Mengendapnya dana Pemerintah Aceh di Bank Aceh sebesar Rp4,95 triliun, menimbulkan keprihatinan dari berbagai pihak. Salah satunya pengamat perbankan, Dr Amri. Ia berpendapat, penumpukan dana pemerintah ini menyebabkan lambatnya perputaran ekonomi di masyarakat Aceh.
“Kalau realisasi APBA lambat, otomatis pembangunan terhambat, dan uang tidak ada di masyarakat. Ini pula yang membuat tingkat kemiskinan semakin tinggi di Aceh. Tingkat kesejahteraan menurun karena tidak ada uang. Jadi, luas sekali dampak dari penimbunan uang pemerintah itu,” kata Amri saat dihubungi Pikiran Merdeka, Sabtu (28/10) pekan lalu.
Baca: Tumpukan Uang Daerah di Bank Aceh
Ia meminta Pemerintah Aceh harus merealisasikan secepatnya program kerja agar uang tidak menumpuk sebanyak itu. Karena, hal ini kian paradoks dengan kondisi ekonomi Aceh saat ini.
“Yang merealisasikan anggaran ini kan SKPA. Tolonglah secepatnya merealisasikan anggaran. Karena ini juga sudah tinggal dua bulan lagi. Jangan jadi SiLPA nanti,” ujar akademisi Unsyiah ini.
BANK ACEH CARI AMAN
Sehubungan dengan kebijakan Bank Aceh yang memilih menempatkan dana tersebut di Bank Indonesia dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) atau surat berharga, Amri menilai Bank Aceh tidak berpihak pada masyarakat. Dana tersebut, lanjut dia, seharusnya disalurkan untuk menghidupkan sektor riil di Aceh.
“Kalau di-SBI-kan berarti bank cari aman, ingin nyaman, tidak mau ada risiko. Yang seperti inilah yang menyebabkan pertumbuhan ekonomi rendah. Bank Aceh kan seharusnya meningkatkan ekonomi Aceh. Apalagi sudah jadi Bank Syariah, porsi untuk masyarakat di Aceh itu harus lebih besar peruntukannya,” tukas Amri.
Gentarnya Bank Aceh menyalurkan dana untuk kredit produktif, juga menandakan bank milik Pemerintah Aceh ini mesih belum mampu menanggulangi risiko. “Seharusnya, ada kebijakan dari Sekda Aceh selaku Komisaris Bank Aceh, untuk hidupkan sektor riil. Lalu harus diawasi. Semua komponen masyarakat harus ikut andil, itu kan bank kita, rakyat Aceh,” tandasnya.[]
Bank Aceh Hanya Imbangi Likuiditas
Bank Aceh berdalih, penempatan uang dalam bentuk Sertifikat Bank Indonesia (SBI) semata-mata untuk mengimbangi likuiditas, bukan mencari untung dengan cara aman.
Humas Bank Aceh, Amal Hasan menjelaskan, kebijakan pihaknya menempatkan dana Rp4,95 miliar ke Bank Indonesia dan sebagian bank lain dilakukan dengan berbagai pertimbangan. Menurut dia, sudah lazim jika bank selalu melihat karakteristik dana.
“Tidak mungkin dana jangka pendek ditempatkan di jangka panjang. Nah, dana jangka pendek ini seperti apa? Mudah sekali membaca itu dalam sebuah laporan keuangan. Dana jangka pendek itu, giro contohnya. Ini seluruh bank tentu tak bisa menggunakan dana giro itu untuk disalurkan ke pembiayaan.
Karena, Giro itu sewaktu-waktu dapat ditarik kapan saja. Sehingga ini yang jadi patron bagi bank untuk menjaga likuiditas guna menutupi kebutuhan si pemilik dana setiap saat,” papar Amal saat dijumpai Pikiran Merdeka di ruang kerjanya, Jumat (27/10) pekan lalu.
Untuk dana jangka pendek, sebut dia, medianya ada dua, yakni dana cadangan yang wajib ditempatkan di BI, yang disebut giro wajib minimum. “Artinya, ada atau tidak ada masalah, uang itu harus ditempatkan di Bank Indonesia. Karena ini sebagai antisipasi kalau nanti diperlukan dana saat likuiditas terganggu,” ujar Amal.
Untuk penyimpanan uang sebagai upaya mengimbangi likuiditas, pihak bank juga merujuk pada siklus arus dana. Sumbernya seperti giro, tabungan, deposito, dan kewajiban lainnya. Sekian persen dari jumlah total sumber itu diperuntukkan menjadi kas bank yang wajib tersedia agar tidak terjadi gangguan.
“Media lainnya yang disediakan oleh regulator guna menjaga likuiditas, adalah SBI (Sertifikat Bank Indonesia). Penempatan dana untuk SBI, tidaklah bertujuan untuk investasi. SBI juga sebagai mekanisme pengelolaan keseimbangan likuiditas,” tegas Amal.
Sedangkan untuk pembiayaan, tambah dia, itu menyangkut dengan dana jangka panjang. “Kalau kredit ini kan rata-rata kita ambil, antara satu sampai 10 tahun. Ini sangat panjang, sementara kalau giro itu setiap saat bisa ditarik. Tabungan juga setiap saat, deposito juga setiap saat bisa ditarik sesuai dengan jangka waktu,” ujarnya.
Amal mencontohkan, jika ada dana Pemda sebesar Rp1 triliun, maka itu harus segera disimpan pihak bank ke Bank Indonesia seluruhnya. “Karena kebutuhannya cepat sekali, begitu Pemda butuh pembayaran untuk pihak ke tiga, pada saat itu juga harus ada. Jadi maksud saya, yang jangka pendek ini tidak mungkin disalurkan ke yang lain, tidak bisa,” jelas Amal.
Untuk tabungan nasabah, sambungnya, dalam sistem manajemen aset rata-rata bank itu berbeda. Amal menyebut tabungan biasanya 10 hingga 40 persen itu kecenderungannya akan mengendap lama.
“Misalkan anda memang punya tabungan yang tujuannya untuk disimpan. Ada tabungan yang tujuannya utuk di bisnis, untuk spekulasi, dan ada yang untuk investasi. Jadi inilah nanti yang bisa digunakan dari jumlah ini sekitar 30 persen yang kita prediksi itu jangka waktu endapannya itu sampai 1-10. Dana ini lah yang bisa kita salurkan ke kredit. Karena ini sesuai dengan jangka panjang dari tabungan,” papar Amal.
Demikian juga dengan deposito. Pihaknya akan hitung ini dari karakterisitik historical data, “Ini kira-kira yang ada di deposito kita ini betul-betul nasabah yang uang memang disimpan untuk tidak dipakai-pakai itu ada berapa persen. Misal dari yang kita liat jejak rekamnya ada sekitar 40 persen, yang siklus endapannya itu 1 sampai 10 tahun. Nah, inilah yang bisa kita pakai untuk pembiayaan.”
Amal mengaku pihak bank memang ketat dalam menakar risiko. Apa yang kemudian disebut LDR (Loan Deposit Ratio) telah dibatasi oleh BI tidak boleh melebih 125 persen. Artinya, jumlah dana yang ada itu dibagi dengan jumlah kredit, tidak boleh lebih dari 125.
“Misal uang kita 100, kita salurkan untuk kredit sampai melebihi 100 persen, maka kita tak akan mampu memenuhi kewajiban yang pada saat itu jatuh tempo atau ditarik oleh pemiliknya,” imbuh Amal. Ia kembali menegaskan, SBI ini hanya instrumen sementara dan fasilitas yang dibuat regulasi untuk manajemen likuiditas.
Amal menampik tudingan bahwa pihak Bank Aceh terkesan abai terhadap pembiayaan di sektor produktif. Semua bank memiliki ukuran standar yang sama di dalam mengelola keuangannya. Artinya, risiko harus benar-benar diperhitungkan. “Jika bank lebih dominan di satu sektor, tidak serta merta menjadi justifikasi bahwa bank itu tak terlibat di sektor lainnya,” katanya.
Minimnya penyaluran ke sektor riil yang produktif, dikatakan Amal hal itu dikarenakan memang tidak ada unit usaha yang memenuhi kriteria selama ini. “Maka jika hari ini kita minta data mana UKM di Aceh yang sudah sesuai dengan kriteria, ya tidak ada. Jadi kita bicara fakta saja, bahwa pangsa pembiayaan uang yang beredar di Aceh, pangsa kreditnya itu sekarang hampir 50 persen Bank Aceh yang lakukan. Maka kalau dikatakan Bank Aceh tidak berperan, mustahil. Sekrang sudah ada 12 triliun Bank Aceh sudah salurkan pembiayaan,” ujar Amal.
Kredit konsumtif pun menurutnya terdapat multiplier effect. “Dan tidak ada yang salah dengan itu. Karena usaha produktif yang mau kita rangkul juga tidak ada. Kalau bicara ya banyak. Mana sektor riil di Aceh? Tidak ada kecuali kontraktor. Nah ini kan persoalan. Sepanjang industri tumbuh, itu kita akan masuk. Dibuka pun zona industri tak hidup,” klaimnya.[]
Belum ada komentar