Pelesiaran menjadi agenda wajib Parlemen Aceh. Diam-diam, Komisi II DPRA menyelesaikan kunjungan kerja ke Jepang. Sejumlah komisi lain sedang berkemas ke manca negara.
Rakyat Aceh acap kali dibuat bingung dengan wakilnya di DPRA. Sebagai penyambung lidah rakyat, mereka dinilai kurang peka dengan kondisi masyarakat yang masih dihimpit persoalan ekonomi. Saban tahun, DPRA mengagendakan kunjungan kerja ke luar negeri yang menguras dana APBA dalam jumlah besar.
Hampir tak terhitung berapa banyak tudingan miring yang dialamatkan kepada anggota DPRA terkait lawatan mereka ke mancanegara. Seolah angin lalu, protes publik tak pernah mereka gubris. Pelesiran yang berkedok studi banding itu tetap saja berlanjut dari tahun ke tahun.
Masih cukup segar di ingatan publik, pada pertengahan Mei 2016 mereka meminta ditambah biaya perjalanan dinas dengan dalih alokasi anggaran untuk kegiatan tersebut sudah menipis. Padahal, biaya perjalanan dinas DPRA untuk dalam daerah, luar daerah dan luar negeri, tergolong besar. Sekira Rp92,48 miliar dialokasikan dalam APBA 2016.
Di tengah protes berbagai elemen masyarakat, tetap saja sejumlah anggota DPRA melakukan studi banding ke berbagai negara pada 2016. Misalnya Komisi I ke Turki, Komisi II ke Jerman, Komisi VI ke Jepang, dan Komisi VII dua kali ke Turki.
Tahun ini sama saja. Meski diprotes, mereka diam-diam bertolak ke luar negeri. Lawatan Komisi II ke Jepang pada Juni lalu menjadi pembuka kunjungan kerja DPRA ke luar negeri di tahun 2017. Lalu yang akan menyusul adalah Komisi III ke Australia pada Agustus nanti. Sejauh ini usulan izin sudah sampai ke meja Mendagri. Sementara komisi lain sedang dalam tahap pnegusulan dan pembahasan di tingkat internal.
Kunker ini tentunya menggunakan uang rakyat yang efektivitas keperluannya diragukan. Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh mencatat, anggaran daerah yang tergerus untuk kunjungan kerja DPRA 2017 berjumlah Rp7,8 milliar. Dana Kunker ini selalu diambil dari pos Pendapatan Asli Aceh (PAA).
Sebenarnya, ada beragam cara yang lebih efektif dan efisien yang bisa dilakukan anggota DPRA untuk menimba informasi dari luar negeri. Misalnya saja menggunakan informasi elektronik. Namun, sulit rasanya DPRA memenuhi harapan mengefisienkan penggunaan uang rakyat. Hasrat pelesiran menjadi urgensitas bagi mereka.
Kunker wakil rakyat kali ini tentunya akan memperpanjang cerita usang Kunker tahun-tahun sebelumnya. Tidak ada transparansi dalam bentuk laporan pertanggungjawaban, serta tidak ada persembahan bermanfaat yang mereka bawa dari luar negeri.
Karena itu, berbagai elemen masyarakat berharap, sudah saatnya DPRA moratorium studi banding ke luar negeri. Dananya dialihkan saja untuk kepentingan yang lebih mendesak. Apalagi menurut data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan di Aceh mencapai 16,43 persen. Padahal dana Otonomi Khusus (Otsus) telah dikucurkan sebesar Rp48,9 triliun, Aceh justru menjadi provinsi yang pendapatan perkapita rakyatnya termiskin di Sumatera.[]
Belum ada komentar