Hobinya berburu pendonor darah belum surut. Hasratnya malah ingin bergerak lebih jauh sebagaimana setiap kali ia menyelam di bawah laut.
Oleh Makmur Dimila
“Saya dengar, Anda rajin berkeliling untuk mencari darah?”
“Iya.”
“Mencari darah!” bisik Andy F Noya kepada penonton disambut gelak tawa, segera ia sambung pertanyaannya, “itu darah manusia?”
“Iya.”
“Apakah itu berarti Anda Dracula?”
“Kadang-kadang, Dracula tak bertaring,” sahut Nurjannah Husien, santai, disambut gelak tawa ratusan penonton Kick Andy Show, 24 April 2015.
Diundangnya perempuan kelahiran Aceh Jaya itu mewakili Komunitas Darah Untuk Aceh tampil di Metro TV bukanlah hal tak terduga. Melainkan sebuah capaian yang sudah diimpikan bersama teman-temannya ketika komunitas itu dibentuk pada 24 April 2012.
Nunu—demikian ia disapa—selain berhasil mengampanyekan warga Indonesia pentingnya mencegah penyakit talasemia melalui acara Kick Andy juga mendapatkan uang binaan Rp25 juta dan sebuah kulkas dari satu sponsor acara favorit nasional itu.
“Kebanyakan uang dari acara itu saya sisihkan untuk menjalankan program Darah Untuk Aceh. Sedangkan kulkas, tanpa bilang ke siapa-siapa, langsung saya tempatkan di ruangan khusus talasemia di RSUZA lama,” cerita Nunu (46) kepada Pikiran Merdeka, Rabu, 23 Maret 2016.
Beberapa bulan setelah tampil di Kick Andy, atau akhir September 2012, Nunu dan seorang relawan DUA lainnya, Aulia, menghadiri Thalassemia International Conference di Hanoi, Vietnam, dengan biaya mereka sendiri.
Sekembali dari Hanoi, Nunu menyadari uang Rp15 juta yang mereka habiskan untuk hadir ke Vietnam tak bernilai jika dibandingkan dengan wawasan dan pengalaman yang diperolehnya dari even tahunan milik Thalassemia International Federation itu.
Di sana, mereka bertemu ratusan penyandang talasemia dari berbagai negara, tumbuh sehat hingga dewasa dan sukses membangun rumah tangga. Konferensi dua hari itu juga mengubah cara Nunu merayu calon pendonor darah untuk korban talasemia di Aceh.
“Kami tidak lagi bilang ‘kamu harus donor darah supaya dapat menyelamatkan nyawa orang lain’, tetapi ‘donor darah akan menyelamatkan nyawamu,” tuturnya.
PROFESIONAL MENGELOLA
Nunu bersama empat relawan DUA yang semuanya berlatar belakang profesional, menjalankan aksi kemanusiaan itu secara profesional pula. Layaknya sebuah perusahaan, mereka bikin action plan sampai strategi untuk mencapai target pada masa akan datang.
Awalnya, DUA hanya ingin mengumpulkan darah dengan cara berburu “mangsa”, yaitu orang-orang yang mau mendonorkan darah, untuk memenuhi kebutuhan stok darah di PMI Banda Aceh.
Tapi tanpa Nunu sangka, Dokter Ridwan Ibrahim, Direktur Unit Donor Darah PMI Banda Aceh, menyadarkannya bahwa ada segolongan orang yang butuh darah rutin untuk kelanjutan hidup mereka, yaitu penderita talasemia. Saat itu, ia belum tahu betul seluk-beluk talasemia.
Dari berdiskusi dengan beberapa dokter di RSUZA, ia mendapati wawasan luas soal talasemia. Bahwa, orang normal memproduksi Hb (Hemoglobin) bisa bertahan selama 120 hari, sedangkan pengidap talasemia (atau diberina nama baru oleh DUA menjadi thallers) cuma bertahan 30 hari.
Thallers harus rutin mendapatkan transfusi darah 1 – 3 bulan sekali. Dengan begitu, peluang hidup mereka secara medis sekitar 20 tahun. Sementara bagi yang tak rutin transfusi darah, rata-rata umurnya 8 – 10 tahun. Dari situlah, Nunu menjadikan thallers sebagai prioritas dalam aksi DUA.
Hingga kini, Komunitas DUA telah menjalankan setidaknya tiga program yang bertujuan membantu pasien talasemia. Pertama diluncurkan program Ten for One Thalassemia (Sepuluh untuk satu talasemia) pada Juni 2012.
DUA mengumpulkan 10 orang pendonor (disebut oleh DUA sebagai blooders) untuk setiap pasien talasemia. Sepuluh blooders itu digilirkan mendonor darah setiap 3 bulan sekali (3 orang per bulan dan satu orang sebagai cadangan) secara berkala.
Calon blooders dipancing melalui media sosail Twitter, dengan hastag #10for1Thalassemia, karena saat itu kicauan burung digital sedang digandrungi kalangan intelektual.
Secara offline, relawan DUA datangi warung-warung kopi di Banda Aceh. Pengalamannya di marketing cukup memudahkannya menemukan calon pendonor darah.
Setiap orang yang menurut feeling-nya akan bersedia mendonor, didekati orang tersebut, persis seperti ketika ia menawarkan sesuatu kepada nasabah perusahaan: membaca psikologi seseorang lebih dahalu.
“Kadang saya sering taruhan dengan teman-teman, apakah orang yang saya jumpai mau mendonor darah atau tidak. Tapi hampir semuanya, feeling saya tepat.”
Setiap kali akun @DarahUntukAceh mem-posting kebutuhan darah bagi thallers yang akan transfusi, para blooders pun selalu memenuhi permintaan darah itu.
“Sehingga sangat identik kalau Darah Untuk Aceh itu adalah cerita tentang talasemia, begitu juga sebaliknya,” sebut Nunu.
Uniknya, Komunitas DUA tak pernah bikin donor darah massal. Tapi kerap menginformasikan via medsos saat ada pihak tertentu yang gelar donor darah massal. Kemudian, #10for1Thalassemia cukup membantu tersedianya stok darah.
DUA juga luncurkan program Thalassemia Awareness Movement (Gerakan Kesadaran Talasemia) yang berhasil menyadarkan anak-anak usia dini dan remaja untuk mencegah bertambahnya penderita talasemia di Aceh, dengan sosialisasi dan edukasi ke sejumlah SMA di Aceh.
Menurut Nunu, penyakit talasemia hanya bisa dicegah dengan tak mempertemukan carrier (pembawa sifat) dengan carrier dalam ikatan perkawinan. Indonesia sebutnya berada pada sabuk talasemia dunia yang 6 – 10 dari 100 kelahiran adalah pembawa sifat talasemia.
Untuk mengetahui kemungkinan seseorang menyandang talasemia, sebutnya, cuma bisa dilakukan dengan screening, yang peralatannya saat ini di Aceh hanya ada di RSUZA dan Laboratorium Klinik Prodia di Banda Aceh.
Program itu juga cukup membantu. Namun tugas mereka belum berkurang. Kendala utama dalam menjembatani thallers selama ini terletak pada kemampuan finansial keluarga thallers. Untuk transfusi darah seorang penderita talasemia per bulan, membutuhkan biaya Rp1 – 18 juta.
“Mana mungkin pemerintah sanggup sediakan uang setiap bulan untuk tiga ratusan penderita talasemia di RSUZA saat ini?”
Sadari hal itu, DUA pada Februari 2016 gulirkan program S3 Kumlod (Seribu Seorang Sebulan Kumpulan Loyal Donasi). Siapa saja dipersilakan menginfakkan uangnya Rp1000 per bulan melalui DUA untuk disumbangkan kepada keluarga talasemia.
“Uang seribu rupiah memang kecil, tapi jika dikalikan dengan lima juta penduduk Aceh, akan menghasilkan jumlah yang besar,” ucap pehobi diving itu. Uang dari S3 Kumlod disalurkan kepada keluarga thallers terutama dari luar Banda Aceh. Dan, terus berjalan hingga kini.
PERCAYA DOKTER
Nunu dampingi pasien talasemia berusaha menjaga jarak dengan pasien dan dokter. Didorongnya pasien agar percaya kepada dokter yang menangani penyakit itu, bukan menjauhkan pasien dari dokter.
“Kesembuhan akan terjadi jika antara pasien dan dokter sudah seiya sekata.”
Hal itu penting menurut Nunu. Dia sadar, terkadang keluarga pasien atau masyarakat salah memahami kondisi ketika seorang pasien terkesan diabaikan dokter.
Padahal—ia menyimpulkan setelah sering berdiskusi dengan dokter setiap akan mendampingi thallers—menurutnya, dokter menunggu kesiapan kondisi pasien untuk penanganan lebih lanjut secara sistematik.
Dokter yang diam saja saat memeriksa pasien bukan berarti dokter tak bekerja, melainkan di balik tabir ranjang pasien, dokter malah selalu mengobservasi perkembangan kondisi pasien melalui para perawat.
“Selama ini yang DUA lakukan untuk mendampingi pasien talasemia hanya sepuluh persen, selebihnya peran dokter,” ujarnya.
Tiga program di atas kini masih berjalan. Namun Nunu masih punya banyak target bersama DUA.
APRIL BAHAGIA
Almarhumah Zainab Saleh, ibunya, ialah inspirasi utama Nunu. Setahun sebelum dibentuknya Komunitas DUA, ibunya harus berbaring sekitar dua bulan di RSUZA dan butuh transfusi darah hingga 10 kantong.
Stok darah di UDD PMI Banda Aceh tak cukup, sehingga membuatnya memutar otak. Dia pun broadcast ke teman-temannya melalui medsos. Hanya sesaat, diperolehnya bantuan darah melebihi target, bahkan dapat diberikan ke pasien lain.
Ibunya sembuh, namun ajal tak bisa ditolak. Tahun berganti. Setelah beberapa lama bekerja sebagai Districk Manager untuk perusahaan farmasi swasta, Nunu berhenti. Minggu pertama cuti panjang cukup membuatnya merdeka.
Namun 7 minggu selanjutnya, ia jenuh. Tak terbiasa menjalani hidup tanpa produktivitas dan kreativitas. Hingga April, bulan kelahiranya, tiba mengetuk memorinya.
Nunu ingat, tiga tahun yang lewat tepatnya pada hari ia berulang tahun, ia mendirikan Yayasan Bumiku Hijau. Sehingga pada hari jadi yayasan lingkungan itu yang ke-3 sekaligus dirgahayu dia sendiri yang ke-42, ia ingin menggelar donor darah massal.
Acara itu cukup sukses dengan antusias besar dari masyarakat. Banyak orang mendonorkan darah dan banyak orang yang membutuhkan darah.
Dua fakta itu cukup melandasi Nunu untuk membangun satu komunitas yang bisa menjemput para pendonor darah secara berkelanjutan, tak hanya pada hari ulang tahun tertentu. Dari beragam nama, ia sepakati Darah Untuk Aceh.
“Pengalaman saya belasan tahun bekerja sebagai marketing, penting membuat seseorang itu bertanya ketika mendengar suatu hal yang baru. Ketika ia sudah bertanya, di situlah kita bisa masuk untuk mempengaruhi,” ujar alumni Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Banda Aceh itu, terkait pemberian nama komunitas.
Bahwa Darah Untuk Aceh bukan bermakna Aceh kembali dilanda perang senjata. Melainkan Aceh sudah saatnya memerangi kekurangan stok darah, khususnya bagi pasien talasemia.
Komunitas DUA yang digerakkan dengan biaya relawan sendiri, dalam perjalanannya, pernah dilanda frustasi. Saat seperti itu, menyeruak pertanyaan, berhenti atau lanjut?
“Ibarat sudah jatuh dalam lubang yang dalam, kami tidak mungkin keluar lagi,” Nunu menganalogikan perjuangan aksi sosial mereka, “kalau sudah basah, ya, harus kuyup.”
Sebagai diver, Nunu sudah menyelam lebih dari 200 kali di berbagai lokasi diving di Indonesia, dengan kadalaman paling jauh mencapai 45 meter di Batee Tokong Dive Site, Sabang.
Kedalaman di bawah permukaan laut sangat berbahaya bagi tubuh penyelam. Nunu tak mau lagi menyelam lebih dalam dari itu. Tapi untuk membantu penyandang talasemia, ia akan terus menyelam, bahkan lebih jauh lagi.[]
Diterbitkan di Rubrik INSPIRASI Tabloid Pikiran Merdeka edisi 117 (28 Maret – 3 April 2016)
Belum ada komentar