Mutasi Gelombang Sepuluh

Zaini Abdullah bersama Hasanuddin Darjo (PM/Oviyandi Emnur)
Zaini Abdullah bersama Hasanuddin Darjo (PM/Oviyandi Emnur)

Seolah ingin dikenal sebagai gubernur gemar gonta-ganti pejabat, Doto Zaini melengkapi mutasi gelombang sepuluh.

Salah satu hal yang paling diingat publik dalam lima tahun kepemimpinan Zaini Abdullah–Muzakir Manaf adalah ‘pecah kongsi’ mereka selama memimpin. Namun, di balik itu semua, sejak disumpah menjadi Gubernur Aceh bersama wakilnya Muzakir Manaf pada 25 Juni 2012 lalu, sudah ribuan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang tergerus gelombang mutasi.

Doto Zaini tercatat sudah 10 kali melakukan perombakan kabinet. Perombakan terakhir dilakukan, Jumat pekan lalu, yang melantik 33 pejabat eselon II. Padahal, 44 hari sebelumnya, Plt Gubernur Aceh baru saja melantik 62 pejabat eselon II di lingkup Pemerintah Aceh.

Kebijakan gonta-ganti pejabat ini patut dipertanyakan publik karena kurang bijak dalam mengganti struktur di jajaran SKPA yang telah mencapai 10 kali sejak terpilih. Hal ini memberikan kesan buruk terkait tatakelola birokrasi Pemerintah Aceh.

Apalagi bongkar-pasang kepala dinas dinilai tidak menggunakan mekanisme yang transparan dan akuntabilitas. Seharusnya, keberadaan Badan Pertimbangan Jabatan dan Kepangkatan (Baperjakat) dapat difungsikan secara maksimal dengan melakukan fit and proper test termasuk mengecek track record pejabat yang akan diberi amanah.

Bukan hanya itu, pergantian pejabat juga dinilai tidak cermat. Pasalnya, dalam beberapa kali pergantian, ditemukan banyak kejanggalan yang membuat proses mutasi menjadi sorotan.

Pada Februari 2013, misalnya, Doto Zaini sempat dua kali melakukan mutasi dalam rentang waktu dua minggu. Pertama, melantik 422 pejabat eselon II, III dan IV pada 5 Februari 2015. Lalu pada 18 Februari, gubernur melantik lagi 25 pejabat Eselon II, III dan IV baru di lingkup Pemerintahan Aceh.

Masih teringat jelas dalam ingatan publik, salah seorang PNS yang telah meninggal juga masuk dalam daftar pejabat eselon II, III dan IV yang dilantik pada Selasa, 5 Februari 2013. Pejabat tersebut adalah Rahmat Hidayat SH MHum. Selain itu, seorang lagi pernah tersangkut dugaan mesum dan pemalsuan nama dalam biodata kepegawaian juga hendak dilantik, yakni Muhammad Usman alias Haji Bakri.

Rahmat yang sudah meninggal beberapa bulan silam dilantik sebagai Kepala Sub Bagian Evaluasi Produk Hukum Kabupaten/Kota pada Bagian Pembinaan Hukum Kabupaten/Kota Biro Hukum Pemerintah Aceh.

Sebelum meninggal dunia, Rahmat menjabat sebagai Kepala Sub Bagian Jaringan, Dokumentasi dan Informasi Hukum di Biro Hukum dan Humas Setda Aceh. Masuknya nama Rahmat dalam jajaran daftar pejabat yang dilantik diduga akibat kelalaian tim seleksi.

Baca: Mutasi Waswas Jelang Wassalam

Pelantikan yang dipimpin langsung Gubernur Zaini Abdullah kala itu berlangsung di Aula Anjong Mon Mata Banda Aceh. Selain pejabat yang sudah almarhum, juga dilantik 442 orang lainnya untuk berbagai posisi.

Kala itu, Plt Kepala Biro Hukum dan Biro Humas Setda Aceh Makmur Ibrahim membantah nama Rahmat masuk dalam daftar pejabat yang dilantik. Badan Kepegawaian, Pelatihan dan Pendidikan (BKPP) Aceh, kata Makmur, telah mencoret nama Rahmat, 30 menit sebelum pengambilan sumpah jabatan.

Bahkan, muncul permintaan bernada meledek atas apa yang dilakukan Gubernur Zaini. Ketua Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin meminta peristiwa itu dicatat oleh Museum Rekor Indonesia (MURI).

“YARA sudah menyurati MURI via email agar bersedia memberikan rekor baru dalam pelantikan pejabat pemerintahan kepada Pemerintah Aceh karena melantik orang yang sudah meninggal setahun lalu menjadi salah satu pejabat struktural. Penghargaan ini pantas diberikan mengingat hal ini belum pernah terjadi di Indonesia. Ini sangat unik sekaligus menggelikan,” ujar Safaruddin kala itu.

Berbeda dengan beberapa pergantian yang lalu, kali ini Doto Zaini tak bisa serta-merta melakukan mutasi. Pasalnya, ia terbentur beberapa aturan perundang-undangan. Misalnya UU No.10/2016 tentang Pilkada yang menyebutkan Gubernur atau Wakil Gubernur, Bupati atau Wakil Bupati, dan Walikota atau Wakil Walikota dilarang melakukan pergantian pejabat enam bulan sebelum tanggal penetapan pasangan calon sampai dengan akhir masa jabatan kecuali mendapat persetujuan tertulis dari Menteri Dalam Negeri.

Kepala Ombusdman Aceh Dr Taqwaddin mengharapkan, pro-kontra terhadap pelantikan 33 pejabat baru itu tidak boleh mengganggu pelayanan publik. “Dalam konteks pelayanan publik, saya berharap mutasi pejabat baru tidak mempengaruhi pelayanan kepada masyarakat, terutama pelayanan bersifat dasar yakni pendidikan, kesehatan,  permukiman, sosial, dan lain-lain,” tutur Taqwaddin, Sabtu pekan lalu.

Ia menolak berbicara lebih panjang dan tak mau terlibat dalam pusaran politik praktis terkait Pilkada. Bagi Ombudsman, kata dia, siapapun gubernurnya dan siapapun pejabat yang dilantik harus mampu memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada masyarakat.

“Namun, jika pejabat sebentar-bentar diganti, tentu para pejabat selalu was-was dalam bekerja. Sehingga, jangankan merancang program inovasi pelayanan publik, memenuhi standar pelayanan publik saja yang merupakan perintah UU tak sempat dilaksanakan,” katanya.

Dia menjelaskan, hasil survei pihaknya secara keseluruhan pada tahun 2016 menempatkan perfomance kepatuhan Pemerintah Aceh terhadap pemenuhan standar pelayanan publik pada zona kuning. “Pemerintah Aceh belum masuk dalam kategori zona hijau (bagus),” urainya.

Baca : Mutasi Waswas Jelang Wassalam

Menurut dia, pelantikan pejabat eselon II seharusnya tak terlalu berimbas kepada pelayanan publik. Pasalnya, pelaksana pelayanan langsung kepada masyarakat biasanya pada level eselon IV dan staf. Ia yakin, meski polemik masih terjadi, pelayanan kepada masyarakat tetap akan berjalan normal. “Saya yakin, kabinet ini tak akan berlangsung lama. Nanti setelah pelantikan gubernur terpilih pasti akan dimutasi dan dilantik lagi yang lain,” kata Dosen Fakultas Hukum Unsyiah ini.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Diklat Kepimimpinan Diharapkan Menjadi Program Tahunan
Kabid Diklat Kepegawaian BKPP Agara, Anshor Tambunan (kanan) bersama salah satu peserta PIM III, Gajah Mada, ST (kiri). Riki Hamdani | Pikiran Merdeka

Diklat Kepimimpinan Diharapkan Menjadi Program Tahunan