Masyarakat Pidie, Aceh, memiliki kebiasaan menyemarakkan malam lebaran Idul Fitri dengan mengadakan festival tet bude trieng dan tet karbet (perang meriam bambu dan karbit_red).
Tradisi tersebut sudah berlangsung sejak puluhan tahun yang lalu, terutama di sejumlah gampong dalam Kecamatan Indrajaya dan Kecamatan Delima. Belum ada informasi yang akurat tentang asal-muasal munculnya tradisi ini.
Festival ini dulunya dilakukan pada malam lebaran Idul Fitri pertama. Namun dalam beberapa tahun terakhir, digelar pada malam hari raya fitrah kedua. Hal ini berlaku setelah adanya lomba gema pawai takbir se-Kabupaten Pidie pada malam pertama Idul Fitri.
Festival Tet Bude Trieng dan Tet Karbet dimulai setelah berlalunya waktu Isya, sekitar jam 9 malam, hingga berakhir menjelang Subuh. Dari beberapa titik lokasi tet bude trieng dan tet karbet di Pidie, yang paling meriah terdapat di Kubang (Indrajaya) – Kongkong (Delima) dan Gampong Aree (Delima) – Garot (Indrajaya).
Suasana berubah menjadi seperti perang. Terdengar suara seperti ledakan bom, yang menggetarkan tanah dan kaca rumah. Suara itu berasal dari lokasi festival yang memanfaatkan bantaran sungai Krueng Baro sebagai arena perang. Kedua belah pihak saling adu meriam bambu dan karbit secara berhadap-hadapan dari kedua sisi bantaran sungai.
Pemuda-pemuda setempat menyulap cincin sumur, drum minyak, dan batang bambu, menjadi meriam. Selain itu, mereka juga ‘perang kembang api’. Tak tanggung-tanggung, donasi yang diperoleh dari masyarakat dan pemuda-pemuda desa yang merantau ke luar untuk membuat festival tersebut bisa mencapai puluhan juta rupiah setiap tahunnya.
Sepanjang ruas jalan Sigli-Garot dipadati kendaraan masyarakat yang berdatangan melihat festival tersebut, bahkan sampai membuat kemacetan panjang. Tidak hanya dari Pidie, penonton juga datang dari luar kabupaten penghasil kerupuk mulieng ini, seperti Pidie Jaya, Bireuen, dan Aceh Besar.[]
Teks & Foto: PM/Oviyandi Emnur
Menyerang lawan di seberang sungai
Belum ada komentar