Muslihat Jakarta, dari Soekarno hingga Jokowi

mesjid indrapuri tempo dulu
mesjid indrapuri tempo dulu

Keistimewaan Aceh sebagai daerah Islam sejak dulu tidak diakui Jakarta. Dimulai oleh Soekarno kini diteruskan Jokowi.    

Lapangan Kuta Asan, Pidie, selepas tengah hari 17 Juni 1948. Ribuan rakyat berkumpul memenuhi lapangan. Mereka seakan tak peduli terik matahari yang menyengat. Massa membludak hingga ke jalan masuk—kini lapangan tersebut telah menjadi stadion sepakbola.

Antusiasme rakyat tak terlepas dari kehadiran seorang tokoh besar republik kala itu. Dialah Soekarno; pengucap proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia yang kemudian menjadi presiden pertama. Selain Soekarno hadir Gubernur Militer Aceh Langkat dan Tanah Karo Teungku Muhammad Daud Beureueh dan Residen Aceh Teuku Muhammad Daudsyah.

Sebelum Soekarno berorasi, Abu Beureueh yang berpidato. Ia meminta seluruh rakyat Pidie mengumpulkan harta, tenaga dan pikiran untuk mempertahankan republik.

Saat itu, Indonesia belum lepas dari ancaman Belanda. Ibu kota pemerintahan dipindahkan ke Yogyakarta. Kecuali di Aceh, pertempuran besar bisa meledak kapan saja. Sebagai gubernur militer, Daud Beureueh mampu mengatasi situasi. Aceh relatif aman dan tertib.

Setelah Abu, giliran Soekarno. “Sengaja aku datang ke Aceh untuk menjemput semangat juang rakyat Aceh, untuk kita jadikan modal merebut kembali wilayah RI yang diduduki Belanda,” ucap Soekarno. Pidato ini mampu membakar semangat ribuan rakyat. Pekik “merdeka” terdengar setiap kali Soekarno mengakhiri kalimat orasinya.

Bahkan, sebelum menjejakkan kaki di Sigli, saat bertemu pemuda dan pelajar Aceh di Gedung Bioskop Garuda, Kutaraja (Banda Aceh), propaganda Soekarno tidak kalah hebat. “Insya Allah, sekalipun republik kita tinggal setangkai payung, tangkainya di Aceh, payungnya di Yogyakarta, Aceh dapat dijadikan daerah modal untuk merebut kembali wilayah republik yang kini diduduki Belanda!”

Namun, cerita penting di balik orasi Soekarno yang menyebut Aceh sebagai “daerah modal” dan “tangkai payung” republik terjadi keesokan harinya. Sebelum bertolak ke Yogya, Soekarno bertemu Abu Beureueh di pendopo keresidenan. Saat itu, Abu didampingi Teungku Ahmad Hasballah Indrapuri dan Teungku Hasan Krueng Kalee.

Saat pertemuan itu, Soekarno kembali meminta kepada Abu Beureueh agar Aceh mempertahankan Republik Indonesia hingga tetes darah terakhir. Permintaan itu disanggupi Abu dengan senang hati. Namun, ia memberi dua syarat kepada Soekarno.

Pertama, kata Abu Beureueh, jika ada pejuang yang terbunuh dalam perang tersebut, itu berarti mati syahid. Soekarno menyambung ucapan Abu dengan mengatakan memang perang seperti itu yang ia maksud. “Perang yang seperti dikobarkan oleh Teungku Cik di Tiro, perang yang tak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid,” ujar Soekarno.

Syarat kedua, Abu Beureueh mengatakan kepada Soekarno agar memberikan kewenangan kepada Aceh untuk menjalankan Syariat Islam. “Kakak (panggilan Bung Karno kepada Beureueh) tak usah khawatir. Sebab, 90 persen rakyat Indonesia beragama Islam,” jawab Soekarno.

Abu Beureueh lalu menyodorkan secarik kertas. “Maafkan saya, Saudara Presiden. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Anda.” Abu meminta Soekarno menuliskan sesuatu sebagai jaminan.

Mendengar permintaan itu, Soekarno terisak. Abu melanjutkan kata-katanya. “Bukan kami tak percaya. Sekadar tanda untuk diperlihatkan kepada rakyat Aceh yang kami ajak berperang.”

Lalu, keluarlah sumpah Soekarno yang kemudian menjadi titik balik hubungannya dengan Abu Beureueh bahkan Aceh.

“Wallah Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan hukum Islam. Akan saya pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan syariat Islam. Apakah Kakak masih ragu?”

Mendengar rengekan Soekarno, hati Abu Beureueh luluh. Ia mengantongi lagi kertas tersebut. Urung niatnya meminta perjanjian hitam di atas putih.

Menurut Hasan Saleh dalam Mengapa Aceh Bergejolak, permintaan Abu Beureueh tersebut sebenarnya tak bertentangan dengan falsafah dan Undang-Undang Dasar RI. “Yang diminta adalah “kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan syariat Islam di dalam daerahnya”. Artinya, rakyat Aceh yang tidak mau menggunakan kebebasan itu ya boleh-boleh saja,” tulis Hasan Saleh.

Yang lebih ekstrem sebenarnya, tambah Hasan Saleh, sumpah Soekarno karena terdapat kata-kata “….kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan hukum Islam.”

Usai sumpah Soekarno tersebut, Abu Beureueh membuktikan kesetiaan dirinya kepada Indonesia. Ketika Wali Negara Sumatera Timur, Teungku Mansyur, menawarkan kepada Aceh menjadi bagian dari Negara Sumatera, Abu menolak.

Lambat laun, Soekarno mulai melupakan janjinya tersebut. Pada Januari 1951, status Aceh sebagai provinsi yang dikukuhkan oleh Pemerintah Darurat Republik Indonesia pada Desember 1949, bubar. Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatera Utara.

Menurut Jakarta, keputusan membubarkan Propinsi Aceh itu akibat persetujuan antara RI dengan RIS (Republik Indonesia Serikat) untuk membentuk negara kesatuan. Pada 20 Agustus 1950, lahir peraturan yang menetapkan Indonesia terdiri atas 10 provinsi. Tiga di antaranya berada di Sumatera yakni Sumatra Utara, Sumatra Tengah, dan Sumatra Selatan.

Keputusan itu menimbulkan keresahan bagi rakyat Aceh. Apalagi pada 27 Januari 1953, saat berpidato di Amuntai, Kalimantan Selatan, Soekarno menolak Islam sebagai dasar negara.

Sikap Soekarno tersebut menimbulkan kemarahan bagi sebagian besar rakyat. Apalagi sebelumnya, rakyat Aceh menyanggupi permintaan Soekarno agar menyumbangkan pesawat sebagai alat perjuangan untuk menembus blokade Belanda maupun untuk berhubungan dengan negara-negara tetangga.

Saat itu, dalam tempo singkat, dipelopori oleh Gabungan Saudagar Indonesia Daerah Aceh yang dipimpin M. Djuned, terkumpul uang dan emas yang cukup untuk pembelian dua pesawat yang diberi nama Seulawah. Sumbangan rakyat Aceh tersebut kemudian diserahkan oleh Teuku Muhammad Ali Panglima Polim kepada Presiden Soekarno. “Inikah balas jasa Presiden Sukarno, terhadap ‘Kakanda’ Tgk M Daud Beureueh? Inikah balas jasa Pusat terhadap perjuangan rakyat Aceh dalam masa revolusi fisik dulu,” tulis Hasan Saleh.

Sejarah kemudian mencatat, inilah pertama kalinya Jakarta “mengkhianati” Aceh. Tak terima diperlakukan demikian, Abu Beureueh memilih jalan berbeda: meninggalkan Soekarno. Pada 21 September 1953 ia menggelorakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia di Aceh.

Upaya perlawanan itu memang berhasil diredam Jakarta. Saat itu, Aceh disepakati akan menjadi provinsi tersendiri dengan status “Daerah Istimewa,” dengan hak untuk memberlakukan syariat Islam. Kecuali menjadi Daerah Istimewa, pemberlakuan syariat Islam di Aceh baru terkabul sejak 2001, bertahun-tahun setelah Abu Beureueh meninggal dunia pada 10 Juni 1987.

Dalam perjalanannya, Daerah Istimewa hanya menjadi status semata. “Kelebihan” Aceh sebagai daerah istimewa hanya pada operasi-operasi militer yang digelar Jakarta untuk memberantas separatisme. Pemerintah Aceh juga luput dari upaya menjadikan Aceh benar-benar sebagai daerah istimewa.

Baru-baru ini, saat Presiden Jokowi meresmikan Titik Nol Islam Nusantara di Barus, Pemerintah Aceh juga bungkam. Belum terlihat adanya upaya klarifikasi untuk meneguhkan bukti-bukti bahwa Islam Nusantara memang bermula dari Aceh.[]

1 Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)

  1. Jangan sampai Luka Lama terjadi kembali,,aceh sudah sering khianati,Untuk pemerintah Pusat jangan memecah belah persatuan Umat Islam di indonesia,,

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Pj Ketua TP PKK Ny Safrizal
Pj. Ketua TP-PKK Aceh, Ny. Hj. Safriati Safrizal, S.Si, M.Si, memakaikan syal motif kerawang gayo kepada Ketua Umum TP-PKK/Ketua Umum Pembina Posyandu, Ny. Tri Tito Karnavian saat tiba di Bandara Internasional Sultan Iskandar Muda, Aceh Besar, Senin, (30/9/2024). Foto: Biro Adpim

Pj Ketua TP PKK Aceh Sambut Kedatangan Ketua TP PKK Pusat