Transportasi publik dinilai sebagai satu-satunya solusi atas kesemmerautan parkir sekaligus mengurangi kemacetan arus lalu lintas di Banda Aceh.
“Penumpang Trans Kutaradja turun di halte depan komplek Barata, lalu melanjutkan perjalanannya menuju pusat perbelanjaan Pasar Aceh. Mereka enjoy berjalan, sebab difasilitasi dengan lintasan pejalan kaki dan atap pelindung yang membuat mereka merasakan sensasi berjalan di kota tua.”
Begitulah bayangan Caisarina, dosen Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Syiah Kuala jika Kota Banda Aceh memiliki lintasan pejalan kaki yang bagus dan nyaman serta memiliki nilai estetika. Menurut Irin, begitu ia akrab disapa, Jepang saja butuh puluhan tahun untuk mengubah kebiasaan menggunakan kendaraan pribadi.
Salah satu cara agar masyarakat arif dengan angkutan umum, jelas Dosen Arsitektur itu, harus menerapkan aturan yang tegasnya. Tapi harus mengedukasi, mensosialisasikan, mengaplikasi, lalu menerapkan sanksi.
Meski merapikan kota Banda Aceh diibaratkan seperti merapikan ‘lingkaran setan’ namun tetap harus dimulai. ”Kapan lagi kita mau rapikan kota Banda Aceh?” ujarnya dengan nada bertanya, saat dijumpai Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu..
Ia menganjurkan, untuk pekerja kantoran yang sudah berkeluarga, jika tetap harus menggunakan angkutan pribadi, bisa menerapkan sistem droop off. Suami bisa mengantarakan anak ke sekolah dan mengantarkan istrinya ke kantor yang berbeda.
“Ketika jam sekolah harus menjemput anak, di sinilah peran pemerintah untuk bisa menyediakan angkutan antar jemput, baik itu milik pemerintah atau milik swasta yang bisa dipergunakan masyarakat. Intinya, tak perlu satu rumah membawa kendaraan lebih dari satu,” sarannya.
Problem negara berkembang terletak ketika masyarakatnya tidak bisa megandalkan angkutan umum. “Saya sarankan, seperti kota Banda Aceh ini harus cari solusi mencari lahan parkir,” katanya.
Ia mengatakan, subsidi pemerintah terhadap transportasi umum,Trans Kutaradja, tetap harus disyukuri. Hanya saja, pembiasaaan menggunakan angkutan tersebut dengan card juga sudah harus dimulai.
Sosialisasi pengguna Trans Kutaradja yang tidak membayar cas sebenarnya sudah dimulai. Tiap penumpang diharapkan memiliki kartu Brizi untuk swipe atau gesek, guna membayar satu rupiah.
“Yang naik angkutan umum di Banda Aceh masih masyarakat menengah ke bawah. Mereka harus dibiasakan swipe card. Satu rupiah sekali gesek, tidak berarti apa-apa. Tapi kebiasaan guna mengedukasikan masyarakat untuk menggunakan card itu yang penting,” jelasnya.
Saat ini, lanjut Iren, sistem sosialisasi, edukasi dan implementasi di Pemerintahan Kota Banda Aceh yang belum berjalan. “Tidak mungkin smart city itu berjalan, jika masyarakat tidak dibiasakan dengan edukasi yang benar,” tegasnya.
Ia bercerita, ketika seorang anak temanya yang tinggal di daerah Darussalam menggunakan Trans Kutaradja untuk bersekolah ke daerah kota. Ia sudah menyiapkan kartu Brizi dengan niat akan sering menggunakan jasa angkutan tersebut. Tapi, saat masuk dan ingin melakukan swipe card si anak tak dianjurkan untuk melakukan itu, dengan alasan masih free.
“Bukan duit masuk dari swipe itu yang kita inginkan, tapi pembiasaan, dan sosialisi pembayaran tanpa cas. Dan operatornya juga bisa menghitung berapa orang yang naik angkutan tersebut lewat pembiasaan swipe itu,” terangnya.
Pada kesempatan yang sama, Dosen Teknik Sipil bidang Transportasi, Lulusi mengatakan, cara untuk mengurangi kemacetan akibat angkutan pribadi juga bisa dikonektifkan antara pemerintahan kota dengan universitas setempat terkait kebijakan kampus, supaya mahasiswa angkatan pertama tidak diperbolehkan membawa kendaraan bermotor.
Ia melihat kebijakan yang selama ini coba diterapkan niatnya masih belum terlalu serius. “Seharusnya, satu kebijakan yang mau ditegakkan harus ada perencanaan, edukasi, implementasi dan pemaksaan tegas,” katanya.
Jika kebijakan pemerintah ingin meningkatkan pengguna angkutan umum seperti Trans Kutaradja, maka tidak bisa kalau tidak dibarengi dengan kebijakan yang lain. Tpadahal, objek dari Trans Kutaradja adalah mahasiswa dan pelajar. “Bila objeknya mahasiswa dan pelajar, maka bekerjasamalah dengan pihak kampus. Kebijakan dari kampus bisa menggiring mahasiswanya untuk tidak menggunakan angkutan prbadi. Dengan catatan akses angkutan umum tidak hanya berada di jalan utama,” sebutnya.
Ia mengatakan, untuk sebuah kota kecil seperti Banda Aceh, kemacetan di jam tertentu itu tetap masuk katagori macet dan harus dicari solusinya.
Diakuinya, mengubah satu kebiasaan bukan seperti membalikkan telapak tangan. Penggalakkan regulasi tidak menggunakan angkutan pribadi akan menjadi kebiasaan bila sudah dimulai dari pelajar dan mahasiswa.
Di negara luar, kisah Lulusi, untuk menekan keinginan menggunakan kendaraan pribadi, mereka sengaja meninggikan biaya parkir pada jam-jam sibuk. Katanya, untuk bisa menjalankan regulasi seperti itu Banda Aceh memerlukan SDM yang bagus serta fasilitas yang baik pula.
Sebenarnya sudah ada sekolah yang menerapkan aturan berjalan kaki bagi siswanya, dan tertip berlalu lintas. Tapi kebiasaan itu tidak berkesinambungan seiring dengan tingkatan pendidikannya. “Namanya kayak kita ngaji. Kalau ndak kaji ulang, apa tak gagok kita?” selorohnya.
Salah satu kota tua di Indonesia yang sudah mulai menerapkan tidak ada parkir di badan jalan, yaitu kawasan Malioboro, Yogyakarta. Daerah CBD itu kini hanya bisa dilalui kendaraan dan para pejalan kaki. Sedangkan untuk parkir, pemerintah setempat mengarahkan ke belakang jalan yang cukup jauh dari area CBD.
Ia juga mengkritik cara pemberian izin berdirinya tempat publik, seperti rumah sakit atau hotel. Tak ada peninjauan awal terkait luas wilayah dan dampaknya terhapap lalu lintas dan lingkungan. “Sebelum beri izin, perlu ada pengkajian berapa volume parkirnya. Tak bisa sembarang beri izin,” kata Dosen Transportasi Fakultas Teknik Unsyiah itu.
Daerah seperti wilayak CDB kota Banda Aceh juga bisa menerapkan tak ada parkir di badan jalan. Salah satu caranya, memperluas area pejalan kaki lengkap dengan peneduhnya. “Saya melihat, ketika pemerintah kota mau bangun halte, gerbang, atau tugu, itu semangat sekali mencari dana. Padahal area pedestrian atau pejalan kaki yang dibuat estetik juga bagus dan akan menarik banyak perhatian. Tentunya ini akan mengurangi kemacetan, karena banyak yang memilih jalan kaki,” katanya.
Ia mencontohkan, di Australia saja yang menggunakan transportasi umum sudah dihitung dengan tingkat obesitas masyarakat. Masyarakat yang memilih menggunakan angkutan umum akan memiliki kesempatan berjalan kaki dari halte menuju tempat kerja dengan tingkat obesitas rendah.
Selain itu, kebiasaan berjalan kaki 300 hingga 400 meter di luar negeri itu masih tergolong wajar.Tapi itu juga dibarengi dengan peneduh.
Mengurangi kapasitas parkir juga harus progresif. Tidak bisa membayar dari pagi hingga sore hanya Rp2.000. “Sepeti di Penang, kita mikir ulang untuk bawa kendaraan pribadi. Sebab biaya parkir satu jam pertama di wilayah CBD terus naik. Begitu pula di Jakarta, sudah ada penelitiannya, warga Jakarta menghabiskan 30 persen pendapatannya untuk tranportasi pribadi. Belum untuk yang lain,” katanya.
Kota Banda Aceh, mulanya memang tidak memiliki tata ruang, sehingga bangunan bebas berdiri di mana saja. Solusi ke depan, ia mengatakan harus ada analisa dampak lingkungan sebelum mendirikan sebuah bangunan.
Khusus kawasan Balai Kota Banda Aceh, menurut dia, untungnya bukan jalan yang memiliki trafik tinggi meskipun kendaraan pribadi parkir di badan jalan. Resolusi paling mudah saat itu, menurutnya, cari lahan untuk bisa menampung parkir di wilayah CBD itu, sehingga tak ada lagi yang parkir di badan jalan.
“Saya ingat, teman saya dari Jepang pernah bilang, meskipun kota Banda Aceh kecil, tingkat kemacetannya tetap harus diatasi. Jepang butuh puluhan tahun untuk bisa seperti sekarng, jadi Banda Aceh harus bekerja keras untuk mengatasi kemacetan,” tutupnya.[]
Belum ada komentar