Ekonom senior untuk Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), Abdolreza Abbassian, mengungkapkan lonjakan harga pangan global yang hampir mencapai 40 persen dalam setahun terakhir, akibat beberapa faktor.
Beberapa hal, antara lain meningkatnya permintaan jagung, minyak nabati dan gula di berbagai negara, termasuk peristiwa kekeringan di Brasil sebagai penyebab naik drastisnya harga pangan dunia.
“Permintaan itu membutuhkan pasokan yang kuat,” kata Abbassian, melansir CNN.
Di sisi lain, naiknya penggunaan bio diesel juga berkontribusi dalam lonjakan harga pangan global. Laporan PBB, kuotasi minyak sawit internasional mencapai level tertinggi sejak Februari 2011. Hal ini karena pertumbuhan produksi minyak sawit yang lambat di negara-negara Asia Tenggara.
Sementara itu, Kementerian Perdagangan RI menyebut harga pangan bakal kembali stabil tahun 2022. Fluaktuasi yang terjadi tahun ini pun, menurutnya lantaran kondisi pandemi Covid-19 yang tidak dapat dipastikan kapan berakhir.
Kepada Bisnis.com, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan (BP3) Kemendag, Kasan menyebutkan kenaikan harga pangan tertinggi dalam 10 tahun terakhir dipicu oleh kenaikan kuat pada subindeks gula dan minyak nabati. Kemudian diikuti oleh kenaikan subindeks daging, serealia, dan produk susu pada tingkat yang lebih rendah.
Situasi harga pangan global selama pandemi telah berdampak pada gangguan rantai pasok dan distribusi, penurunan daya beli, dan ketidakstabilan harga pangan.
Pemerintah pun berupaya mengantisipasinya dengan menjaga efisiensi rantai pasok, daya beli masyarakat, dan akselerasi pemanfaatan platform digital.
Mengenai platform digital, hal ini dianggap penting sejak pola konsumsi masyarakat Indonesia yang mulai bergeser dari beras dan makanan pokok ke makanan jadi. Ekspektasi hidup dan urbanisasi yang meningkat pun bakal menambah aspek ketahanan pangan. Artinya, tidak hanya ketersediaan dan keterjangkauan yang memengaruhi, tetapi juga kualitas pangan.(*)
Belum ada komentar