Partai Aceh Tolak Kuota Caleg 100 Persen

Partai Aceh Tolak Kuota Caleg 100 Persen
Jubir Partai Aceh, Syardani M Syarif.

PM, Banda Aceh – Konflik regulasi kembali terulang menjelang Pemilu Legislatif 2019. Senin (25/6) lalu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengeluarkan surat yang menyebutkan bahwa kuota Calon Legislatif di Aceh sebanyak 100 persen dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan, dan aturan ini berlaku untuk semua partai politik peserta Pemilu di Aceh. Arahan ini merujuk pasal 244 UU Nomor 7 Tahun 2017.

Surat KPU bernomor: 605/PL.01.4-SD/06/KPU/VI/2018 itu menetapkan syarat calon anggota DPR Aceh dan DPR Kab/kota di Aceh. Menanggapi hal tersebut, Partai Aceh menolaknya dengan tegas. Hal ini disampaikan Jurubicara Partai Aceh (PA) Syardani M. Syarif atau akrab disapa Teungku Jamaica kepada media, Selasa (26/6).

“Aceh punya UUPA, yang menyebutkan bahwa penyelenggaraan pemilu di Aceh diselenggarakan berdasarkan Qanun Aceh, maka kemudian Aceh membuat Qanun Nomor 3 Tahun 2008, dalam Pasal 17 Qanun tersebut menyebutkan bahwa ‘Daftar bakal calon sebagaimana dimaksud dalam pasal 15 memuat paling banyak 120% (seratus dua puluh perseratus) dari jumlah kursi pada setiap daerah pemilihan,” papar dia.

Selain itu, Sekjen Partai Aceh, Kamaruddin Abubakar atau akrab disapa Abu Razak meminta KPU RI melihat lagi kekhususan Aceh yang sudah berjalan selama ini, dimana setiap partai politik Lokal di Aceh harus diberikan kekhususan sebagaimana diatur di dalam UUPA dan Qanun Penyelenggaraan Pemilu di Aceh.

“Masalah ini mengulangi kejadian serupa tahun 2013, jelang Pileg 2014. Lewat lobi-lobi saat itu, KPU Pusat akhirnya setuju bahwa caleg Aceh 120 persen dari jumlah kursi, kenapa hal yang sudah selesai ini kemudian diulang lagi?” tegas Abu Razak.

Padahal usulan kuota caleg 120 persen itu, sambungnya, hanya berlaku untuk parpol di Aceh, tidak ada di tempat lain. Abu Razak menyayangkan jika UUPA sebagai salah satu kekhususan dan keistimewaan Aceh pasca damai RI dengan GAM ini dikesampingkan. Baginya, keistimewaan itu harus dilihat sebagai kebinnekaan politik nasional yang perlu dijaga demi keutuhan negara.

“Jika semua Undang-Undang Nasional diberlakukan untuk Aceh, lalu apa gunanya UUPA yang merupakan turunan butir-butir MoU Helsinki?” tegasnya. []

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait