Jakarta—Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) mendukung upaya pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk memajukan brand ‘kopi Indonesia’. Seperti diketahui,Indonesia merupakan salah satu yang terbaik di dunia dan juga memilki varian yang beragam.
Ketua Forum Dialog Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Anggawira menuturkan,sebagai salah satu di antara 10 komoditas unggulan penyumbang devisa negara, kopi telah menjadi simbol yang melekat bagi Indonesia yang merupakan produsen kopi terbesar di dunia setelah Brazil dan Vietnam.Diperlukan kerjasama kontrukstif antara pemerintah! dunia usaha maupun petani untuk memajukan brand kopi Indonesia.
“Untuk itu HIPMI bersama stake holder berkomitmen mendorong peningkatan produksi kopi nasional dengan melakukan kerja sama baik dari hulu hingga hilir, program intersifikasi yang meliputi beberapa langkah,” ujar Anggawira di Jakarta, Kamis (12/9/2013).
Upaya untuk mendorong produksi kopi nasional itu, kata Anggawira, antara lain dilakukan dengan pemberian pupuk yang ramah lingkungan dengan harga terjangkau bagi para petani. Selain itu, penggantian tanaman tua dengan tanaman bibit unggul yang diberikan secara gratis kepada petani, dan penyuluhan kepada petani untuk melakukan budidaya kopi dengan benar.
Sementara itu, program ekstensifikasi dilakukan dengan cara pembukaan lahan baru untuk kopi arabika pada lahan-lahan yang sesuai seperti di Aceh Tengah (Aceh), Cangkringan (Yogyakarta), Tana Toraja (Sulawesi Selatan), Flores dan Papua.
“Dan yang tidak kalah penting mendorong terciptanya merek-merek lokal yang mampu bersaing dilevel internasional, karena kopi saat ini sudah menjadi tren dan bagian dari gaya hidup,” ujar dia.
Anggawira mengatakan, luas areal produktif perkebunan kopi Indonesia dewasa ini mencapai 950.000 hektar (ha) dari luas areal perkebunan kopi sebesar 1,3 juta ha. Namun di bandingkan dengan negara lain, tingkat produktifitas kopi Indonesia masih sangat rendah, yakni hanya mencapai 2 ton kopi per ha.
Bandingkan dengan Vietnam yang sudah mencapai 3 ton per ha. Bahkan Brazil, mampu memproduksi hingga 4 ton per ha.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat defisit neraca perdagangan hingga Juli 2013 mencapai US$ 2,31 miliar. Dengan demikian, secara kumulatif dari Januari hingga Juli neraca perdagangan defisit US$ 5,65 miliar. Defisit ini terbesar sepanjang sejarah.
Anggawira mengatakan, tanpa teroboson untuk mendorong ekspor dan mengurangi impor secara bertahap, Indonesia akan terperangkap dalam ketimpngan pembayaran dan akan memicu penurunan nilai mata uang secara permanen dan mendorong terciptanya hutang luar negeri baru.
Namun, ironisnya, katanya, ekspor Indonesia belum didorong oleh produk-produk yang bernilai tambah. Skspor Indonesia masih didominasi oleh barang-barang komoditas. “Kedepan memang perlu strategi untuk peningkatan nilai tambah, keunggulan kompetitif dan komparatif kita harus dimaksimalkan, sehingga memungkinkan terciptanya surplus,” pungkasnya.[kbc]
Belum ada komentar