Sukses tak hanya menuntut kecukupan material, namun juga memperoleh kepuasan batin. Begitulah yang dialami Risdajady dalam menjalankan bisnis perontok padi manual di tengah gempuran mesin modern yang multiguna.
Oleh Joniful Bahri
Pria berusia 65 tahun ini memproduksi mesin perontok padi, jagung dan kedelai, di bawah CV Nakri yang berlokasi di Ulee Matang, Matangglumpangdua, Peusangan, Bireuen.
Kisahnya kepada Pikiran Merdeka, dia hanya membuka usaha perbengkelan kecil-kecilan pada tahun 1979 di Kawasan Keude Matangglumpangdua. Di samping itu ia juga menerima jasa sebagai tukang las pagar dan tempat tidur.
Usaha bengkel itu melengkapi daftar kerja serabutan yang telah dilaluinya di berbagai daerah, seperti berjualan kacang, jadi tukang jahit di Banda Aceh dan menjadi tukang pangkas rambut di Medan.
Suatu kali ia melihat mesin perontok padi yang besar sehingga sangat menyulitkan para petani ketika masa panen tiba. Dia pun berkeinginan untuk merakit mesin yang lebih kecil dan mudah dioperasikan.
Risdajady kemudian mendirikan sebuah perusahaan, CV Nakri. Alumni Fakultas Hukum Unsyiah itu mulai merakit mesin perontok padi pada 1985. Demi kesuksesan bisnisnya, ia rela berhenti sebagai PNS di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Aceh Utara.
Mesin perontok padi buatannya mendapat tempat di pasar lokal, khususnya Bireuen, dalam tahun pertama uji coba. Dia pun memutuskan untuk membangun usaha karoserinya secara besar-besaran.
“Karena peluang di industri karoseri itu sangat menjanjikan berdasarkan permintaan masyarakat,” cerita pengusaha yang akrab disapa Bang Ris itu.
Mesin perontok produksi Nakri pun mulai dikenal di Kabupaten Bireuen sejak 1986. Ris memperkerjakan sejumlah tenaga dari Medan, Sibolga, dan pemuda Peusangan.
Produksi Nakri dalam setahun mencapai 600 unit lebih dan dipasarkan hingga ke seluruh kabupaten/kota di Provinsi Aceh.
Sejak 1990 hingga sekarang, permintaan tetap mengalir, terutama dari Sumatera Utara, Padang dan Sibolga, di mana setiap tahunnya mencapai 200 hingga 300 unit lebih.
“Tahun 1996, mesin produksi Nakri juga sempat dipasarkan ke Pulau Jawa, tapi peminatnya kurang, karena di sana masih mengunakan alat tradisional seperti menumbuk,” tuturnya.
Permintaan juga pernah datang dari Bali dan Madura pada 1997 namun saat itu Nakri belum memodif mesinnya menjadi mesin tiga fungsi.
Menghindari Tiruan dengan Kualitas
“Pertama sekali lahirnya mesin perontok padi di Aceh adalah mesin perontok Nakri bersamaan dengan Bahagia Jaya di Indapuri, tapi bentuknya beda. Juga lahirnya mesin produksi Keluarga Grup di Kutablang,” ujarnya.
Nakri senang dengan hadirnya kompetitor itu, tapi tidak dengan para pesaing yang belakangan bermunculan. Meski sudah memiliki hak paten, mesin produksi Nakri masih berani ditiru oleh kompetitor, mulai dari bentuk, cat, hingga namanya ikut ditiru orang lain. Akibatnya yang beredar di pasaran hari ini sulit dibedakan antara mesin buatan Nakri atau bukan.
“Tetapi petani bisa membedakan kualitasnya,” ujar Ris.
Soal barang tiruan ini juga pernah dilihatnya langsung pada tahun 1996 di Bandung. Saat itu ia diundang untuk mengikuti pelatiha di Institut Pertanian Bogor (IPB).
“Saat itu saya masuk ruangan dan saya melihat, semua mesin perontok padi yang ada di ruangan itu mesin perontok milik Nakri Bireuen,” ceritanya.
Dia bingung kala itu. Instruktur IPB pun mempertanyakan ekspresinya. Ia dikira tak pernah melihat mesin itu. Namun giliran instruktur yang bingung ketika ia jelaskan bahwa itu mesin produksi Nakri. Akibatnya, Ris diminta menjadi instruktur bagi peserta dari daerah lain.
Dilirik Malaysia Dilupakan Pemerintah
Risdajady dalam perjalanan usaha karoserinya pernah diminta bekerjasama dengan Malaysia. Namun kerjasama itu terbentur pengadaan alat kontainer kapal serta pengurusan di Indonesia yang masih berbelit-belit.
Kerjasama itu menurutnya, pihak Malaysia menyediakan mesin untuk dirakit oleh CV Nakri. Mesin Malyasia lebih murah, irit, dan komponennya mudah. Sangat berbeda dengan mesin buatan Indonesia.
“Ada beberapa kali pihak Malaysia meminta kerjasama, tapi karena terbentur masalah tersebut, akhirnya batal,” ujarnya.
Sebaliknya, Nakri sejauh ini samasekali belum mendapat perhatian Pemerintah Kabupaten Bireuen maupun Provinsi Aceh, kecuali sekedar meninjau.
“Selama ini pajabat kita hanya sekedar basa-basi saja. Datang memuji, lalu pulang. Besok juga seperti itu. Yang berani dan nyata seperti yang dikatakan belum ada,” ketus Ris.
Terlepas dari itu, usaha karoseri mesin perontok Nakri milik Risdajady tetap tersohor. Bahkan omsetnya terus bertambah dengan harga jual saat ini mencapai Rp 7 juta per unit lengkap dengan mesinnya.
Peningkatan itu membuat Nakri kewalahan karena kekurangan tenaga kerja produktif dan siap pakai, meskipun sekarang ada 20 tenaga khusus yang siap membantu kelangsungan karoseri alat pertanian pertama di Aceh ini.
Kesuksesan Ris telah membuktikan kepada dirinya bahwa dia tak salah sempat menolak saran orangtuanya untuk merintis jejak almarhum ayahnya sebagai pedagang emas.[]
*Diterbitkan di Rubrik BISNIS Tabloid Pikiran Merdeka edisi 105 (4 – 11 Januari 2016)
Belum ada komentar