Pendidikan Aceh Hilang Kiblat

Pendidikan Aceh Hilang Kiblat
Pendidikan Aceh Hilang Kiblat

Dunia pendidikan Aceh kerap ditarik masuk ke dunia politik. Sanggupkah pemerintah baru mengubahnya?

Secara nasional, pendidikan Aceh masih sangat tertinggal. Tak sepadan dengan anggaran besar yang justru seharusnya menempatkan Aceh pada garda depan pendidikan nasional. Parahnya, kata Direktur Center for Community Development and Education (CCDE) Banda Aceh, Tabrani Yunis, Aceh masih bergulat pada pencarian ke mana arah pendidikannya akan berjalan. Berada di dua tuntutan, yakni kurikulum pendidikan nasional, sembari juga harus menyusun konsep pendidikan syariat islam. “Bisa tunjukkan mana konsep islami yang dimaksud? Saya tidak melihat itu sampai sekarang,” ujar Tabrani, Rabu pekan lalu.

Yang ia duga, Aceh tengah mengalami disorientasi kiblat pendidikan dan tujuan belajar. Tabrani mempertanyakan arah pendidikan Aceh yang disebut berorientasi mengejar mutu. Pada kenyataannya, mutu hanya menjadi slogan yang ingin ditargetkan. Namun, proses yang berjalan tidak mencerminkan target tersebut.

Pemilihan kepala sekolah, Tabrani mencontohkan, seharusnya didasari pada jenjang karir dan prestasi. Sayangnya, dunia pendidikan juga telah ditarik dalam pusaran politik. Kerap terjadi nepotisme untuk meraih jabatan tersebut. “Memprihatinkan sekali, untuk posisi kepala sekolah saja banyak yang lebih mengandalkan kedekatan dengan pejabat dinas, belum lagi ambisi mengejar proyek. Jika struktur yang berjalan saja tidak islami seperti ini, kok, kita bisa bicara merancang konsep pendidikan islami untuk peserta didik?” sindirnya.

Maka arah pendidikan Aceh tengah berada pada posisi yang kontradiktif. Di satu sisi, masyarakat Aceh membanggakan kekhususan provinsi sebagai daerah syariat, di sisi lain, secara mental tidak punya kesiapan untuk hidup secara islami.

Krisis Literasi

Masalah pendidikan paling krusial menurut Tabrani adalah krisis literasi. Dengan adanya kemajuan teknologi, anak sejak usia dini telah kenal dengan gadget. Beberapa dampak negatif yang ditimbulkan adalah kebiasaan membaca informasi secara singkat. “Maka kita perlu galakkan lagi budaya membaca buku dan menulis, kita butuh membangkitkan lagi budaya literasi sejak kalangan anak-anak,” harap Tabrani.

Rendahnya kualitas pendidikan di Aceh, disebabkan rendahnya daya baca masyarakatnya. Hal ini tidak saja ditengarai sikap malas, namun juga karena tidak ditunjang fasilitas yang memadai, terkait ketersediaan buku bacaan yang berkualitas serta kondisi perpustakaan. “Yang sekarang dianggarkan pemerintah, membeli buku sebanyak-banyak nya, tapi abai melihat apakah buku tersebut menarik minat baca atau tidak, jadi ini juga tidak banyak mendatangkan manfaat.”

Sementara itu, Wakil Ketua Majelis Pendidikan Daerah (MPD) Aceh, Azwar Thaib mengatakan Aceh Caroeng perlu dimaknai secara tuntas. “Cerdas adalah integrasi antara kemampuan kognitif, afektif, dan psikomotorik,” kata Azwar kepada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu. Hendaknya, kata dia, program pembangunan pendidikan bersandar pada integrasi tersebut. Hasilnya harus dapat menunjang daya saing di lingkungan yang lebih luas.

Mengenai daya saing, Azwar memandang perlunya pemilahan antara sekolah umum dan sekolah kejuruan. Yang satu disiapkan untuk melanjutkan ke tingkat perguruan tinggi. Satu lagi lebih mengedepankan kemampuan motorik yang siap terjun ke dunia kerja. Namun, setiap lulusan sekolah kejuruan ini juga belum seluruhnya berhasil memiliki daya saing. Sehinga hanya sebagian saja yang mampu menembus standar yang telah ditetapkan dunia kerja.

Selain kelengkapan fasilitas, juga perlu dilakukan peningkatan standar. “Targetkan melebihi standar yang dibutuhkan nasional. Itu cara kita membenahi sistem penilaian di sekolah, ini butuh komitmen bersama, harus jujur, jangan berlaku curang.” kata Azwar.

Ia mencontohkan rendahnya prestasi kelulusan siswa, “Perlu kita ingat, tidak mungkin berharap daya saing naik, kalau standar kelulusan tidak dinaikkan.”

Dalam mewujudkan Aceh Caroeng, lanjut Azwar, pemenuhan rasio jumlah pendidik hanya akan menyelesaikan masalah pendidikan sebesar 35 persen saja. “Sisanya, pada faktor sarana, orang tua, lingkungan, itu yang sebenarnya paling mendominasi,” ucapnya.

Azwar masih menunggu sisi apa saja yang akan mampu dijawab oleh program pendidikan pemerintahan Irwandi-Nova kelak. Mengubah masyarakat, kata dia, tidak hanya dengan kebijakan dengan jangka waktu tertentu, namun juga dengan menanamkan nilai yang akan menjadi pegangan hidup dalam waktu yang lama, salah satunya dengan pendidikan.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait