Jakarta – Ketahanan pangan jadi hal penting yang perlu diperhatikan di masa pandemi Covid-19. Apalagi pangan dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan gizi dan nutrisi masyarakat.
Tim Pakar Indofood Riset Nugraha (IRN) Prof Purwiyatno Hariyadi mengatakan, gangguan distribusi pangan di masa pandemi memengaruhi pola konsumsi dan status gizi, khususnya bagi populasi rentan. “Stres pada sistem pangan bisa berakibat serius,” kata Purwiyatno, dalam satu simposium daring, baru-baru ini.
Selain itu, lanjut Prof Purwiyatno, gangguan pasokan pangan berpotensi mengganggu stabilitas sosial dan ekonomi sehingga penanganan pandemi juga akan terganggu, bahkan berlarut-larut.
“Terganggunya sistem pangan di sisi produksi, distribusi, konsumsi akan mengganggu upaya mitigasi pandemi sehingga perlu dikelola risikonya yang mungkin ada pada sistem pangan,” ujarnya.
Direktur Indofood Franciscus Welirang menambahkan, membangun sistem pangan berkelanjutan harus menjadi salah satu prioritas di masa pandemi. “Bukan hanya sebagai langkah antisipasi krisis pangan akibat pandemi, tetapi juga sebagai upaya memberikan jaminan pasokan maupun akses pangan bagi bangsa di masa depan,” ungkapnya.
Menurutnya, diperlukan pendekatan yang holistik, serta dukungan dan sinergi semua stakeholder. Dia juga menekankan pentingnya integrasi dalam sistem pangan mulai produksi pangan, pengolahan pangan, baik di industri besar maupun kecil hingga akses masyarakat akan pangan tersebut.
Sebelumnya, sejumlah pakar juga menekankan hal serupa, bahwa kegiatan produksi dan distribusi bahan pangan masih harus berjalan di tengah pandemi ini. Stabilisasi harga pangan pun selalu diupayakan pemerintah agar pasokan makanan cukup.
Dosen Food Technology Indonesia International Institute for Life Sciences (i3L), Rayyane Mazaya Syifa Insani, mengatakan, pandemi telah menyebabkan gangguan sistem logistik global yang berdampak pada persoalan akses pangan. Di Indonesia dan juga negara lain yang memiliki tingkat ekonomi serupa atau di bawahnya, masalah akses pangan yang timbul umumnya dipengaruhi penghasilan masyarakat yang tidak memadai, bahkan sekedar untuk membeli pangan pokok.
“Banyaknya masyarakat yang kehilangan pekerjaan akibat covid-19, menyumbang andil pada menurunnya ketahanan pangan sampai masyarakat harus bergantung pada bantuan pangan dari pemerintah” ungkap Rayyane, Juli lalu.
Untuk mengatasi hal ini, menurutnya masyarakat dapat membantu menjaga keseimbangan permintaan dan suplai bahan pangan dengan tidak melakukan panic buying. Terutama untuk bahan-bahan pangan dengan umur simpan yang pendek (perishable). Mengingat umur simpan yang pendek, menimbun bahan-bahan pangan tersebut terlalu lama justru akan membawa dampak lain bagi lingkungan, yaitu meningkatnya limbah dari makanan yang tidak dapat dikonsumsi karena sudah lewat umur simpannya.
“Sinergi di antara masyarakat pun menjadi sangat krusial dalam masa pandemi ini. Banyaknya kegiatan-kegiatan sosial yang diinisiasi oleh masyarakat untuk memberikan bantuan bahan pangan untuk masyarakat lain yang membutuhkan dapat sangat membantu terjaganya keseimbangan sistem permintaan dan suplai ketahanan pangan,” tambahnya.
Selain itu, mengikuti anjuran dari FAO dalam rangka menciptakan kestabilan harga pangan dan perwujudan pangan berkelanjutan, masyarakat juga bisa memprioritaskan membeli bahan pangan pada petani atau produsen kecil secara langsung. Dibandingkan langsung pada distributor yang sering meraup banyak keuntungan yang menyebabkan petani kecil merugi.
“Pada akhirnya, kerja sama di setiap tingkatan sosial untuk menjaga sistem ketahanan pangan adalah kunci untuk melewati Covid-19,” pungkasnya.
Sumber: JPNN, Warta Ekonomi
Belum ada komentar