Pengungsi Rohingya Menjalani Puasa dalam Keterbatasan

Polisi Resort Aceh Utara mencegah Pengungsi Rohingya di Tampungan sementara (selter) Blang Ado, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, Selasa, (29/09/2015), yang mencoba melarikan diri.
Polisi Resort Aceh Utara mencegah Pengungsi Rohingya di Tampungan sementara (selter) Blang Ado, Kecamatan Kuta Makmur, Aceh Utara, Selasa, (29/09/2015), yang mencoba melarikan diri.

Setelah setahun di Aceh, para pengungsi Rohingnya mulai merasa kurang perhatian, terlebih mereka tidak diizinkan bekerja untuk mencari nafkah.

Rasa kebersamaan membuat 103 pengungsi Rohingnya masih betah menjalani hidup di Kamp Pengungsian Birem Bayeun, Kecamatan Rantau Selamat, Aceh Timur. Terlihat saat mereka sama-sama menyiapkan menu berbuka puasa di dapur umum barak pengungsian itu, Jumat (17/06/16).

Sore itu, sejumlah pemuda etnis Rohingya asal Myanmar tersebut mempersiapkan menu berbuka puasa berupa kari ikan dalam kuali besar.

Muhammad Rafiq (17), salah satu dari mereka berujar, ia dan pengungsi Rohingya lainnya merasa sangat senang menjalani ibadah puasa di Aceh, walau seringnya harus berbuka puasa dengan menu seadanya.

Muhammad Rafiq muslim Rohingya asal Mondo, Arrakan, Myanmar. Ia mengaku indahnya beribadah puasa di kamp pengungsian di Aceh, Indonesia. Tidak seperti di negeri mereka yang tertintimidasi akibat tragedi pembantaian etnis Rohingya muslim sejak 2012.

“Di negeri sendiri kami harus selalu harus berurusan dengan para penganut Budhis, terkadang kenyamanan kami berpuasa selalu terusik oleh mereka yang benci kami sebagai umat Islam,” kata Rafiq kepada Pikiran Merdeka.

Rafiq menambahkan, mereka benar-benar nyaman menjalani ibadah puasa di Aceh. Setelah berbuka puasa bersama, mereka melaksanakan shalat magrib berjamaah dilanjutkan dengan shalat tarawih bersama.

Ia biasanya juga menjalani tadarus Alquran bersama teman-teman dan anak-anak di masjid di kamp pengungsian yang dibangun IOM (Organisasi Internasional untuk Pengungsi) itu.

Dengan nada sedih, Muhammad Rafiq kepada Pikiran Merdeka mengatakan, iasangat merindukan orang tuanya, ayahnya Muhammad Sadeq dan ibunya Toyaba Begom.

“Saya rindu dan ingin sekali berkumpul bersama orangtua saya yang saat ini masih berada di Desa Mondo, Arrakan, Myanmar. Entah bagaimana kedua orang tua saya di sana menjalani ibadah puasa,”  tuturnya dengan air mata berlinang.

Minim Bantuan

Amatan Pikiran Merdeka, pengungsi Rohingnya yang masih menetap di Kamp Pengungsian Birem Bayeun Aceh Timur, menjalani ibadah puasa tidak serupa sebagaimana tahun sebelumnya.

Tahun lalu, mereka menerima banyak makanan dan minuman dari donatur. Berbalik dengan kondisi Ramadhan tahun ini. Mereka untuk persiapan berbuka saja, mengandalkan segelas air manis yang tidak ditemani kue dan menu lainya.

“Setelah shalat magrib kami langsung menyantap nasi dengan lauk seadanya,” kata Muhammad Amin (17) dengan bahasa Indonesia terbata-bata.

Menurutnya, saat ini bantuan dari IOM datang sepekan sekali, sedangkan donatur lokal sudah jarang mengantar makanan ke lokasi pengungsian. Kondisi itu diperparah dengan kebijakan Pemerintah Indonesia yang tidak mengizinkan mereka bekerja di negara tempat mereka mengungsi.

“Jika kami bisa bekerja tentu kami akan lebih nyaman lagi menjalani ibadah puasa dan bisa berhubungan melalui telepon dengan sanak saudara yang masih di negeri kami. Sekarang kalau kami telepon ke kampung kami bisa menghabiskan pulsa Rp200 ribu per tiga menit,” ujar Muhammad Amin.

Diungkapkan, Muhammad Amin dan teman-temannya di Kamp Pengungsian Bireun Bayeun ingin sekali berangkat ke Amerika Serikat. “Ada enam teman kami saat ini sudah berada di Amerika yang difasilitasi oleh IOM,” sebut Muhammad Amin.

TANGGUNGJAWAB INTERNASIONAL

Para pengungsi Rohingya dan Bangladesh terdampar di perairan Aceh pada 10, 15, 16 dan 20 Mei 2015. Dengan jumlah saat itu mencapai 1.722 jiwa, terdiri dari 1.239 laki-laki, 244 jiwa perempuan, dan 238 jiwa anak-anak.

Mereka ditempatkan di kamp pengungsian yang tersebar di empat daerah, yaitu sebanyak 682 jiwa di Kota Langsa, 560 jiwa di Aceh Utara, 433 jiwa di Aceh Timur, dan 47 jiwa di Aceh Tamiang.

Pemerintah Indonesia saat itu melalui Menteri Sosial Khofifah Indah Parawansa, menyatakan, menjamin kebutuhan hidup para pengungsi Rohingya yang tersebar di Aceh selama satu tahun. Setelah itu, kehidupan mereka sudah menjadi tanggung jawab komunitas internasional.

Menurut Khofifah, persoalan pengungsi Rohingya tidak semata tanggungjawab Pemerintah Indonesia, tapi juga menjadi persoalan global, termasuk PBB dan negara-negara yang sudah menandatangani Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi.

Sepanjang satu tahun berjalan, pihaknya berkomunikasi dengan komunitas internasional dalam penanganan kebutuhan pengungsi, seperti UNHCR dan IOM.

Sementara itu, sebagian dari total migran di Aceh, dinyatakan separuhnya merupakan migran ekonomi dari Bangladesh, sementara sisanya pengungsi Rohingya yang melarikan diri dari penindasan etnis di Myanmar. Demikian menurut Kementerian Luar Negeri Indonesia yang mengutip hasil verifikasi Badan Pengungsi PBB (UNHCR).

Para pengungsi yang tersisa di Aceh kini, sembari menanti pemberian suaka dari berbagai negara pemberi suaka, mereka mengisi hari-hari dengan sejumlah aktivitas. Namun, mereka tidak bisa bekerja secara legal karena status kewarganegaraan yang tidak jelas.

Di di Kamp Pengungsian Birem Bayeun sendiri, saat ini tersisa 103 pengungsi Rohingya muslim  dari total 433 orang saat pertama kali mereka ditampung pada Mei 2015. Dari yang tersisa itu, terdapat 17 keluarga dan 20 anak-anak.

Mereka semua betah di Aceh. “Jika kami bisa bekerja di Aceh untuk mencari nafkah serta menetap di Aceh, kami tidak akan memilih negara lain sebagai tujuan kami, karena disini mayoritas penduduknya muslim, serta masyarakatnya baik,” nilai Muhammad Rafiq.

Harapan mereka, para pengungsi Rohingnya di Kamp Pengungsian Birem Bayeun, memohon uluran tangan para donatur untuk membantu mereka seperti tahun sebelumnya, terutama menjelang Harai Raya Idul Fitri 1437 H.

“Berikan kami pakaian, makanan dan keperluan lainya saat menjalani ibadah puasa dan menjelang Idul Fitri. Selama ini kami mendapat pakaian celana pendek yang tidak dapat kami gunakan untuk shalat,” pungkas Muhammad Rafiq.

Sementara itu, di Blang Adoe, Aceh Utara, hingga Mei 2016, tersisa 75 pengungsi Rohingya. Ada sekitar 6 bayi yang lahir di kamp tersebut. Selebinya dinyatakan melarikan diri, di antaranya ke Malaysia melalui agen tenaga kerja.

Dari jatah setahun, para pengungsi yang tersisa di Aceh, kata Isa Anshari Ketua Penampungan Pengungsi Rohingya di Aceh Utara yang juga Sekdakab Aceh Utara kepada media, mereka masih diberikan izin tinggal sementara di Aceh selagi menunggu proses verifikasi dan penempatan di negara ketiga.

Terkait pengungsi yang kabur, ada petugas Kantor Imigrasi Langsa dan relawan di kamp pengungsian Birem Bayeun meyakini, pelarian mereka disebabkan oleh tidak-adanya kegiatan yang dapat menghasilkan uang selama tinggal di Aceh.

Kondisi itu membuat mereka mudah terpedaya ketika dijumpai agen yang bisa membawa mereka ke Malaysia lewat jalur tidak resmi. Solusi lain, Pemerintah Aceh sempat berkeinginan menyatukan para pengungsi Rohingya ke satu lokasi, sehingga mudah dikontrol. Saat ini, pemerintah masih mengupayakan campur tangan komunitas internasional.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Tidak Ditahan, Anah Buah Raja Rimba yang Menyerah
Nasrus alias Kleung saat memberi keterangan kepada pihak kepolisian di Mapolres Aceh Timur (istimewa).

Tidak Ditahan, Anah Buah Raja Rimba yang Menyerah