Namlea—Penambangan emas tradisional yang marak di Kabupaten Buru, Pulau Buru, Maluku, sejak awal tahun ini dinilai belum sampai mencemari lingkungan. Meski begitu, kerusakan lingkungan akibat penambangan berpotensi terjadi.
Kepala Badan Lingkungan Hidup Buru Jusdi Latuconsina, di Namlea, Buru, Senin (22/10), mengatakan, pihaknya bulan Agustus lalu telah mengambil sampel air di 22 titik yang tersebar di lima kecamatan di Kabupaten Buru. Titik-titik itu seperti sungai, da nau, dan sumur-sumur warga.
Sampel air lalu dibawa ke laboratorium kesehatan di Ambon untuk dicek. “Hasil pengecekan kadar air masih normal. Kalaupun ada yang tercemar merkuri, kadar merkuri masih di bawah ambang batas normal,” jelasnya.
Atas dasar ini, dia meminta masyarakat tidak mempercayai isu kalau air di Buru sudah tercemar merkuri. Selain itu, masyarakat juga diminta tidak mempercayai jika ada isu bahwa beras hasil produksi petani di Buru, yang dikenal sebagai lumbung beras Maluku, telah tercemar limbah merkuri. “Semua isu itu tidak benar,” ujarnya.
Berpotensi mencemari
Meski begitu, Jusdi mengatakan, potensi kerusakan lingkungan akibat merkuri yang digunakan untuk mengolah material menjadi emas, masih berpotensi terjadi. Karena itu, setiap dua kali dalam seminggu petugasnya mencek tempat-tempat pengolahan material menjadi emas.
Limbah hasil olahan harus ditampung di kolam, dan tidak dibuang sembarangan. Sejak awal tahun ini atau sejak emas ditemukan di perbukitan di Kecamatan Wai Apo, ribuan orang datang ke Buru. Mereka berasal dari berbagai tempat di Indonesia, seperti Sulawesi dan Jawa.
Mereka bersama-sama dengan warga lokal menambang emas secara tradisional dan menggunakan merkuri, bahan kimia yang berbahaya bagi manusia, untuk mengolahnya. Berulangkali pemerintah menutup lokasi tambang dan memulangkan para penambang itu, tetapi setelah itu mereka kembali lagi ke lokasi tambang dan memulai aktivitas penambangan.[kompas]
Belum ada komentar