Pengusutan kasus pajak Bireuen dinilai serba gantung. Hanya terhenti pada satu pelaku dengan kerugian negara Rp27,6 miliar.
Akhir kasus penggelapan pajak Bireuen masih menyisakan tanya. Sempat beredar informasi terjaringnya satu tersangka lagi setelah Bendahara Umum Daerah (BUD) Bireuen Muslem Syamaun terbukti bersalah dan masuk bui. Pekan lalu, Pikiran Merdeka mencoba mengkonfirmasi hal itu ke Polda Aceh. Namun pihak kepolisian membantah adanya tersangka lain.
Kasus yang merugikan negara sebesar Rp27,6 miliar ini disebut telah selesai. Namun sejak vonis pengadilan tingkat pertama saja, kalangan aktivis antikorupsi masih mempertanyakan kelanjutan penanganan kasus tersebut. Vonis terhadap Muslem Syamaun dinilai bukan akhir dari penanganan kasus yang sempat berlarut-larut itu.
Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhlani menyebutkan, tidak masuk akal kalau Muslem Syamaun melakukan korupsi sebesar itu seorang diri. Askhlani meyakini pasti ada keterlibatan pihak lain. Namun, seperti kabar yang diperoleh dari pihak kepolisian, hingga saat ini tidak ada lagi yang diselidiki.
Sekedar kilas balik, pada 18 Januari lalu Mantan Bendahara Umum Daerah (BUD) Pemkab Bireuen Muslem Syamaun divonis 15 tahun penjara, membayar denda Rp500 juta dan mengganti kerugian negara Rp27,6 miliar. Menurut majelis hakim, Muslem terbukti bersalah melanggar Pasal 2 Ayat (1) juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi.
Vonis tersebut hampir dua kali lipat dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU). Dalam dakwaan yang dibacakan JPU Muhammad Razi, Muslem Syamaun hanya dituntut delapan tahun enam bulan penjara. Muslem Syamaun dihukum terkait kasus tunggakan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penghasilan (PPh) Rp15 miliar tahun 2007 dan 2008 sesuai temuan BPK.
Sementara menurut perhitungan dan pemeriksaan oleh tim Kanwil DJP Aceh dan telah diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB) dengan total kerugian kasus ini mencapai Rp51,3 miliar, yaitu Rp27,5 miliar untuk 2007 dan Rp23,8 miliar untuk 2008. Perhitungan itu termasuk denda dan bunga (belum termasuk 2009). Sedangkana hasil audit BPKP menyebutkan kerugian negara sekira Rp28 miliar.
Jauh sebelumnya, Sabtu 8 Januari 2011, mantan BUD Pemkab Bireuen itu pernah ditahan di Polda Aceh. Setelah 19 hari mendekam di sel polisi, tepatnya 25 Januari 2011, penahanan Muslem ditangguhkan atas jaminan keluarganya. Selanjutnya, pada 28 Februari 2011, Polda Aceh melimpahkan Berkas Acara Pemeriksaan tahap pertama kasus itu ke Kejati Aceh. Namun, Tim Pidsus Kejati Aceh menyatakan tidak lengkap dan mengembalikan berkasnya ke Polda. Sejak itu, kasus tersebut tidak jelas penuntasannya.
Sempat terendus media, polisi dan jaksa berbeda persepsi dalam menentukan delik hukum untuk kasus pajak Bireuen. Dalam BAP tahap pertama, polisi menjerat Muslem dalam dua delik. Pertama, tersangka dijerat pasal 2, 3 dan 8 Undang-Undang (UU) No.31/1999 yang ubah dengan UU No.20/2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi Jo pasal 55, 56 KUHP Jo Pasal 64 KUHPidana. Kedua, tersangka dijerat Undang-Undang No.25/2003 tentang pencucian uang.
Sementara menurut Tim Kejati kala itu, delik tindak pidana korupsi tidak ditemukan pada kasus yang menyeret Muslim Syamun. Jaksa berprinsip, kasus pajak Bireuen adalah tindak pidana pencucian uang. Makanya berkas Muslim dikembalikan lagi ke Polda dengan menyatakan belum lengkap yang didahului surat petunjuk (P-18).
Pihak Kejati menilai, polisi tidak berhak mengusut kasus itu. Alasannya, meski kasus itu masuk pencucian uang, tetapi berhubung uang yang dicuci itu hasil pungutan pajak, maka sesuai UU Pajak yang memiliki kewenangan menyelidikinya adalah Penyidik Pengawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Hal itu didasarkan pada Pasal 44 ayat (1) UU No.8 Tahun 1981 tentang HAP. UU tersebut menyatakan penyidikan tindak pidana perpajakan hanya dapat dilakukan oleh PPNS di lingkungan Direktorat Jenderal Pajak (Ditjen Pajak) yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik tindak pidana di bidang perpajakan.
Sekian tahun berlalu, akhirnya Kejati Aceh menerima pelimpahan tahap dua berkas kasus itu pada Agustus 2016. Atas pelimpahan itu, Muslem menjadi tahanan titipan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Aceh sejak 24 Agustus 2016.
Dalam pelimpahan tahap dua itu, Muslem masih saja dijerat dalam dua delik hukum, yakni Pasal 2 Ayat (1), Pasal 3 dan Pasal 8 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan korupsi jo Pasal 64 KUHP. Muslem juga dijerat Pasal 3 Ayat (1) huruf a, b, dan c UU Nomor 15 Tahun 2002 sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 25 Tahun 2003 tentang tindak pidana pencucian uang juncto Pasal 64 KUHP.
Atas putusan tersebut, Muslem bersama pihak kuasa hukumnya mengajukan banding. Hasilnya, pada bulan Maret lalu, majelis hakim Pengadilan Tipikor Banda Aceh yang diketuai Nurlela Katun SH MH dibantu dua hakim anggota, Maratua Rambe SH MH dan Sudirman SH MH, pada 22 Maret silam memvonis Muslem Syamaun dari yang sebelumnya 15 tahun menjadi 6,5 tahun penjara. Muslem didenda Rp300 juta yang bisa diganti dengan kurungan tambahan (subsider) satu tahun, serta kewajiban membayar uang pengganti (UP) Rp 8,8 miliar.
Tak ada keputusan apapun yang menyebutkan keterlibatan pihak lain. Padahal, dalam pemeriksaan di kepolisian, Muslem pernah mengaku adanya keterlibatan beberapa staf BUD Kabupaten Bireuen. Selain dugaan keterlibatan staf BUD, dalam proses pengusutan oleh penyidik Polda Aceh juga terungkap bahwa sebagian uang pajak itu dipinjamkan kepada sejumlah orang oleh Muslem Syamaun. Setidaknya, ada 24 nama sempat disebut-sebut sebagai peminjam uang tersebut. Polisi juga sempat menyelidikinya. Namun, hasil pemeriksaan itu tidak ditindaklanjuti hingga Muslem dijatuhi vonis di Pengadilan Tipikor Banda Aceh, 18 Januari 2017.
PENCABUTAN KASASI
Petugas Pengadilan Tipikor Banda Aceh yang ditemui Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu, memperlihatkan satu bundelan berkas terkait kasus pajak Bireuen. “Ini perkembangan terakhir kasus penggelapan pajak Bireuen yang bulan Mei lalu sudah turun bandingnya,” kata pegawai itu.
Dalam dokumen arsip tersebut tertulis perkara dengan Nomor 28/pid.sus.TPK/2016/PN-BNA dengan identitas terdakwa Muslem Syamaun. Di situ dijelaskan amar putusan banding Muslem di Pengadilan Tinggi Tipikor Banda Aceh.
Dari dokumen itu pula diketahui, usai keluarnya hasil banding untuk Muslem Syamaun menjadi 6,5 tahun penjara, pihak Jaksa Penuntut Umum mengajukan Kasasi pada 10 Mei 2017. Namun, kasasi itu kemudian dinyatakan dicabut pada 22 Mei 2017.
Sementara itu, Kepala Penerangan Hukum (Penkum) dan Humas Kejati Aceh Amir Hamzah SH mengaku tidak tahu menahu perihal pengajuan kasasi itu. “Saya harus pastikan dulu pada Jaksanya, apakah ada diajukan atau tidak,” katanya.
Hingga berita ini diturunkan, Amir Hamzah belum dapat memberi ketarangan yang pasti terkait pengajuan dan pencabutan kasasi tersebut.
RAPOR MERAH PERADILAN
Rendahnya vonis pada banding terdakwa kasus penggelapan Pajak Bireuen, Muslem Syamaun ini menuai tanggapan negatif. Peneliti Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Bidang Hukum dan Politik, Sari Yulis menuturkan, pertimbangan serta putusan hakim di tingkat banding tidak mencerminkan prinsip independen dan imparsial. Keputusan yang disampaikan hakim pada saat itu dianggap tidak objektif. “Banyak yang tidak logis,” kata Sari Yulis.
Yang ia maksud adalah pertimbangan hakim yang menyatakan bahwa hukuman 15 tahun dalam pengadilan tingkat pertama dianggap terlalu berat bagi terpidana. Selain itu, alasan keringanan lain yang disampaikan hakim terkait niat baik terdakwa yang mengembalikan uang negara Rp4,1 miliar.
Pengembalian kerugian negara, sebut Yulis, seharusnya tidak meruntuhkan hak terdakwa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan pidana, dalam istilah hukum dikenal adanya niat jahat (mens rea) yang menjadi dasar pertimbangan di ranah pidana. “Karena kita berangkatnya dari mens rea tadi. Dari keinginannya untuk melakukan kejahatan. Jadi, dia dihukum karena keinginan itu,” ujarnya.
Di sisi lain, MaTA menyesalkan pihak kepolisian yang tidak mampu mengungkap keterlibatan tersangka lain. Sejak awal kasus ini mencuat, sebagian besar aktivis antikorupsi yakin uang itu tidak hanya dinikmati seorang diri. Sari Yulis meragukan pengakuan para peminjam dalam persidangan yang sama sekali tidak tahu bahwa uang itu hasil penyelewengan pajak.
“Semua statement kita waktu itu selalu mempertanyakan tentang aliran dananya. Namun kecenderungan itu hanya tertuju pada satu orang, follow the money-nya tidak ada. Tidak mengkuti aliran uangnya sama sekali. Pola semacam ini sering sekali terjadi dalam proses penyelidikan korupsi di Aceh,” beber Sari Yulis.
Mengenai kabar adanya pencabutan kasasi oleh pihak JPU, ia menilai tidak wajar jika jaksa tidak berupaya mempertahankan dakwaannya dalam kasus tersebut. Sepengetahuannya, pencabutan kasasi hanya ada pada perkara perdata, bukan pidana.[]
Belum ada komentar