Pedagang di Simpang Surabaya Rugi Miliaran Rupiah, Ketiban Lara Proyek Fly Over

Proyek fly over Simpang Surabaya, Banda Aceh. (Foto Pikiran Merdeka/Oviyandi)
Proyek fly over Simpang Surabaya, Banda Aceh. (Foto Pikiran Merdeka/Oviyandi)

Penutupan jalan reguler di Jembatan Beurawe membawa sengsara bagi dua ratusan pedagang di sekitar Simpang Surabaya. Pemko Banda Aceh terkesan tak peduli. 

Rabu malam pekan lalu, Samsunar Hamsya (52) merasa sangat gelisah. Sudah sebulan setelah ditutup akses lalu-lintas Simpang Surabaya – Jambo Tape, Banda Aceh, pemasukan dari usahanya menyusut drastis.

Betapa tidak. Dia baru saja menjual satu mobil pribadinya untuk memenuhi biaya operasional perusahaan travelnya di Jalan T Hasan Dek, Simpang Surabaya. Padahal sebelumnya, ia sudah mem-PHK-kan lima karyawannya untuk menghemat pengeluaran perusahaan travel yang berdiri tahun 2003 itu.

Samsunar terpaksa mengambil inisiatif itu setelah melihat keuangan perusahannya anjlok. Biasanya, ada 40–50 konsumen yang membeli tiket di Sam Travel miliknya.

“Tapi selama ditutupnya askses jalan Jembatan Beurawe, sehari paling cuma 1–3 tiket yang terjual,” cerita Samsunar kepadca Pikiran Merdeka.

Padahal dalam sebulan, dia harus mengeluarkan Rp40–Rp60 juta biaya operasional. Sementara sebulan terakhir, ia tak lagi bisa menutupi kebutuhan perusahaan tersebut.

Tak jauh dari Samsunar, ada Popon yang menjalankan usaha pangkas. Warga Banda Aceh ini juga merasa resah. Selama Agustus 2016, per hari hanya 1–3 orang pelanggan tetap yang datang ke toko pangkasnya.

“Pada bulan-bulan sebelumnya, sehari bisa sampai 40–60 orang, sampai tangan saya pegal. Biasanya orang yang lalu-lalang di Jalan Hasan Dek singgah ke toko,” tuturnya.

Di seberang jalan, Zulfikri, juga sudah tak tahan dengan kesengsaraan akibat ditutupnya jalan Jembatan Beurawe–Jambo Tape. “Untuk kebutuhan sehari-hari saja, kami sudah tak mencukupi lagi,” kata pemilik Warung Fulus Kupi Ayah ini.

“Tak hanya kami. Yang jual nasi goreng di Simpang Surabaya bahkan harus nombok sampai Rp500 ribu. Per hari mereka belanja Rp800 ribu, sedangkan pemasukannya cuma Rp300 ribu. Kami merasa dizalimi Pemko,” ujarnya.

Malam itu, mereka berkumpul untuk melakukan aksi. Diajak semua pedagang dan pengusaha yang menjadi korban pembangunan fly over dan underpass Simpang Surabaya. “Ada 240 orang korban,” sebut Samsunar.

Spontan, mereka membentuk Aliansi Pengusaha dan Pedagang Korban Proyek Flyover dan Underpass Simpang Surabaya. Samsunar diangkat sebagai ketua.

Mereka akan bikin aksi esoknya, Kamis (01/09/16). Sebelum fajar tiba, seluruh pengusah dan pedagang dijumpai dan dikutip sedikit dana untuk menjalankan aksi. Diantaranya untuk cetak spanduk dan poster.

Beberapa jam kemudian, pukul 11.00 WIB, sebanyak 70-an pengusaha dan pedagang yang menamai diri Aliansi Pengusaha dan Pedagang Korban Proyek Flyover dan Underpass Simpang Surabaya itu turun ke jalan.

Sabar punya batas, kata Popon. Bayangkan saja, dia berujar ke Pikiran Merdeka, dari total 240 pedagang dan pengusaha yang menjadi korban di Simpang Surabaya, biasanya omset mereka Rp2 juta per hari atau Rp60 juta per bulan. Jika ada 240 orang, angkanya mencapai Rp14,4 miliar per bulan.

“Sekarang omset kami menurun sampai 90 persen. Bayangkan masing-masing kami rata-rata punya satu istri, dua anak, dua pekerja, bagaimana kami harus menghidupi mereka jika terus begini?” ujar Samsunar.

Jalan T Hasan Dek penghubung Simpang Surabaya–Jambo Tape resmi ditutup total pada 1 Agustus lalu. Pemko Banda Aceh saat itu merencanakan penutupan dalam waktu beberapa bulan.

Pembangunan proyek fly over Simpang Surabaya, Banda Aceh. (Foto Pikiran Merdeka/Oviyandi)
Pembangunan proyek fly over Simpang Surabaya, Banda Aceh. (Foto Pikiran Merdeka/Oviyandi)

Proyek multiyears tersebut dilaksanakan melalui Kerjasama Operasional (KSO) atau joint venture antara PT Jaya Konstruksi dan PT Brantas Abipraya. Dengan nilai anggaran sekitar Rp250 miliar ditargetkan rampung akhir 2017.

“Yang kami sesalkan Pemko tidak pernah sosialisasikan kepada kami. Hanya disampaikan melalui media massa. Kami seperti tak dianggap, kami di sini seperti tak ada pemimpin,” ketus Zulfikri.

Seharusnya, Pemko Banda Aceh langsung turun menjumpai pedagang dan pengusaha di kawasan Simpang Surabaya, juga warga Gampong Ateuk Pahlawan dan Gampong Lamseupeung, untuk sosialisasi. Sehingga mereka sudah bisa mempersiapkan solusi.

“Usaha kami bergantung pada pembeli yang melewati Jembatan Beurawe. Ketika akses jalannya ditutup, siapa yang mau beli dagangan kami. Apakah Pemko ada memikirkan hal ini?” kata Samsunar.

Siang itu mereka jalan kaki berorasi dari Simpang Surabaya. Diusung sejumlah poster dan spandukberisikan tuntutan: “kami butuh makan, tolong perhatikan nasib kami, jangan zalimi kami, kami bukan sampah, mana hati nurani pemerintah kota, ganti kerugian kami.”

Lantas mereka berhenti di mulut Jembatan Beurawe. Mengadakan konferensi pers didampingi kuasa hukum, Safaruddin, Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA). Seorang anggota Komisi C DPRK Banda Aceh, Abdul Rafur, turut bergabung.

Safaruddin mengatakan, para pedagang kecewa karena merasa diabaikan Pemko Banda Aceh dengan ditutupnya jalan tanpa melalui musyawarah lebih dulu dengan mereka. “Kini proyek sudah berjalan, tetapi masyarakat di sekitar lokasi seperti dizalimi,” katanya dalam aksi itu.

Ia menyebutkan, para pedagang tak menolak pembangunan fly over Simpang Surabaya, bahkan mendukungnya. Tapi dari sisi kemanusiaan, katanya, mereka yang terkena dampak akibat pembangunan itu juga harus diberikan keadilan.

Menurutnya, sangat wajar para pengusaha dan pedagang itu menuntut hak mereka. Sebab setiap tahunnya mereka membayar kewajiban pajak kepada pemerintah. “Jika pemerintah tidak merespon, maka jangan salahkan masyarakat bila nanti bertindak diluar batas, kita juga meminta kepada perusahaan yang sedang melakukan proyek pembangunan ini bisa bertemu dengan para pelaku usaha disini,” harapnya.

Aksi yang dikawal beberapa polisi itu berlangsung satu jam di bawah terik matahari. Aliansi pengusaha dan pedagang itu kemudian mendirikan posko di tepi jalan, menanti aspirasi mereka dipenuhi.

DIBUKA SEBELUM LEBARAN

Dedek, pengusaha motor di Simpang Surabaya, mengatakan, aksi Kamis itu kurang matang karena digelar secara mendadak. “Malam bikin rapat, paginya langsung beraksi. Makanya yang hadir cuma 70-an dari total 240 orang korban,” katanya saat ditemui Pikiran Merdeka, Sabtu (03/09/16) sore.

Mereka yang absen, kata Dedek, kebanyakan para pedagang yang berjualan pada sore sampai dini hari. “Pagi sampai siang mereka tidur. Ke depan, kalau tuntutan kami tak dipenuhi, kita akan buat aksi dengan massa lebih banyak lagi,” janjinya.

Menurutnya, hanya dua hal yang mereka tuntut kepada Pemko Banda Aceh maupun pelaksana proyek. Ganti rugi dengan membayar kompensasi kepada 240 korban proyek atau membuka akses jalan Jembatan Beurawe. “Kompensasinya sesuai dengan UMR-lah, setidaknya untuk sewa toko dan biaya hidup kami,” tambah Samsunar yang ditemui bersamaan.

Beberapa jam sebelum dijumpai Pikiran Merdeka pada Sabtu, perwakilan Aliansi Pengusaha dan Pedagang Korban Proyek Fly Over dan Underpass Simpang Surabaya ditemui Riswan Humas PT Jaya Konstruksi dan Teguh Kepala Pengawas Pembangunan Flyover dan Underpass Simpang Surabaya. “Mereka bilang tadi, berdasarkan hasil koordinasi mereka dengan Pemko, jalan akan dibuka pada Sabtu 10 September 2016 mendatang,” ujar Dedek.

Namun pihaknya tak serta-merta terima. Sebagai jaminan, mereka meminta  surat resmi dari Pemko pada Riswan dan Teguh, terkait janji pembukaan akses jalan tersebut.

“Tidak ada surat, kata mereka. Itu artinya kantidak bisa dijamin (janji mereka). Bisa jadi jalannya dibuka lebih lama lagi,” imbuh Zulfikri.

Jika setelah 10 September 2016 Pemko tidak merespons aspirasi mereka, tegas Dedek, pihaknya akan gelar aksi lebih besar dan massa lebih banyak.

SATU JALUR SAJA

Riswan, Humas PT Jaya Konstruksi, dihubungi Pikiran Merdeka secara terpisah mengatakan, Pemko sudah menyatakan akan membuka salah satu dari dua jalur di Jembatan Beurawe, pada 10 September 2016. “Belum dipastikan apakah jalur kiri atau kanan, mereka lihat sikon (situasi dan kondisi_red) dulu nanti,” katanya, Sabtu (03/09/16) petang.

Keputusan itu diambil dalam pertemuan antara kontraktor dengan dinas terkait, pejabat pelaksana teknis kegiatan dan satuan kerja proyek pembangunan flyover dan underpass Simpang Surabaya, beberapa waktu lalu.

Menurutnya, pihaknyasetelah bertemu dengan perwakilan Aliansi Pengusaha dan Pedagang Korban Proyek Pembangunan Flyover dan Underpass Simpang Surabaya, Sabtu siang, langsung menyampaikan hasilnya ke Dinas Pekerjaan Umum (PU) Banda Aceh. “Pemko (Dinas PU) bilang, buka akses jalan itu tidak perlu surat,” terangnya.

Riswan menambahkan, saat ini pihaknya sedang memindahkan material pengerjaan proyek di Jembatan Beurawe sebagai persiapan pembukaan satu jalur. “Pastinya akan kita buka Sabtu depan sebelum lebaran Idul Adha,” terang Riswan via sambungan telepon seluler kepada Pikiran Merdeka.

Terkait pernyataan pengusaha dan pedagang yang merasa terzalimi, Riswan menjelaskan, beberapa hari sebelum ditutup total jalan penghubung Simpang Surabaya – Jembatan Berawe, Pemprov dan Pemko sudah berkoordinasi dengan perwakilan warga sekitar proyek di Kantor Dinas Perhubungan Komunikasi dan Informatika (Dishubkominfo) Kota Banda Aceh. “Saat itu Dishubkominfo mengundang perwakilan warga Gampong Beurawe dan Gampong Kuta Alam, membahas soal penutupan jalan Jembatan Beurawe,” sebutnya.

Sayangnya, menurut Samsunar, pertemuan itu tidak diundang perwakilan pedagang, pengusaha, dan masyarakat dari Ateuk Pahlawan dan Lamseupeung.

Sementara itu, Walikota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal saat ditanyai Pikiran Merdeka, Sabtu (03/09/16) malam, melalui telepon seluluernya terkait aksi masyarakat tersebut, langsung memutuskan sambungan telepon. Pesan pendek juga tak dibalas.

Begitupun dengan Kabid Humas Pemko Banda Aceh, Wirzaini Usman. Saat dihubungi pada waktu hampir bersamaan, dia tak menjawab panggilan Pikiran Merdeka.[]

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait