Berbagai persoalan yang masih melilit Aceh menjadi tantangan terberat pemimpin ke depan. Sanggupkah Irwandi-Nova menjawab harapan rakyat?
“Demi Allah, saya bersumpah. Akan memenuhi kewajiban saya sebagai Gubernur Aceh dan sebagai Wakil Gubernur Aceh dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya. Memegang teguh UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945, dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya, serta berbakti kepada masyarakat, daerah, nusa dan bangsa.”
Kalimat itu menggema di ruang sidang Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rabu (5/7/17) pagi. Ribuan orang yang hadir mendengar dengan seksama. Di hadapan mereka, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo memandu pengucapan sumpah pengangkatan tersebut pada kedua sosok pemimpin baru Aceh, Gubernur Irwandi Yusuf dan Wakilnya Nova Iriansyah.
Keduanya berdiri tegak, sigap dengan seragam dan topi berwarna putih. Setelah dilantik, berlanjut pada proses serah terima jabatan dari gubernur dan wakil gubernur sebelumnya, Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf. Jabat tangan para pemimpin antar periode ini disambut tepuk tangan meriah dari para hadirin.
Irwandi Yusuf dalam pidatonya usai dilantik menyampaikan rasa bangga terhadap proses Pilkada yang berjalan aman dan tertib. Menurutnya, kedewasaan berpolitik masyarakat Aceh sudah semakin baik. Ia juga menyinggung situasi yang mencuat dalam proses Pilkada pada Feruari lalu.
“Kita semua paham bahwa proses Pilkada demikian kompetitif, dinamis, sentimental, kadang emosional. Ini telah membelah masyarakat. Tapi kini, semua itu telah berakhir. Maka berhentilah saling mengejek, baik di warung maupun di media sosial, saling menjelekkan, bangga, euforia, menepuk dada, dan saling menjatuhkan. Semua perangai buruk itu dapat merusak persatuan kita,” ungkapnya.
Irwandi menyampaikan ucapan terimakasih kepada pemerintah pusat yang telah mendukung penuh proses demokrasi di Aceh. “Juga kepada Gubernur Zaini Abdullah dan Muzakkir Manaf atas kerja kerasnya memimpin kami dan merawat perdamaian di Aceh,” tambahnya.
Pelantikan ini merupakan yang kedua kalinya dalam pengalaman Irwandi. Ia mengaku tergugah saat kembali terpilih setelah pernah memimpin pada periode 2007-2012 silam. Buatnya, kepercayaan yang kembali ia peroleh adalah pertanda dari semangat masyarakat Aceh yang masih optimis. Menaruh harapan terbangunnya daerah yang lebih maju dan sejahtera.
Hal itu tak pelak berkaca dari masa-masa konflik yang pernah berlangsung lama di Aceh. Konflik, sebut Irwandi, memberikan pembelajaran yang begitu besar pada masyarakat. “Telah berpuluh kali kepemimpinan berganti, tapi Aceh masih terus berjuang untuk mencapai apa yang ingin diimpikan endatu kita. Beragam program dan janji kita dengar. Ada harapan baru yang terus muncul akan perubahan nasib, mutu kehidupan,” katanya lagi.
Namun, menurutnya, harapan itu seringkali bermuara kepada kekecewaan. Banyak program perbaikan masyarakat yang tak kunjung teralisasi. Kenyataan ini, sebut Irwandi, tak boleh membuat masyarakat Aceh patah semangat. Lantas bersikap apatis dan sinis.
Pidato Irwandi diapresiasi banyak pihak. Pidato ini dinilai porsinya tepat dan cukup meneduhkan. Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo dalam sambutannya ikut menimpali pidato Irwandi. Kondusifnya proses Pilkada Aceh tahun ini, sebutnya, menjadi cerminan bahwa proses demokrasi semakin baik.
Ia pun berterimakasih pada seluruh pihak yang telah menjamin amannya Pilkada di Aceh. Dalam kesempatan yang sama, Tjahjo meminta agar pemerintahan yang baru ini dapat menjalin koordinasi yang baik dengan semua pihak, termasuk DPRA sebagai lembaga pengawasan.
“Suksesnya pemerintahan tidak hanya bergantung pada cara memimpin seorang Gubernur maupun Wakil Gubernur. Akan tetapi juga ditentukan oleh hubungan yang sinergi dengan DPRA dalam menyusun perencanaan dan peraturan-peraturan daerah. Dan, juga menghargai fungsi-fungsi pengawasan yang mereka emban,” ujarnya.
Tjahjo menilai, membangun komunikasi yang baik tidak hanya dengan jajaran internal pemerintah. Tapi dalam setiap proses pengambilan keputusan politik pembangunan di Aceh, seorang pemimpin harus melibatkan banyak pihak, seperti tokoh agama, tokoh adat, dan tokoh masyarakat. Termasuk jajaran kepolisian, dan TNI sebagai bagian dari stabilitas keamanan daerah.
“Termasuk Parpol, dan elemen masyarakat yang lain, termasuk di dalamnya ada rekan-rekan pers. Ini semua harus dilibatkan,” jelas Tjahjo.
Melibatkan unsur di luar pemerintahan seperti tokoh agama dan adat merupakan konsekuensi dari kekhususan yang Aceh terima melalui perjanjian damai MoU Helsinki, 2005 silam. Tjahjo menjelaskan, Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UU-PA) yang merupakan turunan dari perjanjian damai tersebut hendaknya dimanfaatkan secara menyeluruh oleh masyarakat Aceh.
Sebutnya, dalam UUPA di mana Aceh memiliki kekhususan tertentu dalam sistem pemerintahan RI sebagaimana dijamin dalam UUD 1945. Hal ini memiliki konsekuensi, bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan perlu diperhatikan konseptualitas kekhususan tersebut. Termasuk menjalankan dengan sunguh-sungguh Syariat Islam serta adat istiadat dan budaya tradisional setempat dengan berpijak pada Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika.
Karena itu, ia berharap Irwandi dan Nova dapat memimpin Aceh dan mempertahankan identitas keislaman yang menjadi kebanggaan masyarakat Aceh sejak lama. “Ini lah ciri dari masyarakat Aceh, bagian dari kebhinekaan bangsa kita.”
Kepada Irwandi-Nova, Tjahjo mewakili pemerintah pusat mengucapkan selamat kepada keduanya dalam mengemban amanah untuk memimpin daerah dan masyarakat Aceh. Pemerintahan yang baru perlu mempercepat pemerataan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat.
“Harapan saya singkat, setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban kepada Allah SWT. Sekecil apapun yang diperbuat oleh seorang gubernur dan wakil Gubernur harus mampu mempertanggung jawabkannya terhadap masyarakat dan negara,” pesannya.
Usai dilantik, Irwandi-Nova juga mendapat ucapan selamat langsung dari Presiden Joko Widodo yang khusus singgah ke DPR Aceh sebelum bertolak ke luar negeri. Pesawat kepresidenan yang membawa Jokowi dan Ibu Negara beserta rombongan mendarat di Bandara Internasional Blangbintang, sebelum meneruskan perjalanan ke Turki.
Pada malamnya, dilangsungkan lepas sambut di Meuligoe Gubernur. Zaini Abdllah menyerahkan jabatannya kepada Irwandi Yusuf dalam sebuah acara makan malam bersama tamu undangan.
PENGAMANAN KETAT
Sekitar tiga ribuan orang memadati area gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA), Rabu (5/7) pagi. Sejak pukul delapan, antrian panjang terlihat di depan pagar gedung. Semula pihak keamanan telah mengosongkan pelataran Jalan Daud Beureueh yang membentang dari Simpang Lima menuju kawasan Jambo Tape. Untuk masuk ke gedung, peserta diwajibkan hadir membawa undangan dan tanda pengenal yang beberapa hari sebelumnya telah mereka terima dari panitia penyelenggara. Pemeriksaan ketat dari pihak keamanan yang berjaga di gerbang dan pintu masuk ruang sidang.
Prosesi pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh periode 2017-2002 ini begitu menyedot perhatian masyarakat Aceh. Bagi warga yang kurang beruntung tidak mendapat undangan, dapat menyaksikan prosesi itu dari layar TVRI di rumah masing-masing.
“Ya, sama saja. Yang penting bisa lihat gubernur baru, pak Irwandi kita,” tutur seorang mahasiswa, Husnul, yang menonton acara tersebut melalui televisi di salah satu kedai kopi di Banda Aceh.
Para undangan yang hadir dalam acara ini pun beragam. Sekretaris Dewan DPRA, A Hamid Zein dua hari sebelumnya mengatakan telah menyebarkan ribuan undangan ke sejumlah pejabat. Dari unsur Forkopimda, dinas-dinas, Bupati/Walikota se-Aceh, anggota dewan baik DPRA dan ketua DPRK se-Aceh, serta tokoh dari kalangan ulama, masyarakat dan tokoh adat. Sejumlah pejabat nasional juga tak kalah ramai. Tampak hadir ketua MPR RI Zulkfli Hasan, Dirjen Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Sumarsono, juga kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Komjen Budi Waseso.
“Selain itu beberapa duta besar negara-negara sahabat ikut kami undang,” tambah Hamid Zein.
Untuk pengamanan Sidang Paripurna Istimewa Pelantikan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, pihak kepolisian mengerahkan 1.788 personil yang terdiri dari gabungan TNI/Polri. Pengamanan dibentuk dalam empat ring. Di pagar gedung, para peserta undangan menjalani pemeriksaan ketat melalui logam detektor serta pemeriksaan surat dan kartu pengenal.
“Selain kepolisian, kami juga dibantu dari instansi terkait, seperti TNI, Dinas Perhubungan, Polisi Pamong Praja, dan Pemadam Kebakaran,” ujar Karo Ops Polda Aceh, Kombes Bambang Sukardi, Senin (4/7) pekan lalu.
Dari total 1.788 pasukan pengamanan tersebut, Bambang juga merincikan sebanyak 839 personil dari Polda Aceh, 209 personil dari Polresta Banda Aceh. Lalu sebanyak 406 personil jajaran pengamanan KIP Kabupaten/Kota juga diturunkan, serta pengawalan tamu VVIP sebanyak 80 personil.
Salah satu posisi pengamanan dalam acara pelantikan, juga termasuk penempatan penembak jitu sebanyak delapan orang. “Itu untuk antisipasi segala kemungkinan. Kita dari Polda menghendaki menyiapkan pengamanan yang sebaik-baiknya. Ini belum pengamanan pak Presiden yang juga akan tiba. Selain DPRA, dari kediaman Gubernur dan wakil Gubernur lama dan yang baru menuju tempat pelantikan kita amankan,” tandas Bambang.[]
Belum ada komentar