Pentingnya Strategi Ketahanan Pangan Berbasis Komunitas di Aceh

Pentingnya Strategi Ketahanan Pangan Berbasis Komunitas di Aceh
Webinar ‘Strategi Ketahanan Pangan Aceh dan Inisiasi Komunitas Menghadapi Krisis Pandemi Covid-19’, Rabu (28/10/2020). (Dok. Ist)

PM, Banda Aceh – Wacana pemenuhan pangan berskala keluarga saat ini kian hangat diperbicangkan di tengah masyarakat. Apalagi, kondisi pandemi Covid-19 membuat inisiatif ini lebih menyedot perhatian terutama di kalangan generasi muda.

Menariknya, di Aceh, konsep ketahanan pangan berbasis komunitas memadukan aspek kearifan lokal. Ada pengetahuan yang mengaitkan ketahanan pangan dan mata rantai perputaran ekonomi di dalamnya.

“Pandemik memberi hikmah bagi masyarakat untuk melahirkan inisiatif bercocok tanam dengan berbagai media ini. Karena krisis pangan bisa membunuh manusia lebih dari pandemi itu sendiri,” ujar akademisi UIN Ar-Raniry, Reza Idria dalam webinar ‘Strategi Ketahanan Pangan Aceh dan Inisiasi Komunitas Menghadapi Krisis Pandemi Covid-19’, Rabu (28/10/2020).

Reza tak sendiri. Diskusi virtual yang diadakan Sekretariat Jaringan-Antar-Jaringan (S=JAJAR) ini menghadirkan pembicara Henny Cahyanti (KamiKita Community Centre), Juliani (Aceh Urban Farming Club), Sri Herlina Wati (Kwt Meutuah Tani Gampong Peulanggahan) dan Rubama, tokoh perempuan Gampong Nusa.

Reza Idria mengaku mulai bercocok tanam sejak April 2020 lalu. Ia menamai kebunnya ‘Blok B’. Istilah tersebut sebenarnya sindiran untuk rencana Pemerintah Aceh yang ingin mengembangkan potensi migas sebagai alternatif sumber daya energi. Padahal, menurut Reza, ‘mimpi’ blok migas itu bisa lebih nyata jika pemerintah melihat potensi agraria yang dimiliki Aceh.

“Pengalaman empiris Blok-B saya saja baru berkembang, tiga bulan sudah menghasilkan. Bagaimana jika ini dikembangkan lebih massif dan terstruktur dan selangkah lagi dengan membuka akses pasar,” tutur Reza.

Lain lagi dengan KamiKITA, komunitas asal Gampong Mulia, Banda Aceh. Komunitas yang menaungi para pemuda lintas etnis dan agama ini mengusung konsep pertanian urban (urban farming), tren berkebun di lahan terbatas yang lazim dilakoni masyarakat perkotaan saat ini.

Tak hanya itu, KamiKITA juga mengiringi aktifitas mereka dengan berbagai pelatihan. “Untuk menjaga kekompakan, kita memadukannya dengan kegiatan luar ruangan, seperti kampanye dan riset. Kita juga membuat pupuk kompos, yang merupakan proses daur ulang sampah organik dari sumber pangan,” kata pegiat dari KamiKITA, Henny Cahyanti.

Foto Ilustrasi/JPNN

Juliani dari Aceh Urban Farming Club memaparkan hal serupa. Kegiatan mereka berkutat pada bertukar pengetahuan serta berbagi bibit antar anggota komunitas untuk menjalin silaturahmi. Pembelajaran itu juga mereka kampanyekan melalui sosial media. “Kami bahkan pernah menerima kunjungan komunitas lainnya dari kabupaten lain di Aceh untuk belajar bercocok tanam dengan gaya perkotaan,” kata Juliani.

Dari pengalamannya, Juliani mengatakan bahwa ketersediaan lahan bukanlah kendala untuk berkebun. Atap rumah dan berbagai media lainnya bisa menjadi alternatif. Belakangan, semakin banyak pemuda yang tertarik untuk berpartisipasi di komunitas ini.

“Di grup WhatsApp, sudah ada 44 anggota dari beragam latar belakang mulai dari ibu rumah tangga, aktivis lingkungan, bidan, dosen, pensiunan, petani, pimpinan dayah yang berada di berbagai wilayah Aceh terutama di Banda Aceh,” pungkas Juliani.

Pertanian berbasis komunitas juga telah berkembang di tingkat gampong. Kwt Meutuah Tani Gampong Peulanggahan, salah satunya. Komunitas ini awalnya merupakan inisiatif ibu-ibu di Peulanggahan yang kemudian difasilitasi oleh Pemerintah Aceh. Program pemerintah ini baru menyasar enam komunitas di Banda Aceh. Kwt Meutuah Tani juga melakukan budidaya Ikan Lele, yang memadukan sayuran kangkung dan Lele dalam wadah yang sama sebagai alternatif media bercocok tanam.

Sementara itu di Gampong Nusa, konsep ketahanan pangan berbasis komunitas telah dipraktikkan sejak 10 tahun lalu. Di Nusa, warga memadukan konsep ketahanan pangan dengan reformasi meja makan.

Memanfaatkan media tanam yang ada di sekitar gampong, mereka telah memulai dengan asupan makanan berbahan pangan lokal dari meja makan. Gampong Nusa juga mempromosikan makanan lokal melalui festival dan oleh-oleh khas mereka bagi wisatawan lokal bahkan mancanegara yang berkunjung ke gampong wisata ini. Mengusung semboyan ‘Bangga dengan Kuliner Lokal’, Gampong Nusa terus berbenah hingga bisa mewujudkan ketahanan ekonomi berbasis pangan lokal.

“Gampong Nusa merupakan gerakan berbasis potensi lokal dengan melakukan pemetaan potensi secara partisipatif dan saling memperkuat sesama generasi muda sebagai penerus pembangunan,” tutur pegiat perempuan Gampong Nusa, Rubama. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

WhatsApp Image 2021 03 12 at 18 07 50
Konferensi pers terkait perkara dugaan korupsi program peremajaan sawit rakyat di Provinsi Aceh tahun anggaran 2018, 2019, dan 2020 yang berlangsung di Kejati Aceh. [Dok. Ist]

Kejati Sidik Dugaan Korupsi Permajaan Sawit di Aceh