial yang menempatkan perempuan sebgaai penjaga moral keluarga dan komunitasnya. Akibatnya, tidak jarang korban kejahatan seksual justru mendapatkan stigma berlapis dan perlakuan diskriminatif. Bahkan tidak sedikit perempuan yang dipaksa meninggalkan tempat tinggalnya,” papar Amrina Habibie.
Kondisi tersebut dinilainya menjadi penyebab perempuan korban kekerasan enggan melapor dan menceritakan persoalan itu ke pihak berwajib.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Nevi Ariyani dalam pertemuan kegiatan ekspos bersama terkait hasil temuan kekerasan yang menimpa perempuan dan anak di Aceh, meyakini hal ini seperti fenomena gunung es yang kemungkinan jauh lebih besar di lapangan. “P2TP2A Aceh meyakini angka yang terdokumentasi ini ibarat fenomena gunung es,” ungkapnya.
Menurut Nevi, budaya malu dan takut dikucilkan di lingkungan masyarakat menjadi penyebab untama korban tidak melaporkan kasus tersebut. Terlebih, penyampaian mengenai kekerasan seksual masih dianggap tabu di masyarakat. “Kekerasan seksual baik yang menimpa perempuan maupun anak-anak dianggap sebagai aib, sehingga harus dditutup rapat-rapat,” tutur dia.
Hasil rekapitulasi, lanjut dia, pihaknya rata-rata menangani 70 kasus per tahun. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata penanganan kasus di P2TP2A Aceh yang rata-rata mencapai 148 kasus per tahun.
“Meskipun secara jumlah kasus menurun, tapi bentuk kekerasan yang dialami meningkat tajam. Salah satu bentuk kekerasan paling dominan itu ialah kekerasan dalam bentuk psikis mencapai 666 kasus,” ungkap Nevi.
Dari berbagai kasus, bentuk kekerasan paling dominan sejak 2016 hingga 2017 yakni kasus pelecehan seksual. Ditotal berkisar 240 kasus. Kasus terbanyak terjadi di wilayah Aceh Utara dengan jumlah 123 kasus, disusul Kota Banda Aceh 94 kasus, Aceh Besar 81 kasus, Bener Meriah 52 kasus, Aceh Tengah 45 kasus, dan Aceh Timur 35 kasus. Sementara kabupaten/kota lainnya rata-rata di bawah 30 kasus.
PRIHATIN
Presidium Balai Syura Inong Aceh, Suraiya Kamruzzaman menyampaikan keprihatinannya terhadap kondisi perempuan dan upaya perlindungan hak-hak perempuan di Aceh. “Upaya perlindungan perempuan dari ancaman tindak kekerasan diharapkan benar-benar dibangun berdasarkan pengalaman. Yang terpenting tidak justru berdampak pada pembatasan ruang gerak perempuan dalam beraktivitas,” katanya.
Pendapat Suraiya ini merespon ususlan salah seorang tokoh adat yang mengahrapkan Pemerinttah Aceh membuat aturan-aturan yang membatasi aktivitas perempuan di malam hari, pada diskusi di Pendopo Gubernur Aceh, Selasa pekan lalu.
Untuk memastikan perlindungan dari tindak kekerasan dan upaya pemenuhan hak perempuan, Suraiya juga menyarankan beberapa hal. Di antaranya melakukan upaya preventif dengan membangun kesaadaran semua pihak untuk berpartisipasi aktif dalam menciptakan kondisi yang aman bagi perempuan, menghadirkan efek jera bagi pelaku, kebijakan penempatan petugas keamanan atau patroli secara reguler di daerah yang diduga rawan kekerasan, serta pemerintah diharapkan dapat menyediakan kebijakan bagi upaya pemberdayaan dan perlindungan perempuan dan anak.
Terkait upaya pencegahan dan penghapusan kekerasan terhadap perempuan, Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak melalui P2TP2A terus mendorong adanya regulasi hukum. Menurut Amrina, pihaknya sudah memasukkan rancangan Qanun Aceh tentang tata cara penyyelesaaian kekerasan terhadap perempuan dan anak. “Usulan ini telah diterima dan menjadi inisiatif DPRA yang masuk Prolega 2018,” timpalnya.[]
Belum ada komentar