Nagasari Cipuga Makin Bearoma

Nagasari Cipuga Makin Bearoma
Konsumen Membeli Nagasari. (Pikiran Merdeka/Joniful Bahri)

Jika sudah biasa dengan sate matang, nagasari bisa menjadi alternatif jika singgah di Bireuen.

Oleh Joniful Bahri

Kota Bireuen tak hanya dikenal dengan oleh-oleh khas keripik seperti keripik pisang, ubi, dan sukun. Tetapi juga penghasil nagasari yang cukup populer saat ini.

Nagasari khas Bireuen mulai dibicarakan banyak kalangan, terutama para tamu yang singgah sejenak ke Kota Juang itu, baik dari Jakarta, Medan, serta warga Aceh yang melintasi jalan nasional Banda Aceh – Medan.

Tidak sulit menemukan kue yang dibalut daun pisang itu. Mereka tersusun di atas meja sepanjang gerai kue di depan terminal Bireuen, tepatnya di Jalan Letda Ishak Ibrahim (sebelumnya Jalan Pasar Ikan Lama). Pemandangan yang memikat hati untuk segera mencicipinya. Aroma bungkusannya pun cukup kentara.

Di kawasan itu, sejumlah gerai khusus menjual nagasari berlabel Cipuga atau Cipuga Baru, yang merupakan orang pertama memproduksi nagasari dengan kemasan berbeda, di samping rasa dan kualitasnya yang andal.

Di balik bungkusan daun, kukusan tepung beras diaduk santan kelapa dan campuran sari pandan asli, menyatu membentuk dinding piramida mengatup potongan pisang raja di dalamnya. Memberikan kelezatan tersendiri saat mencicipinya.

“Awalnya yang pertama membuka usaha kue Nagasari Cipuga adalah Kak Ramlah, isteri dari Mukhtar, tetapi kini sudah terdapat lima titik lokasi dengan berjualan nagasari yang sama. Namun semuanya milik keluarga Kak Ramlah yang buka usaha sendiri-sendiri,” tutur Safrizal (37), keponakan Kak Ramlah.

Menurut pemuda asal Cot Tarom, Jeumpa, yang kini menetap di Geulanggang, Kota Juang ini, pembuatan kue nagasari dimulai sejak konflik atau sepuluh tahun silam.

“Kala itu nagasari hanya dibuat khusus untuk persediaan di warung kopi milik Kak Ramlah dan beberapa warung kopi lainnya seputar komplek Pasar Ikan Lama Bireuen,” tuturnya kepada Pikiran Merdeka,  4 Februari 2016.

Lambat laun, permintaan kian meningkat. Sampai-sampai ada masyarakat yang datang meminta untuk dibuat lebih guna dibawa pulang ke rumah sebagai oleh-oleh buat keluarganya.

Belakangan permintaan nagasari terus meningkat bahkan selalu tidak mencukupi meski sudah ditambah hasil produksinya setiap hari.

Saat itu, Safrizal sendiri  masih bekerja sebagai tukang masak kue Nagasari milik Kak Ramlah. Terakhir, dia memilih buka usaha sendiri di kawasan yang sama atas izin makciknya itu.

“Saat ini ada lima tempat penjualan Nagasari Cipuga, seluruhnya milik keluarganya yang mulai berdiri sendiri. Sebelumnya kami belajar dan bekerja di usaha nagasari Kak Ramlah,” ulasnya.

Sehari-hari, dagangan nagasari Safrizal terjual hingga 200 bungkus, sementara di gerai Kak Ramlah bisa mencapai 6 ribu bungkus.

Kelebihan adonan Nagasari Cipuga asal Bireuen tidak dicampur pengawet. Komposisinya cuma tepung beras, santan alami, gula murni, daun pandan dan pisang raja.

Mulya Muttaqin, keponakan Kak Ramlah yang mengelola usaha Nagasari Cipuga Baru, di lokasi yang sama, menerangkan,  nagasari yang mereka produksi selama ini bisa tahan hingga dua hari tanpa terasa basi, sehingga tidak mengecewakan masyarakat yang membawa pulang nagasari.

“Kualitasnya mamang sangat kami jaga, sebab ini makanan khas Bireuen yang perlu dinikmati oleh semua kalangan yang sempat singgah ke Bireuen,” katanya.

Nagasari ketika Proses Bungkusan Sebelum di Kukus. (Pikiran Merdeka/Joniful Bahri)
Nagasari ketika Proses Bungkusan Sebelum di Kukus.

Usaha kue Nagasari Cipuga  Baru dibuka sekitar jam 9 pagi sampai jam 6 sore. Bisa lebih cepat tutup jika stoknya keburu habis. Sementara pembuatannya dilakukan mulai jam 6 pagi sampai jam 8 pagi oleh sembilan pekerja.

Para pemilik usaha Nagasari Bireuen tetap menawarkan harga yang terjangkau bagi masyarakat, dengan kemasan kotak mulai isi 10, 15, 20, hingga isi 30 buah. Harga mulai Rp15 ribu, Rp20 ribu, Rp25 ribu sampai Rp36 ribu per kotak, sesuai isinya.

Menurut Mulya, permintaan yang sangat dominan datang dari warga yang pulang ke Banda Aceh, Sigli, Meulaboh, Takengon dan sebaliknya dari Lhokseumawe dan Langsa, serta warga Bireuen sendiri.

“Ada juga warga dari Medan yang singgah untuk membawa pulang nagasari ini, karena kue ini bisa tahan lama, bahkan hingga empat hari apalagi bila pembelinya menyimpan di kulkas,” ujarnya.

Selama ini, tambah Mulya, kebanyakan warga bawa pulang nagasari dalam beberapa paket, dari kecil hingga besar, rata-rata untuk keluarga dekat para pembeli.

Kini Nagasari Cipuga menjelma penganan khas Bireuen. Menyaingi nama Sate Matang yang sudah tenar. Bentuk dan rasanya yang menjadikan nagasari kuliner yang patut diberi apresiasi lebih oleh Pemerintah Bireuen.[]

Diterbitkan Tabloid Pikiran Merdeka

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait