Opsi Terjal Pergub APBA

Opsi Terjal Pergub APBA
Opsi Terjal Pergub APBA

Pengesahan APBA 2018 menemui jalan terjal dan berliku. Opsi Pergub yang ditempuh Pemerintah Aceh pun masih sarat hampatan.

Pada Selasa (27/2) lalu, Pemerintah Aceh melalui juru bicaranya Wiratmadinata menyatakan, bahwa pihaknya telah dihadapkan pada konsekuensi penting terkait pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2018. Konsekuensi dimaksud adalah mengesahkan APBA 2018 melalui Peraturan Gubernur (Pergub).

Wira menjelaskan, keputusan untuk mempergubkan APBA tahun ini semata karena tidak tercapainya kesepakatan bersama antara Pemerintah Aceh dan Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, sebelumnya telah menegaskan akan mengambil konsekuensi Pergub apabila hingga 27 Februari 2018, eksekutif-legislatif belum menyepakati pembahasan APBA.

“Kami sudah berkonsultasi dengan gubernur dan wakil gubernur bahwa saat ini Aceh sudah pada tahap menerima konsekuensi dari tak tercapainya kesepakatan bersama pembahasan APBA,” kata Juru Bicara Pemerintah Aceh Wiratmadinata, saat dikonfirmasi wartawan di Banda Aceh.

Menurut dia, konsekuensi Pergub adalah opsi yang harus diambil Pemerintah Aceh. Secara hukum, kata Wira, Aceh tidak lagi berada pada posisi bisa memilih pengesahan APBA melalui qanun. “Pergub ini dilaksanakan sebagai konsekuensi, bukan opsi. Di mana secara regulasi, secara prosedur dan tahapan, kita sudah ada di ujung dari proses normal,” katanya.

Agaknya Wira benar, dengan mencermati proses pembahasan di legislatif yang hingga akhir Februari masih pada tahap membahas dokumen KUA (Kebijakan Umum Anggaran). “Dari segi tahapan dan prosedur, ini sudah terlalu lambat,” katanya.

Dalam konsultasi dengan Mendagri, lanjut Wira, Pemerintah Aceh akan berupaya menjelaskan kondisi pembahasan yang tidak menemukan kesepahaman, sehingga keputusan mempergubkan APBA adalah hal yang tidak mungkin dihindari lagi.

Di hari yang sama, pukul 10.00 WIB, Ketua DPRA Tgk Muharuddin telah menerima surat pemberitahuan dari gubernur tentang rencana Pergub tersebut. Di salah satu poin surat bernomor 903/7601 itu, tertera dasar hukum yang menjadi acuan Pemerintah Aceh untuk mempergubkan APBA. Pada pasal 313 ayat (1) dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 dijelaskan, “Apabila kepala daerah dan DPRD tidak mengambil persetujuan bersama dalam waktu 60 (enam puluh) hari sejak disampaikan rancangan Perda tentang APBD oleh kepala daerah kepada DPRD, kepala daerah menyusun dan menetapkan Perkada tentang APBD paling tinggi sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya untuk membiayai keperluan setiap bulan.”

Dalam surat yang juga ditembuskan kepada Menteri Dalam Negeri, Dirjen Bina Keuangan Daerah Kementerian Dalam negeri dan Irjen Kementerian Dalam Negeri itu, gubernur juga menyampaikan perlu untuk memberitahukan kepada DPRA, bahwa batas waktu persetujuan bersama Rancangan Qanun tentang APBA Tahun 2018 merujuk pada ketentuan undang-undang tersebut di atas.

KEBERATAN DPRA

Tgk Muhar menanggapi ketus surat yang dikirimkan Irwandi hari itu. Meski menghormati maklumat tersebut, ia tetap menagih sejumlah persoalan. Salah satunya terkait kronologi pembahasan APBA yang diduganya sarat dengan skenario.

Muharuddin

Dewan, kata Muhar, hingga kini masih meragukan penyerahan RAPBA di tanggal 4 Desember 2017 lalu. Lantaran, Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) menyerahkannya di saat Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA-PPAS) tahun 2018 belum selesai dibahas.

“Sementara, dalam tata cara penyusunan APBA telah dijelaskan, penyerahan RAPBA setelah adanya persetujuan terhadap KUA PPAS, sedangkan KUA PPAS saja masih dibahas sampai sekarang,” jelasnya.
Keberatan itu juga ia urai secara lengkap di surat yang dikirimkan DPRA ke Menteri Dalam Negeri. Surat bernomor 160/520 itu menjelaskan kronologi pembahasan APBA sejak paruh akhir tahun 2017 lalu.

Penyerahan KUA PPAS oleh Pemerintah Aceh kepada DPRA, tulis surat itu mengawali, dilakukan pada tanggal 1 Agustus 2017 dalam rapat Badan Anggaran DPRA bersama Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA). Banggar lalu mengagendakan rapat untuk menentukan mekanisme pembahasan KUA PPAS tersebut di tanggal 7 Agustus 2017.
Kemudian, di tanggal 18 Agustus 2017 DPRA mengadakan rapat Badan
Musyawarah untuk penjadwalan rencana pembahasan KUA PPAS tahun 2018. Banggar secara internal kala itu menyepakati pembahasan KUA PPAS dilakukan paralel dengan pembahasan Pra RKA yang didelegasikan kepada Komisi-komisi di DPRA. Di sinilah komisi mengetahui bahwa KUA PPAS belum menampung visi-misi dan Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) pemerintahan yang baru.

Hasil telaahan itu kemudian disampaikan dalam rapat pimpinan DPRA di tanggal 8 November 2017, untuk kemudian dibawa ke rapat Banggar DPRA dua pekan berikutnya.

Pada tanggal 24 November 2017, Pemerintah Aceh menyampaikan Rancangan Qanun Aceh tentang RPJMA tahun 2017-2022 didalam rapat paripurna 4 pada masa persidangan V DPRA tahun 2017. Selanjutnya pada tanggal 4 Desember 2017, Badan Anggaran melakukan rapat evaluasi terhadap pembahasan KUA PPAS dan RAPBA 2018 bersama Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA).

Namun, dalam rapat tersebut Pemerintah Aceh sekaligus menyerahkan dokumen RAPBA 2018 kepada pimpinan DPRA. Banggar DPRA sontak heran, lantas menyatakan belum dapat menerima dokumen RAPBA yang disodorkan TAPA. Bermodal surat ketua DPRA nomor 160/3233, di hari yang sama ia mengembalikan dokumen RAPA 2018.

“Karena dokumen PPAS harus terlebih dahulu disepakati antara Gubernur dan DPRA,” tegas surat tersebut.

Tak patah arang, dalam rapat di tanggal 13 November pimpinan DPRA dan Banggar masih memberikan waktu kepada TAPA untuk menyerahkan dokumen KUA PPAS dan RAPBA 2018 yang telah disempurnakan.

Esoknya, 14 November, Gubernur Aceh mengundang pimpinan DPRA, para Ketua Fraksi dan Ketua Komisi ke pendopo gubernur untuk berembuk dan musyawarah di tingkat pimpinan terkait percepatan pembahasan RAPBA 2018. Pertemuan berlanjut beberapa kali berikutnya antara TAPA dan Banggar.

Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri juga sempat ‘turun gunung’ membina Pemerintah Aceh dan DPRA. Alhasil, berganti tahun, pada tanggal 17 Januari 2018 Pimpinan DPRA kembali menggelar rapat pimpinan dengan para ketua fraksi dan ketua komisinya untuk membicarakan proses percepatan pembahasan RAPBA 2018. Pada rapat tersebut mereka sepakat menjadwalkan pembahasan KUA PPAS tahun anggaran 2018 bersama SKPA, terhitung mulai Senin (22/1).

Namun, belakangan agenda pembahasan tersebut tidak terlaksana, karena SKPA tak hadir. Surat undangan ke SKPA pun dibalas gubernur di hari tersebut. Gubernur menegaskan dalam suratnya, bahwa pembahasan KUA PPAS tahun 2018 antara komisi-komisi DPRA dengan SKPA, dibatalkan.

DPRA pun mendadak berembuk ulang. Pihaknya berinisiatif untuk menemui Dirjen Keuangan Derah Kemendagri yang dijadwalkan pada tanggal 26 Januari 2018 di Jakarta. Tiga hari berselang, Banggar menggelar rapat sinkronisasi lanjutan pembahasan KUA PPAS RAPBA tahun anggaran 2018. Lagi-lagi, rapat tersebut tidak dapat terlaksana lantaran Gubernur dan Sekretaris Daerah selaku ketua TAPA tak kunjung hadir.

Rapat berlanjut di tanggal 30 Januari. Kali ini, TAPA dan Banggar, sebagaimana pengakuan DPRA dalam suratnya ke Kemendagri, telah menyepakati tahapan dan jadwal pembahasan KUA PPAS.
Pemerintah Aceh seakan bergeming dengan keputusannya, yakni tidak memperkenankan pembahasan KUA PPAS dilakukan antara komisi DPRA dan SKPA. Hal itu terbukti dari serangkaian undangan rapat yang tak mereka penuhi.

Pada tanggal 17 Februari, pimpinan DPRA menghadiri pertemuan tak resmi bersama Gubernur Aceh, Wakil Gubernur Aceh dan TAPA, bertempat di ruang serbaguna kediaman Wakil Gubernur Aceh. Hasilnya, semua pihak sepakat pembahasan KUA PPAS RAPBA tahun anggaran 2018 dibahas antara TAPA dan Badan Anggaran DPRA, tanpa mendelegasikan ke komisi-komisi DPRA.

“Kendati, pendelegasian ke komisi waktu itu usulan kami semata-mata untuk mempercepat pembahasan APBA,” kata Muhar (27/2).
Sejak itu, rapat antara Banggar dan TAPA dimulai. Meksi berlangsung sangat lambat, karena pembahasan yang sangat rinci.
Namun, di satu pertemuan di tanggal 26 Februari, DPRA dan TAPA sepakat melakukan akselerasi. Menurut DPRA, secara teknis TAPA sependapat untuk percepatan pembahasan KUA PPAS. Namun, harus melapor dan mendapat persetujuan Gubenur Aceh. Rapat di hari itu pun ditunda.

Tgk Muhar mengaku kehabisan akal. Sejak lambannya pembahasan KUA di Banggar, ia merasa perlu menemui Gubernur. “Karena sejak itu kami merasa, tidak efektif apabila deadline ditetapkan pada akhir bulan antara tanggal 27 Februari atau 1 Maret,” keluhnya.
Sayangnya, komunikasi yang ia bangun tak berjalan sesuai harapan. “Susah sekali berjumpa dengan pak Gubernur,” kata dia. Akhirnya pesan hanya dititipkan melalui TAPA.

Tepat pada tanggal 27 Februari 2018, kabar rencana Pemerintah Aceh mempergubkan APBA semakin terang. Gubernur dengan suratnya bernomor 903/7601 memberitahukan telah tercapainya batas waktu persetujuan bersama terhadap RAPBA, sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah.

Muharuddin telah menduga ada semacam skenario untuk Pergub APBA, jika menelisik gubernur yang beberapa hari terakhir sulit ditemui. “Surat itu adalah jawaban yang kami terima, setelah kami meminta bertemu dengan gubernur,” katanya.[]

Langkah DPRA, Siapkan Gugatan Hingga Pemakzulan

Melihat kejanggalan dalam proses pengusulan Pergub APBA oleh Pemerintah Aceh, Ketua DPRA Tgk Muharuddin membuka kemungkinan DPRA akan mengajukan uji materi. Hal yang disasar adalah mekanisme pengambilan keputusan Pergub oleh gubernur, mengacu pada sejumlah kejanggalan tersebut.

“Aturan menyebutkan mekanisme penyerahan RAPBA seharusnya setelah KUA PPAS selesai kan, tapi kemarin tidak demikian. Penyerahan RAPBA 2018 pada Agustus 2017 lalu, padahal KUA PPAS belum kita sepakati sampai sekarang. Nah, ini yang akan kita pastikan kembali, bisa jadi kita ajukan uji materi,” ujarnya, Selasa (6/3).

Pernyataan Muhar tentu bukan hanya gertak sambal. Wacana uji materi, menurut akademisi Hukum Tata Negara Unsyiah, Kurniawan punya serangkaian argumen. Ia mengatakan, pasal 313 Ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 memang menegaskan langkah Pergub diambil jika waktu pembahasan RAPBD telah melampaui batas waktu 60 hari kerja.

Akan tetapi, ia menggarisbawahi keputusan mempergubkan APBA mestinya didahului kesepakatan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah tentang KUA dan PPAS. Lantaran KUA dan PPAS adalah prasyarat utama sekaligus sebagai dokumen pendukung (selain Rencana Kerja Pembangunan Daerah/RKPD) dalam penyusunan RAPBD, dimana tahapan ini belum mendapat persetujuan bersama.

“Ini sebagaimana diamanatkan dalam pasal 310 ayat (1) UU 23 Tahun 2014 yang berbunyi bahwa ‘Kepala Daerah Menyusun KUA dan PPAS berdasarkan RKPD sebagaimana dimaksud pasal 265 ayat (3) dan diajukan kepada DPRD untuk dibahas bersama,” jelas Kurniawan. Dalam aturan itu juga dinyatakan bahwa ‘KUA serta PPAS yang telah disepakati kepala daerah bersama DPRD menjadi pedoman perangkat Daerah dalam menyusun Renja dan Anggaran SKPD’.

“Bilamana KUA dan PPAS belum mendapat kesepakatan bersama yang dituangkan dalam Nota Kesepakatan, maka Pasal 313 ayat (1) sebagaimana dimaksud di atas yang memberi kewenangan kepada Kepala Daerah untuk mempergubkan APBD lantaran belum disepakati hingga melampaui 60 hari kerja, ini semua tidaklah dapat berlaku,” kata dia lagi.

Dengan demikian, Kurniawan menyimpulkan bahwa pembahasan RAPBD tanpa disertai dengan KUA dan PPAS yang telah mendapat persetujuan bersama antara DPRD dan Kepala Daerah, secara yuridis tidaklah dapat dipergubkan.

“Meskipun telah melebihi batas 60 hari kerja pasca diserahkannya dokumen RAPBD kepada DRPD, karena KUA PPAS yang merupakan prasyarat utama belum mendapat persetujuan bersama. Ditambah lagi, Pasal 311 ayat (1) menyatakan bahwa Kepala Daerah wajib mengajukan Raperda tentang APBD disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD sesui dengan waktu yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan untuk memperoleh persetujuan bersama,” papar Direktur Eksekutif Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Aceh (P3KA) ini.

Secara yuridis, keberadaan KUA dan PPAS menurutnya merupakan suatu keniscayaan dalam pembahasan RAPBD. “Tidak boleh tidak, dengan kata lain, tidak akan ada pembahasan RAPBD tanpa terlebih dahulu disepakatinya KUA dan PPAS oleh Kepala Daerah bersama DPRD (yang disusun berdasarkan RKPD),” timpalnya.

Apalagi, dalam pasal 311 ayat (3) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah semakin mempertegas amanat bahwa Rancangan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibahas Kepala Daerah bersama DPRD dengan berpedoman pada RKPD, KUA, dan PPAS untuk mendapat persetujuan bersama.

Bicara uji materi, Kurniawan menjelaskan gugatan dapat disertai dengan posita (alasan gugatan) karena penetapan Pergub tersebut melanggar/ tidak sesuai dengan prosedur/ mekanisme sebagaimana yang diatur dalam Pasal 310 ayat (1) dan Pasal 311 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Namun, rencana menggugat keputusan Pergub APBA sepertinya akan sia-sia. Koordinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh, Askhalani menyampaikan bahwa menggugat Pergub APBA sangat berbeda dengan melakukan judicial review (JR) terhadap kebijakan selainnya.

“Karena kalau dia sudah mendapat persetujuan dari Mendagri, maka eksekutif boleh membelanjakan. Kalaupun mungkin dilakukan JR, ini menurut saya adalah sesuatu yang berbeda dengan JR terhadap Perda. Yang sudah ditetapkan mendagri itu sah untuk dibelanjakan, kalau pun dalam JR nya disebutkan ada yang tidak boleh, maka sifatnya ilegal, semuanya tidak mungkin. Penetapan oleh Mendagri itu jadi bagian dari kesepakatan politik dalam membelanjakan anggaran,” papar Askhalani, Jumat (2/3).

Upaya JR, dipandang Askhalani bersifat menghapus atau mencabut sebuah kebijakan, “Ini misalnya terkait dengan perda,” sambungnya. Tapi, dalam konteks anggaran, semisal APBA, maka pemahamnnya akan berbeda.

“JR dalam soal budgeting, itu melekat pada kesepakatan antara eksekutif Aceh dengan Mendagri. Kalau disebutkan ini ilegal, maka seluruh proses yang sudah dibayarkan dan proses yang sudah ditender itu juga ilegal. Jadi tidak boleh dimaknai sama antara JR terhadap kebijakan lainnya dengan JR terhadap anggaran,” katanya.
Apalagi, lanjut dia, proses untuk mengajukan gugatan itu butuh waktu berbulan-bulan. Ia mengira jika gugatan tersebut diputuskan di akhir tahun ini, tentu tak ada artinya.

“Yang memilih JR ini akan menghabiskan energi. Jadi tidak ada gunanya. Andai pergub ini dilakukan sekarang, artinya begitu disahkan Mendagri itu akan langsung dibelanjakan. Proses JR itu butuh enam sampai dengan setahun. Kalau diputuskan di akhir 2018, apalagi fungsinya. Karena anggaran itu sudah siap dibelanjakan,” tukasnya.

Terlepas dari itu, sikap DPRA sepertinya tak bisa ditawar lagi. Hingga Rabu (7/3) kemarin, proses pembahasan terkait pengesahan Rancangan Peraturan Gubernur untuk Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) tahun 2018, masih terus bergulir. Selain pihak Pemerintah Aceh, Dirjen Keuangan Daerah turut mengundang DPRA ke kantornya di Gedung H lantai VIII Kemendagri, jalan Veteran Nomor 7 Jakarta Pusat.

Anggota DPRA yang hadir dalam pembahasan tersebut yaitu ketua DPRA Tgk Muharuddin, Wakil Ketua T Irwan Djohan, serta didampingi anggota lainnya seperti Nurzahri, Murdani Yusuf, Said, Tgk Anwar, dan Azhari Cage.

Kepada Pikiran Merdeka, Rabu malam, Nurzahri meluruskan, bahwa kehadiran DPRA bukan untuk mendengar persetujuan rancangan Pergub APBA, seperti yang diberitakan beberapa media dalam sepekan terakhir. Akan tetapi, pihaknya diundang untuk dimintai penjelasan mengenai proses pembahasan RAPBA yang berlangsung di Banggar dalam beberapa bulan terakhir.

“Saat itu juga kita jelaskan apa saja tahapan yang telah dijalani. Termasuk yang kita telah sampaikan pada hari Rabu (28/2) lalu, dimana saat itu pimpinan yang hadir kemari,” kata Nurzahri melalui saluran telepon.

Dalam kesempatan bertemu dengan DPRA, pihak Dirjen Keuangan Daerah Kemendagri menyampaikan dua opsi yang mungkin diambil terkait APBA tahun 2018. “Pertama, usulan itu ditolak dengan menimbang apakah permintaan Pergub telah memenuhi persyaratan, termasuk kelengkapan dokumen-dokumen. Atau yang ke dua, diterima dengan segala risiko konsekuensi,” papar Nurzahri.

Konsekuensi yang dimaksud, sambung dia, adalah rencana gugatan DPRA ke Mahkamah Agung maupun PTUN. “Dirjen senantiasa memantau perkembangan di Aceh selama ini, termasuk pandangan sejumlah ahli hukum dan akademisi yang belakangan berpendapat soal gugatan terhadap Pergub APBA,” kata politisi Partai Aceh ini.

Setelah mendengar pemaparan Dirjen Keuangan Daerah, DPRA pun turut menyatakan sikapnya. Tanpa ragu, mereka mewacanakan gugatan ke Mahkamah Agung. “Pergub adalah hak gubernur. Tetapi perlu diketahui hak ini prosesnya juga merampas hak yang ada di Dewan, yaitu hak Budgeting,” sesal Nurzahri.

“Kita tak melarang (keputusan Pergub) itu, tapi sebagai lembaga wakil rakyat, kita juga punya tanggung jawab terhadap rakyat. Maka kita terpaksa melakukan gugatan,” tegas dia lagi. Namun demikian, DPRA akan tetap menunggu sikap Kemendagri terlebih dahulu, sebelum memastikan niat tersebut.

Dalam kesempatan yang sama, DPRA bahkan menyampaikan rencananya lebih jauh, jika APBA diputuskan melalui Pergub. Di antaranya, melaporkan Gubernur ke penegak hukum jika dalam proses pengambilan keputusan itu ditemukan dugaan pelanggaran pidana. Bahkan langkah yang diambilnya juga menyasar pada upaya pemakzulan terhadap Gubernur.

“Bahkan, kami bisa melaporkan semua pihak yang ikut menandatangani putusan tersebut, termasuk Kemendagri sekalipun,” kata Nurzahri.[]

BALADA INKONSISTENSI DPRA

Dalam prosesnya, sanggahan DPRA atas usulan Pergub APBA kian menyiratkan inkonsistensi. Di satu sisi, dewan tidak menyetujui penyerahan RAPBA 2018, lantaran saat diserahkan TAPA ke Banggar pada 4 Desember tahun lalu, KUA PPAS belum selesai dibahas.

Namun, di sisi lain, pihaknya mengakui bahwa akhir Februari adalah batas akhir pembahasan RAPBA di dewan. Hal itu terbukti saat wakil ketua DPRA, T Irwan Djohan menjawab tuntutan mahasiswa saat aksi demo beberapa pekan lalu di gedung DPRA. Irwan sendiri dengan gamblang menyatakan ragu pada penyelesaian APBA 2018 tepat waktu, yakni tanggal 27 Februari. Hal itu dihitung sejak 60 hari usai RAPBA diserahkan.

“Sejauh ini belum dapat saya pastikan, mungkin sudah mencapai 50 persen lah. Jujur, secara pribadi saya pesimis selesai tepat waktu, Karena walaupun setiap hari kerja kita rapat, tapi progresnya sangat lambat, sampai sekarang juga belum masuk ke pembahasan soal belanja, baru sampai pada KUA (Kebijakan Umum Anggaran), dan itu pun baru bahas pendapatan, sangat panjang masih,” ungkap Irwan ketika itu, Selasa (20/2).

“RAPBA diserahkan oleh TAPA ke Banggar tepatnya tanggal 4 Desember 2017 lalu. Kalau kita mengacu dari situ, maka jatuhnya itu di akhir Februari atau awal Maret,” kata Irwan lagi.

Dalam praktiknya, bahkan pembahasan KUA di ruang serbaguna DPRA beberapa pekan sebelumnya, lebih terlihat seperti membahas RAPBA. Padahal, seperti yang pernah disampaikan juru bicara Pemerintah Aceh Saifullah Abdulgani, KUA merupakan kebijakan yang sifatnya umum. Bukan dibahas secara detail seperti merincikan program layaknya mengupas dokumen RAPBA.

Namun, tanggapan ‘setengah hati’ DPRA terhadap rencana Pergub APBA ini tak membuat Pemerintah Aceh surut. TAPA pada Jumat (2/3) kadung menyerahkan dokumen anggaran daerah 2018 ke Kemendagri di Jakarta.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari tim Pemerintah Aceh di Jakarta, kata juru bicara Wiratmadinata, awalnya dokumen yang diserahkan dalam bentuk soft copy.

“Dokumen itu dimasukkan ke Subdit Wilayah I Kemendagri. Dokumen itu telah masuk dalam sistem, dan lazimnya dokumen itu bisa langsung diperiksa oleh Subdit Wilayah I,” ujar Wira.

Secara administrasi, tim Pemerintah Aceh juga telah menyerahkan dokumen anggaran dalam bentuk hard copy kepada Unit Layanan Administrasi (ULA) Kemendagri. “Memang masih ada dokumen yang harus dilengkapi, misal karena tertinggal atau sebagainya. Seperti dokumen RPJM, itu tidak hanya yang baru, tapi dokumen RPJM yang lama juga harus dimasukkan,” tambah Wira.

Pemerintah Aceh, sambung Wira, segera melengkapinya dan Senin pekan depan akan kembali dimasukkan ke ULA. “Setelah semua dokumen tersebut lengkap, barulah masuk pada tahap klarifikasi,” ujarnya. Di tahap ini, Kemendagri memanggil pihak-pihak yang diperlukan untuk melakukan dua klarifikasi. Pertama untuk KUA PPAS yang diajukan sebesar Rp 15,3 triliun, kemudian penjabaran program yang akan dibedah secara rinci di setiap SKPA. Proses ini diperkirakan memakan waktu selama 30 hari kerja.

Namun proses itu ternyata berlangsung lebih singkat. Usai menggelar rapar internal pada Jumat (9/3), Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI akhirnya menerima usulan rancangan Peraturan Gubernur (Pergub) Aceh tentang APBA 2018. “Tadi siang kami sudah melakukan pertemuan dengan beberapa komponen di lingkup Kemendagri untuk membahas penyampaian rancangan pergub tersebut,” kata Dirjen Bina Keuangan Daerah Syarifuddin saat dikonfirmasi wartawan, Jumat malam. Kata Syarifuddin, dalam rapat internal tersebut disepakati bahwa Kemendagri menerima rancangan Pergub yang diajukan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf beberapa waktu lalu.

Kata dia, proses tersebut tetap berpedoman pada peraturan perundang-undangan. “Kemudian, rancangan pergub tersebut akan diproses lebih lanjut sesuai peraturan perundang-undangan,” pungkasnya.

Kendati demikian, Pemerintah Aceh tak ingin terlalu sesumbar soal keberhasilan ini. Pemerintah Aceh melalui juru bicaranya, Saifullah Abdulgani, Kamis (8/3) lalu mengatakan semuanya masih berproses. Ia pun tak ingin mengomentari rencana gugatan DPRA terhadap upaya Pergub APBA, karena baginya semua tahapan yang dilalui sesuai dengan aturan yang berlaku.

“Saya pikir itu (gugatan) bukan wilayah kami di Pemerintah Aceh, sejauh ini kami mengambil langkah-langkah yang mengacu pada aturan hukum yang berlaku, biar Kemendagri yang menelaah, lagipula kemarin pihaknya telah mendengar paparan dari keduanya, eksekutif dan legislatif terkait perjalanan pembahasan APBA selama ini,” ujarnya.[]

“Pergub APBA Demi Kebaikan Aceh”

Pengesahan APBA 218 melalui peraturan gubernur dinilai sebagai langkah tepat, setelah berlarut-larutnya pembahasan rancangan anggaran di DPRA.

Merujuk pada proses pembahasan KUA yang kian berlarut-larut, APBA semakin terjerembab dalam tahapan yang abnormal. Koordinator GeRAK Aceh, Askhalani menuturkan, ada beberapa pertimbangan yang menguatkan keputusan Pergub APBA tahun 2018.

Pertama, karena batas waktu yang ditetapkan sesaui Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah. “Pada 312 disebutkan, bahwa mekanisme pembahasan itu seharusnya disepakati satu bulan sebelum tahun anggaran berakhir, Artinya di November tahun anggaran itu sudah disahkan,” ujarnya.

Lantaran waktu yang tak lagi normal, lanjut dia, maka keputusan pengesahan APBA tak layak lagi diberi pilihan antara pengesahan melalui qanun maupun Pergub. Apalagi, sebut Askhal, jika dihadapkan pada keadaan seperti ini, maka merujuk pada aturan bahwa pemerintah berhak menempuh upaya diskresi, yakni dengan mempergubkan APBA.

DAMPAK PERGUB APBA

Askhalani menguraikan beberapa dampak jika APBA disahkan lewat Pergub. Di antaranya, sebagaimana tertera dalam PP Nomor 12 Tahun 2017 tentang Pembinaan dan Pengawasan Pemerintah Daerah. Pada Bab VI disebutkan adanya sanksi administrasi. Pasal 37 ayat 4 tentang sanksi administratif itu sebagaimana dijabarkan dalam poin-poin yang diterima oleh kepala daerah dan DPRA, yakni tidak dibayar hak keuangan selama tiga dan enam bulan, penundaan dana DAU (Dana Alokasi Khusus) dan Dana Bagi Hasil serta ancaman pemberhentian.

“Seperti dana infrastruktur untuk daerah yang diperoleh Aceh, maka akan ditunda. Ini menjadi sanksi bagi Aceh karena tak berhasil mengqanunkan APBA,” kata Askhalani.

Sesuai dengan Pasal 312 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, disebutkan bahwa kepala daerah dan DPRD wajib menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD paling lambat 1 (satu) bulan sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun.

DPRD dan kepala daerah yang tidak menyetujui bersama rancangan Perda tentang APBD sebelum dimulainya tahun anggaran setiap tahun sebagaimana dimaksud, akan dikenai sanksi administratif berupa tidak dibayarkan hak- hak keuangan yang diatur dalam ketentuan peraturan perundang-undangan selama 6 (enam) bulan.
Sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas, lanjut

Askhalani, tidak dapat dikenakan kepada anggota DPRD apabila keterlambatan penetapan APBD disebabkan oleh kepala daerah terlambat menyampaikan rancangan Perda tentang APBD kepada DPRD dari jadwal yang telah ditetapkan berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Selanjutnya, jika melalui Pergub, ada beberapa mata anggaran lainnya, seperti usulan paket proyek bertahun jamak (multiyears)yang tak bisa dikerjakan. Proyek ini pengerjaannya lebih dari satu tahun anggaran sesuai yang KUA dan PPAS maupun RAPBA 2018. Jika dihitung untuk tahun ini, kata Askhal, proyek yang besarannya senilai Rp 1,4 triliun ini tidak bisa dilaksanakan.

“Proyek mutiyears yang diusulkan oleh gubernur itu memang tidak bisa digunakan, karena ia seharusnya ditetapkan dengan kesepaktan Pemrintah Aceh dan DPRA,” kata Askhal. Selanjutnya, ada beberapa mata anggaran yang bersifat kebutuhan dari Aparatur Sipil Negara.

“Salah satu contohnya, yang punya TPK (Tunjangan Prestasi Kerja). Kalau dia sifatnya Pergub, itu tidak boleh diberikan. Dengan catatan, kalau memang itu tetap diusulkan itu harus mendapat persetujuan dari Mendagri. Ada pengecualian soal itu,” urainya.

Sementara yang lain, menurut Askhalani, tidak ada hal yang benar-benar substantif terkait dengan keputusan Pergub ini. Bahkan, sejak berlakunya UU Nomor 23 tahun 2014 proporsi kesepakatan antara eksekutif dan legislatif sudah tak lagi jadi soal. Karena, UU tersebut membolehkan Pemerintah Aceh dalam hal ini Gubernur untuk melakukan diskresi ketika kesepakatan yang disusun itu sudah mencapai kuorum.

“Tentu berbeda dengan dulu, UU Nomor 32 tahun 2004 yang mengharuskan seluruh anggaran disepakati bersama. Bahkan satu orang anggota dewan saja menolak, itu (anggaran) bisa dianggap ilegal, namun dalam konteks sekarang UU Nomor 23 tahun 2014 memberi ruang yang cukup besar untuk eksekutif melakukan inovasi baru yang itu sama sekali tidak boleh bertentangan dengan UU,” katanya.

MENGEMBALIKAN FUNGSI DPRA

Keputusan mempergubkan APBA tahun 2018, dilihat GeRAK sebagai nuansa baru dalam sejarah demokrasi transisi di Aceh. Terlebih, jika bicara dalam konteks membangun apa yang disebut good governance.

“Karena ada cukup banyak temuan sejak dulu dalam pembahasan itu yang menurut kami jadi pemicu terjadinya dugaan tindak pidana korupsi,” ujar Askhalani. Salah satunya, dana aspirasi yang kini sedang dikaji GeRAK. Selain juga dana Hibah Bansos yang juga berasal dari usulan dana aspirasi.

Yang paling krusial, kata Askhalani, terkait dengan fungsi pengawasan DPRA terhadap implementasi program SKPA nantinya. “Maka fungsi dewan itu akan kuat. Salah satu fungsi yang selama ini tidak berjalan baik adalah fungsi pengawasan. Karena selama ini kan mereka (DPRA) juga ikut mengusulkan proyek. Maka kecil kemungkinan mereka mengawasi proyek yang mereka usulkan sendiri,” kata dia.

Ia berharap, semua pihak tidak hanya melihat aspek untung-rugi dengan konsekuensi Pergub APBA ini. Namun yang terpenting adalah pembelajaran untuk Aceh yang lebih baik, berangkat dari transisi kepemimpinan yang baru di tangan pemerintahan Irwandi-Nova.
“Saya contohkan di Aceh Barat Daya misalnya, pernah dua kali mengesahkan APBK lewat Perbup. Tapi toh, tidak ada temuan. Memang akan ada gejolak komunikasi politik,” katanya.

Askhalani sekaligus mengingatkan, ke depan jika anggota dewan memang ingin membantu publik maka harus usulkan di awal-awal. “Bukannya memasukkan anggaran itu di akhir untuk kepentingan tertentu,” tegasnya.

Tak terkecuali soal dana Hibah-Bansos, ia memperingatkan agar dana tersebut jelas peruntukannya. “Jangan pula dipakai untuk membantu relasi, kepentingan partai, dan kepentingan kelompok, itu yang perlu diingat,” tambah Askhalani.

Kemendagri dipastikan akan melakukan verifikasi untuk menetapkan apakah suatu program boleh dianggarkan atau tidak. “Misalnya, dalam KUA PPAS terungkap Pemerintah Aceh ingin membeli pesawat, apakah ini boleh dibelanjakan atau tidak, itu tergantung Mendagri sekarang. Jadi memang kesepakatan-kesepakatan politik sebagai konsensus antara Mendagri dengan eksekutif itu sah secara hukum,” kata Askhalani lagi.

Pernyataan serupa diutarakan Ketua umum DPP Forum Komunikasi Anak Bangsa (Forkab), Polem Muda Ahmad Yani. Ia menilai kisruh penetapan APBA tahun ini mestinya jadi momentum pembelajaran guna meningkatkan etika politik anggaran bagi anggota DPRA.

“Gagalnya persetujuan bersama terhadap subtansi APBA antara DPRA dan Gubenur secara yuridis telah menuntun APBA menuju ke arah Pergub,” kata Polem, Senin (5/3).

Langkah yang diambil eksekutif, jelas dia, telah sesuai dengan petunjuk pasal 20 ayat (6) Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Secara sederhana, menurutnya, APBA memiliki fungsi stabilitas yang harus menjamin anggaran menjadi alat yang dapat memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. “Keterlambatan pengesahan anggaran dengan sendirinya menggerus fungsi stabilitas tersebut,” sesalnya.

Sebagai sebuah produk politik, sejatinya APBA masih memiliki ruang kompromi guna menghindari Pergub. “Tapi dari sisi psikologis sebenarnya ini adalah saat yang tepat bagi Gubernur Irwandi guna mengembalikan fitrah DPRA ke pada fungsinya semula, sebagai pengawas APBA,” tukasnya.

Selain itu, Polem menyorot tajam sikap dewan yang berupaya meloloskan anggaran aspirasi. “Saya pikir perangai ini sangat tidak beretika, karena tega menyekap APBA dalam ruang irasional dengan mempertaruhkan kesejahteraan rakyat,” ketusnya.

“DPRA seakan telah mendurhakai rakyat dengan perilaku pemaksaan anggaran yang berakibat pembahasannya menjadi berlarut-larut. Rakyat disuguhkan atraksi kepentingan dimana anggota dewan berlomba memasukkan aspirasi masing-masing ke dalam APBA,” sambungnya.

Sementara itu, soal dana aspirasi dewan merupakan salah satu alasan kuat kisruh APBA saat ini. Bahkan Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf sempat mewanti-wanti jangan sampai ada usulan program yang masuk ‘belakangan’.

“Pemberitahuan, Musrenbang (Musyawarah Rencana Pembangunan) akan digelar April ini. Semua program aspirasi dipersilakan masuk satu-satunya melalui pintu tersebut, tidak ada pintu lain, dan tidak akan ada ‘jendela’ yang akan dibuka,” sentil Irwandi di laman resmi Facebooknya, Kamis (8/3).

Jika APBA tahun 2018 ini tidak dipergubkan, Polem khawatir rakyat akan seperti menyerah pada keserakahan dana aspirasi. Secara filosofis dalam hal anggaran, sebutnya, peran dominan anggota dewan sebenarnya ada pada fungsi pengawasan. Anggota dewan harusnya memberikan rasa aman pada rakyat bahwa APBA itu digunakan tepat sasaran.

“Sudah satu dekade lebih kita hidup dengan ratusan triliun uang tanpa bisa menyejahterakan rakyat yang hanya lima juta jiwa. Kondisi ini terjadi tanpa argumen apapun dari anggota DPRA sebagai pengawas uang rakyat,” timpalnya.

Ia berharap kekisruhan penetapan APBA tahun ini, hendaknya dapat menjadi pembelajaran bagi anggota DPRA guna kembali pada fungsi sebenarnya. “Kepada Gubenur Aceh, silahkan tandatangani Pergub APBA karena rakyat kita telah lama menunggu. Ada jutaan jiwa dengan beragam profesi menanti, para honorer, anak miskin yang berharap dana BOS, para kuli bangunan yang ingin segera dapat kerja,” katanya.

LAYANAN PUBLIK MANDEG

Berbeda dengan benturan yang muncul di teras elit pemerintahan terkait Pergub APBA 2018, ekonom Unsyiah, Muhammad Nasir menilai, masyarakat awam sebenarnya tak begitu peduli apakah APBA disahkan lewat qanun atau pergub.

“Dua bulan terakhir roda perekonomian Aceh macet, maka saya pikir pergub APBA adalah hal yang dinanti-nanti,” katanya, Sabtu (3/3).
Senada dengan Askhalani, bagi Nasir tak terlalu signifikan perbedaan antara mengesahkan APBA lewat qanun dan pergub. Yang paling penting anggaran tersebut mengarah pada sektor-sektor ekonomi yang produktif.

“Baik qanun atau pergub, yang penting realisasi anggarannya, programnya tepat sasaran atau tidak, itu kan dampak yang terasa di masyarakat,” lanjut Nasir.

Ia tak memungkiri beberapa proyek akan terkendala pembangunannya. Tapi jika menakar efektifitas belanja secara jangka pendek, sejauh ini menurutnya tak terlalu bermasalah.

Nasir berharap, program yang disusun nantinya memiliki indikator menuntaskan masalah-masalah krusial di Aceh, seperti kemiskinan dan tingginya angka pengangguran. “Saya harap ada kecerahan untuk kita di Aceh dengan keputusan pergub ini,” pungkasnya.

Ekses dari keterlambatan pengesahan APBA memang mulai kentara di mata publik. Seperti yang disampaikan dosen FISIP Universitas Syiah Kuala, Aryos Nivada. Dirinya turut mendesak Pemerintah Aceh bersama Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) RI untuk segera merealisasikan Pergub APBA 2018. Anggaran tahunan tersebut terkait langsung dengan pelayanan publik yang mulai stagnan belakangan ini.

“Pemerintah Aceh mesti pro aktif berkoordinasi dengan Kemendagri agar Pergub APBA 2018 segera dapat diwujudkan karena kebutuhannya sangat mendesak,” desak Aryos (5/3).

Ia mencontohkan, gangguan pelayanan publik akibat macetnya APBA 2018, yakni sebanyak 25 unit bus Trans Kutaradja terpaksa berhenti beroperasi saat ini. “Gangguan operasional transportasi publik Trans Kutardja adalah bukti APBA berimbas langsung pada hajat hidup orang banyak,” sesal alumnus Universitas Gadjah Mada ini.

Seperti yang terjadi pada Selasa (6/3) pekan lalu, Pemerintah Aceh terpaksa memberhentikan sebanyak 900 personel polisi syariah atau Satuan Polisi Pamong Praja dan Wilayatul Hisbah (Satpol PP dan WH). Pemecatan itu terpaksa dilakukan pemerintah daerah setempat karena ketiadaan anggaran di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2018.

“Selama ini mereka diperbantukan ke seluruh kabupaten/kota di Aceh,” kata Plt Sekretaris Satpol PP dan WH Aceh Muhammad Iswanto seperti dilansir JawaPos.com.

Keputusan memutuskan kontrak terhadap ratusan tenaga kontrak tersebut, kata Iswanto, karena institusi terkait tak bisa membayar honor mereka. Hal itu diakibatkan molornya pengesahan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA) 2018, sehingga pihaknya tidak mau mengambil risiko.

“Sebetulnya keberadaan tenaga kontrak ini sangat dibutuhkan. Seperti penegakan dan penertiban ketertiban umum, pengamanan, dan pengawalan demo massa, dan lainnya. Keputusan ini tentu berdampak pada kinerja lembaga,” kata dia.

Hal lain, sambung Aryos, yakni terganggunya jadwal Ujian Sekolah Berstandar Nasional (USBN) yang terpaksa bergeser dari Maret ke April 2018. Aryos juga menambahkan, jika kondisi ini berlanjut, dampaknya terus merembes pada gairah pasar dan gangguan perekonomian rakyat. Gangguan operasional birokrasi juga berdampak pada pelayanan publik secara umum. “Birokrasi macet maka pelayanan publik terhenti,” tukas Aryos lagi.

Terlepas dari pergub maupun qanun untuk APBA 2018, koordinator GeRAK Askhalani mewanti-wanti, dana APBA bukan hanya produk provinsi yang akan dibelanjakan untuk kepentingan Pemprov dan dewan. Kedua pihak ini perlu berpikir jauh, bahwa di dalam APBA ada 60 persen dana Otsus yang harus dibelanjakan untuk kepentingan publik di kabupaten/kota.

“Kalau ini tersendat, mekanismenya terlalu lama, yang rugi itu kabupaten/kota. Mereka ini kan aman saja. Membelanjakan 40 persen dari total dana itu. Ini pun kalau kita analisis secara makro, ini juga dipakai untuk membelanjakan di kabupaten/kota,” imbuh dia.

Pembelajaran lainnya terkait dengan usulan dana aspirasi. Askhalani menyebutkan, aspirasi tak ubahnya sebagai produk ‘ilegal’ yang tidak ada dalam Undang-Undang. Aspirasi merupakan perantara antara publik dengan anggota dewan yang ia pilih.

“Tetapi dewan perlu sadar, keterwakilan mereka itu untuk menjembatani usulan-usulan publik yang harus dilakukan sejak awal. Misal, ini usulan untuk tahun 2019, saat ini Pemerintah Aceh menetapkan RKPD, seharusnya mereka masukkan usulan saat itu, jangan anda masukkan di akhir. Ini yang ilegal,” pungkasnya.

Sementara Aryos Nivada menyarankan perlunya perhatian institusi terkait untuk melakukan pengawasan pelaksanaan anggaran APBA yang disahkan dengan Pergub itu. “Pihak kejaksaan, misalnya, perlu memaksimalisasi Tim Pengawalan, Pengamanan Pemerintahan dan Pembangunan Daerah (TP4D) untuk mencegah kebocoran anggaran APBA 2018,” kata dia, mengingatkan.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Mengintip Dapur Pisang Sale
Mengintip Dapur Pisang Sale

Mengintip Dapur Pisang Sale